Mohon tunggu...
Ouda Saija
Ouda Saija Mohon Tunggu... Dosen - Seniman

A street photographer is a hitman on a run.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Kemanakah Pahlawan Masa Kecilku?

23 Maret 2010   19:20 Diperbarui: 26 Juni 2015   17:14 428
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

[caption id="attachment_100936" align="aligncenter" width="300" caption="Pemilik tanah Checagou (dok. pribadi, difoto dari Chicago History Museum)"][/caption]

Chicago, itulah nama kota di mana aku akan menjalani pengasinganku selama 36 purnama. Aku bertanya-tanya dalam hatiku. Mengapa Chicago namanya? Apakah sama dengan nama-nama kota di bumi Parahyangan? Apakah karena ada sungai yang bernama Cago? Bukankah peradaban dari jaman prasejarah selalu dibangun di sekitar sungai?

Chicago ada di daerah Amerika tengah, tanah orang-orang Indian yang berkulit merah. Ingatanku menelusur kembali ke masa kecil. Tentang orang-orang Indian yang penuh dengan semangat kepahlawanan. Hanya berbekal panah dan tombak melawan senapan dan pistol, berkuda tanpa pelana dengan gagahnya.

Gambaran kepahlawanan ini aku dapat dari film bisu yang diputar di lapangan pinggir desa. Desa kecil tak berlistrik, yang mempunyai lapangan di sisinya adalah tempat sempurna bagi pemutaran film hitam putih tanpa suara. Selepas Isya, lapangan mulai gelap dan pertunjukkan film segera mulai. Produsen jamu yang memutar film itu akan segera berceloteh mengiklankan jamunya dengan pengeras suara. Aku tak terganggu karena film memang tak bersuara. Angin sawah berbintik embun bertiup dari selatan, sangat sejuk. Kamipun duduk dirumputan berkeruduk sarung.

Bagiku, film hitam putih tak bersuara itu sempurna! Aku bisa mewarnai sendiri para tokohnya. Aku bisa membuat dialog sendiri di kepalaku.

Esok harinya, kami semua bermain Indian-indianan. Mengikat kepala kami dengan pelepah pisang dan menyelipkan beberapa bulu itik atau ayam yang kami pungut dari kandang dan kebun. Kami membuat busur dan anak panah dari bilah-bilah bambu. Berlarian keliling desa sambil berteriak-teriak, membuat jeritan-jeritan seperti orang Indian. Yang kami panah bukan manusia atau binatang tetapi hanya batang-batang pisang.

[caption id="attachment_100939" align="alignright" width="150" caption="Meriam tangan, pembantai orang Indian.(dok. pribadi, difoto dari Chicago History Museum)"][/caption]

Kalau didengarkan dengan seksama, ketika anak panah bambu menancap di batang pisang, suaranya seperti benda tajam yang menusuk daging manusia … “cresh”. Dan batang pisang akan memercikan air, seperti percikan darah.

Tiba di Chicago aku kecewa. Tak ku temukan satupun pahlawan masa kecilku. Di musim gugur, aku menelusuri jalanan yang penuh daun maple merah kuning berserakan, tak kutemukan bekas tapak kaki mereka. Di musim dingin, tak ada juga bekas tapak kaki mereka di atas salju yang putih.

Aku mencari lebih dalam lagi. Ku tirukan cara mereka yang ku ingat dari film bisu masa kecil dulu. Aku jongkok, memegang tapak kaki yang masih hangat, tapi ternyata bukan tapak kaki mereka. Aku rebah di tanah, menempelkan telinga di tanah, mendengarkan derap kaki kuda, namun tak ada suara apa-apa.

Aku menyeruak masuk dalam kerumunan, mereka tak ada. Dalam jejal-jejal kereta dan bis kota, mereka tak ada. Dalam keramaian toko-toko di tengah kota, mereka juga tak ada.

Seorang lelaki tua berpakaian kumal dengan jarinya yang gemetar dimakan usia menunjuk sebuah papan. “Di sana.” Suara yang parau keluar dari kerongkongannya.

Aku mengikuti petunjuknya dan menemukan pahlawanku dalam etalase-etalase duka di museum sejarah kota. Terjawab semua pertanyaanku tentang para pahlawan masa kecilku. Mereka terbantai dan terusir dari tanahnya. Terkunci di tempat-tempat reservasi, perlahan-lahan mati.

Hanya nama Chicago yang mereka tinggalkan untuk tanah mereka. Chicago berasal dari kata Checagou yang berarti bawang merah. Tanaman ini banyak tumbuh di rawa-rawa di sekitar sungai dan danau. Hanya nama yang tersisa. Tak ada lagi panah, busur, dan bulu yang terselip di kepala.

[caption id="attachment_100941" align="aligncenter" width="500" caption="Ke sini mereka pergi. (dok. pribadi, difoto dari Chicago History Museum)"][/caption]

***

(cuilan catatan pahlawan masa kecil)


Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun