Mohon tunggu...
Mas Wahyu
Mas Wahyu Mohon Tunggu... In Business Field of Renewable Energy and Waste to Energy -

Kesabaran itu ternyata tak boleh berbatas

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Sensasi Syahrini Vs Anies Baswedan Soal Kata

19 Oktober 2017   12:07 Diperbarui: 20 Oktober 2017   01:00 3556
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gubernur DKI Jakarta Anies Rasyid Baswedan 2017 - 2022 bersama Wakil Guberur DKI Jakarta Sandiaga Shalahuddin Uno (tribunnews.com)

Artikel ini tak dimaksudkan untuk mendiskreditkan Gubernur DKI Anies Rasyid Baswedan karena kontroversi penyebutan kata pribumi dalam pidatonya, namun lebih dititikberatkan untuk saling mengingatkan antar sesama muslim dan anak bangsa.

Silakan menikmati artikel yang panjang ini. Semoga bermanfaat.

Pribumi adalah kata yang sejak kemarin menjadi cetar membahana. Kata pribumi sampai saat ini menjadi kata yang mengemuka kontroversinya. Sebelumnya, usai dilantik oleh Presiden Jokowi di Istana Merdeka, Jakarta, pada Senin malam 16 Oktober 2017 di Halaman Blok-G Balaikota Pemprov DKI Jakarta Gubernur DKI Jakarta Anies Rasyid Baswedan memberikan secara resmi orasi politik perdana di hadapan warga DKI Jakarta. Orasi yang memberikan arah dan kebijakan selama ia menjabat selama lima tahun kedepan (2017 - 2022).

Selengkapnya, isi pidato Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan yang menuai kontroversi warganet disini. 

Warganet menilai isi pidato Gubernur DKI Anies Rasyid Baswedan menyulut kontroversi dengan mengungkit sejarah penjajahan dan kebangkitan pribumi. Dalam pidato tersebut warganet menyorot soal penggunaan kata pribumi. Warganet menyebut itu politik identitas yang memunculkan diksriminatif dan SARA.

Media Indonesia memberitakan bahwa Dra. Pangesti Wiedarti, M.Appl. Ling.,Ph.D. ahli linguistik dari Universitas Negeri Yogyakarta menilai istilah pribumi memang sensitif dalam konteks sosial politik Tanah Air. Pun, ia memandang Anies lebih baik untuk membangkitkan spirit warga Jakarta dengan masalah yang saat ini dihadapi warga. 

Kendati pun demikian Wakil Presiden Jusuf Kalla justru bernada membela Gubernur DKi Jakarta Anies Rasyid Baswedan. Pembelaan JK disampaikan saat ditanya para wartawan terkait reaksi warganet yang mengkritisi pidato perdana itu. Berikut petikan pembelaan yang diungkap Wapres dari liputan6.com:

Menurut JK, sapaan Jusuf Kalla, Anies saat itu bercerita mengenai sejarah kelam Batavia. Kalimat yang disampaikan Anies, tidak seharusnya dipenggal dalam satu kata.

"Begini, konteksnya kan sejarah, dia menceritakan. Jadi jangan hanya cut  satu kata, dalam konteks apa dia bicara, dia bicara dalam konteks kolonial, karena itu harus bangkit," kata JK.

Bila melihat konteks pribumi yang disampaikan Anies, tentunya tidaklah salah.

Klarifikasi senada dengan pembelaan Wapres Jusuf Kalla disampaikan Gubernur DKI Jakarta Anies Rasyid Baswedan sendiri saat ditanya oleh wartawan. Disini tautan beritanya.

Hingar bingar soal pidato itu pun membawa beberapa masyarakat melaporkannya kepada kepolisian karena diduga isi pidato itu terdapat unsur tindakan diskriminatif yang melanggar hukum yang ada. Laporan tersebut diterima Bareskrim Polri dengan LP/ 1072/X/2017/ tanggal 17 Oktober 2017.

Koordinator Gerakan Pancasila Jack Boyd Lapian menilai makna kata pribumi yang disebut Anies diduga bisa memecah belah keberagaman di Indonesia. Ia pun mempertanyakan makna pribumi yang dimaksud Anies.

"Petaka di sini dikatakan Pak Anies pribumi. Pribumi yang mana? Pribumi Arab? China? Siapa? Karena saya lihat ini memecah belah Pancasila. Pada Pancasila tak ada lagi apa bahasamu, apa ras, semua menjadi satu," tutur Jack setelah melaporkan Anies ke Bareskrim.

Saya pun menulis soal adanya dugaan pelanggaran hukum terkait pidato itu, silakan baca pada tautan ini

*******

Incess Syahrini (Tribunnews.com)
Incess Syahrini (Tribunnews.com)
Setiap bahasa, tak hanya dalam bahasa Indonesia, Karena ada sejarah tertentu kata-kata atau frasa tertentu harus ditempatkan pada kalimat yang benar, dalam konteks yang benar sehingga bisa dipahami dengan baik dan benar pula. Ini tentu saja agar tidak menimbulkan salah arti atau paham, sehingga komunikasi pun lancar.

Sebagai contohnya, coba perhatikan kata-kata dan frasa terkenal dalam pergaulan berikut; incess, sesuatu banget, maju mundur cantik, cetar membahana, jambul katulistiwa, ciaobella, syantiek, usir syantiek sanah, ulala, terpampang nyata dan lain-lain. Kata-kata atau frasa itu pertama kali terlontar dari bibir seksi Syahrini. Kata-kata dan frasa itu, bahkan lekat dengan keseharian komunikasi pergaulan kita. Sampai saat ini, hampir semua dari kita tahu konteks dan sejarah asal muasal kata-kata dan frasa itu. Pada akhirnya karena asyik dan terdengar lucu, kita eniru dan seringkali menggunakan kata-kata atau frasa itu.

Siapa yang tak kenal Syahrini? Semua kenal dia. Syahrini adalah penyanyi cantik, putih, mulus, ayu, seksi yang sensasional, selain terkenal. Syahrini seringkali membuat kata atau frasa hingga viral. Untuk memahaminya, kita perlu mengetahui makna tepat dari kata tersebut melalui konteks dan etimologi. Misalnya, kata incess, sepintas pengucapan kata tersebut mirip dengan kata dalam bahasa Inggris incest  (hubungan selibat). Namun ternyata incess  maknanya jauh berbeda. Incess   adalah kependekan dari  Princess. 

Syahrini menyebut dirinya dengan sebutan Incess  sebagai ganti  Princess. Jadi, jika mendengar frasa Incess  Syahrini kita secara otomatis mengetahui bahwa yang dimaksud bukan hubungan selibat yang berkaitan dengan Syahrini, namun yang dimaksud adalah Princess  Syahrini (Tuan Puteri Syahrini). Kita pun akhirnya sering menggunakan kata incess  ini dalam komunikasi keseharian sebagai ganti kata saya/aku.

Nich contohnya yang lain.

"Kamu tuch sesuatu banget buatku," ujar Mase kepada wanita di hadapannya

"Ulala, siapa dulu dunk? Inceeess.....!," balas wanita itu sambil mengerling manja dan berkata dengan intonasi centil.

Kata-kata dan frasa yang dibuat oleh Syahrini tersebut di atas hanya berlaku pada konteks komunikasi pergaulan, main-main, lucu-lucuan dan kecentilan. Semua kata dan frasa itu tak bisa digunakan dalam konteks yang resmi dan baku, semisal korespondensi resmi antar lembaga pemerintahan atau komunikasi dalam sidang peradilan.

Dalam pergaulan saja kita mesti memperhatikan konteks dan sejarah kata, apatah lagi dalam situasi resmi pemerintahan seperti komunikasi rakyat dengan para pemimpinnya atau sebaliknya, rapat dan sidang, korespondensi, proses belajar mengajar, bahkan komunikasi antar Tuhan dan hamba-Nya dalam bahasa apapun, dan lain sebagainya.

Penempatan kata atau frasa tidak hanya dalam tata bahasa yang disepakati kaidah pemakaiannya, namun juga terkadang Pemerintah pun memberikan aturan tertentu dalam pemakaiannya, bahkan Tuhan pun ikut cawe-cawe mengaturnya. Semua karena mengingat konteks dan sejarah kata itu.

Sebelum kita urai dalam konteks apa Tuhan cawe-cawe  soal kata. Kita lihat dulu kata "pribumi".

Menurut Fasisal Aslim (Zenius.net, 2015), isstiah pribumi digunakan oleh penjajah Belanda yang menunjuk pada satu kelompok penduduk Hindia Belanda yang berasal dari suku-suku asli Kepulauan Nusantara, kemudian disebut inlander. Sedangkan penduduk Indonesia keturunan Cina, India, Arab (semuanya dimasukkan dalam satu kelompok, Vreemde Oosterlingen), dan Eropa maupun campuran sering dikelompokkan sebagai non-pribumi meski telah beberapa generasi dilahirkan di Indonesia.

Kebijakan penjajah Belanda yang antipati dengan suku asli kepulauan Nusantara, pada akhirnya merekrut pekerja dan pedagang dari Tiongkok, India dan Arab untuk bekerja dan berdagang di belahan Nusantara lainnya, seperti Pontianak, Medan, Maluku, Papua, Makassar, Padang, dll. Ketidak percayaan penjajah Belanda kepada pribumi, maka dibuatlah perkampungan-perkampungan Pecinan yang dibikin eksklusif seperti pejabat-pejabat Belanda. 

Inilah sumber permasalahan berbau rasisme yang sampai sekarang masih menghantui kondisi sosial masyarakat Indonesia. Ulah penjajah yang pada waktu itu selalu menganggap manusia perlu diklasifikasi, akhirnya berujung pada justifikasi dan perilaku diskriminatif terhadap golongan etnik tertentu. Hal itu berlarut-larut menjadi dampak yang lebih luas, dari mulai ekslusivitas sampai kecemburuan sosial dan masih terus mengakar pada masyarakat modern Indonesia, bahkan sampai sekarang.

Oleh karena itu, pada tahun 1998 Presiden BJ Habibie mengeluarkan Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 1998 Tentang Menghentikan Penggunaan Istilah Pribumi Dan Non Pribumi Dalam Semua Perumusan Dan Penyelenggaraan Kebijakan, Perencanaan Program, Ataupun Pelaksanaan Kegiatan Penyelenggaraan Pemerintahan instruksi butir Pertama yaitu "Menghentikan penggunaan istilah pribumi dan Non pribumi dalam semua perumusan dan penyelenggaraan kebijakan, perencanaan program, ataupun pelaksanaan kegiatan penyelenggaraan pemerintahan."

Itulah kenapa kata pribumi sebaiknya dihindari, karena mempunyai sejarah yang panjang dan diskriminatif pada bangsa ini. Jika dibiarkan tanpa pengaturan penggunaan kata pribumi dalam komunikasi resmi dan pergaulan dikhawatirkan memunculkan kembali perasaan diskrimintaif dengan derajad keparahan yang lebih tinggi dan memecah belah persatuan bangsa yang sedang membangun ini

Bahkan, sebelumnya sekitar 1400 an lalu Tuhan Allah SWT telah memberikan peringatan soal penggunaan kata dalam Al Quran. Jika kata itu menyebabkan tersakitinya pihak lain, Allah memerintahkann untuk menggunakan kata lain yang sepadan. Coba simak Firman Tuhan dalam Al Quran berikut.

"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu katakan (kepada Muhammad): Raa'ina, tetapi katakanlah: Unzhurna, dan "dengarlah". Dan bagi orang-orang yang kafir siksaan yang pedih. (QS Al Baqarah ayat 104).

Coba perhatikan terjemahan firman itu. Dalam kalimat itu terdapat kata Raa'ina artinya "sudilah kiranya kamu memperhatikan kami" dan unzhurnaa dengan arti yang kurang lebih sama.

Turunnya ayat itu bukan tanpa alasan, sebabnya yaitu sebagaimana diceritakan oleh Ibnu Mundzir, dari Sadiy, katanya, "Ada dua orang Yahudi, yaitu Malik bin Shaif dan Rifa`ah bin Zaid, jika mereka bertemu dengan Rasulullah saw dan melawannya berbicara, mereka mengatakan kepadanya, 'Raa`ina dan seterusnya.'Menurut Abu Na`im dalam kitab Dalail, dari jalur Sadiyush Shaghir dari Al-Kalbiy, dari Abu Shalih, dari Ibnu Abbas, mengatakan, "Dalam bahasa orang-orang Yahudi, raa`ina itu berarti makian keji.

Karena ketidaktahuannya, para sahabat menggunakan kata tersebut kepada Rasulullah. Demikian juga kedua orang Yahudi itu, namun keduanya dalam mengucapkan kata raa'ina  dengan cara digumamkan. Alih-alih menyebut raa'ina  padahal yang mereka katakan ialah Ru'uunah yang berarti kebodohan yang sangat. Makna itu dimaksudkan untuk mengejek Rasulullah Muhammad saw.

Tentu saja Tuhan tidak suka dan tidak terima utusanNya dimaki dan dijelekkan seperti itu walaupun hanya ejekan dengan kata-kata, lalu Tuhan pun menurunkan ayat 104 Al Baqarah yang intinya meminta para sahabat untuk mengganti kata raa'ina  menjadi unzhurna,kata yang sama artinya dan lebih baik.

Nah, itulah sebabnya Tuhan menyuruh para sahabat menukar perkataan raa'ina  dengan unzhurna.

Namun demikian, ayat itu jangan hanya dimaknai secara khusus pada kata sesuai ayat itu dan sebab turunnya (raa'ina  dan unzhurna), namun berlaku secara keseluruhan kata, frasa atau bahkan kalimat yang kita gunakan dalam berbahasa. Apapun bahasa yang kita gunakan jika diduga kata tersebut berkonotasi negatif, ganti yang sama artinya dan lebih baik dengan tidak mengubah arti apa yang dimaksud.

Tuhan aja care  terhadap kata. Dari ayat itu, kita mengetahui bahwa  Tuhan memperingatkan bahkan memerintahkan kita untuk hati-hati menempatkan kata pada suatu kalimat pada konteks yang tepat karena terkait sejarah atau asal muasalnya. Apabila diduga kuat sebuah kata, frasa, bahkan kalimat dalam komunikasi pergaulan atau resmi akan menyinggung lawan bicara atau pihak lain hendaklah menggunakan kata lain yang setara untuk menghindarkan kesalahpahaman, melukai hati, ketersinggungan atau bahkan memecah belah persatuan bangsa.

Beliaunyah, Anies Rasyid Baswedan adalah salah seorang pemimpin di Indonesia, berpendidikan tinggi, beliau adalah mantan rektor suatu lembaga pendidikan terkenal di Jakarta, juga beliau adalah  ex-menteri pendidikan Republik Indonesia, bahkan sekarang menjabat Gubernur DKI Jakarta. Tentu seharusnya mengetahui peringatan Tuhan tersebut, selain sejarah kata pribumi yang menimbulkan polemik itu.

Cek and ricek, gitulah istilah jaman now.

Jadi, kata pribumi dalam pidato itu sebaiknya diganti menjadi warga negara Indonesia.

-------mw-------

Sumber Bacaan

1. Bintang

2. Tempo

3. IDN Times

4. Liputan6

5. Bacaan Jiwa

6.Detik

7. Zeius

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun