Mohon tunggu...
Ouda Saija
Ouda Saija Mohon Tunggu... Dosen - Seniman

A street photographer is a hitman on a run.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Cyber-Sastra dan Kompasiana

16 Juli 2010   21:12 Diperbarui: 26 Juni 2015   14:48 499
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Cyber-Sastra dan Kompasiana

[caption id="attachment_196315" align="alignleft" width="244" caption="Sastrawan Digital? (doc. ouda)"][/caption]

Karya sastra dengan kemajuan teknologi saat ini bisa muncul dengan berbagai bentuk. Pada awal mulanya sebelum teknologi tulisan berkembang dengan baik, karya sastra banyak disampaikan secara lisan. Pada perkembangan berikutnya karya sastra diekpresikan dalam bentuk tulisan. Bentuk-bentuk karya sastra tulis ini berkembang sesuai dengan perkembangan kebudayaan manusia itu sendiri.

Dengan banyaknya jumlah tulisan para kritikus kemudian membedakan karya sastra menjadi karya sastra yang dianggap bernilai tinggi atau high literature, dan sastra popular atau pop literature. Bahkan pada perkembangannya kita mengenal apa yang dipopulerkan oleh Kompas cetak sebagai Sastra Koran, khususnya cerita pendek. Dengan hadirnya teknologi internet maka muncul pula karya sastra yang diterbitkan di internet. Tulisan pendek ini akan membahas sastra digital khususnya di Kompasiana.

High Literature atau yang biasa di terjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia menjadi sastra inggil dan sastra pop-pun masih menjadi perdebatan. Keberatan banyak pihak adalah siapa yang berhak mengatakan sebuah karya sastra adalah sastra inggil sedangkan karya sastra lain adalah roman picisan. Pada saat semuanya serba terpusat, sampai pada bahasa dan karya sastra biasanya yang merasa punya hak dan wewenang menentukan mana yang baik dan berharga dan mana yang tak berharga adalah lembaga bentukan pemerintah. Kemudian melalui sekolah, lembaga ini akan mempopulerkan canonized literature atau karya sastra yang diakui nilai kesusasteraannya.

Pada era keterbukaan di mana media menjadi semacam lembaga yang membentuk opini public yang biasanya kemudian mengarah pada kebenaran public, media juga lah yang kemudian menjadi lembaga penentu mutu sebuah karya sastra. Kita kemudian mengenal istilah “Sastra Koran” atau “Sastrawan Koran” yang antara lain dipopulerkan oleh Kompas cetak. Para penulis yang cerpennya dimuat di Kompas cetak dan lebih lanjut terpilih menjadi penulis terbaik dan karyanya turut terpublikasikan dalam kumpulan cerpen terbaik Kompas secara otomatis menjadi seorang “sastrawan”.

Sastra Digital

Bagaimana sekarang dengan Kompasiana dan sastra digital? Mampukah Kompasiana.com melahirkan “sastrawan digital”? Saya sendiri sebagai pembaca karya-karya fiksi Kompasiana, lumayan yakin bahwa akan lahir beberapa “satrawan digital” di Kompasiana.com. Keyakinan saya ini tentu bukan tanpa alasan.

Alasan utamanya adalah Kompasiana memberi tempat bagi berkembangnya genre sastra ini. Dengan format yang baru Kompasiana.com memberikan tempat bagi fiksi sejajar dengan jenis-jenis tulisan lain. Dengan demikian kesempatan bagi karya fiksi di Kompasiana yang berupa puisi dan prosa untuk terbaca semakin baik. Bahkan admin kompasiana berani memasukkan beberapa karya fiksi dalam headline. Ini saya kira adalah sebuah terobosan yang sangat berani dan sangat berarti.

Alasan yang kedua adalah pembaca. Kompasiana.com tertaut dengan Kompas.com sebuah lembaga media yang didukung keuangan yang kokoh yang memungkinkan berbagai inovasi terbiayai. Dengan demikian jumlah pembaca secara umum sangat banyak sehingga pembaca karya sastra di Kompasiana.com pun cukup besar. Biasanya judul yang berbau porno, politis, atau provokatif yang mendapat jumlah klik terbanyak. Tapi sayapun pernah heran karena tulisan fiksi saya ada yang terklik sampai 944 kali, meskipun secara rata-rata pembaca fiksi saya berkisar 100 atau 200 orang saja.

Sastrawan Digital?

Siapakah lalu sastrawan digital itu? Siapa yang berhak memberikan gelar kepada seseorang sebagai sastrawan digital?

Pada era semua serba terpusat tentu saja pemerintah melalui lembaga bentukannya yang berhak menentukan. Pada era media cetak dan televise meraja, Koran dan TV-lah yang berhak menganugerahi gelar tersebut. Sekarang? Ketika jaman bergerak menuju jaman postmodern, ketika perantara tidak lagi bisa menentukan, PEMBACA-lah yang bisa memilih siapa yang dianggap sastrawan digital. Jadi adakah seorang sastrawan digital, saya kira tidak lagi karena kebebasan menjadi mutlak milik PEMBACA. Bagi seorang pembaca si A adalah sastrawan digital-nya, tapi bagi pembaca lain dia tak lebih dari penyusun aksara menjadi kata-kata yang tak bermakna.

Jadi andapun jangan sampai terpengaruh oleh tulisan saya. Jangan juga terpengaruh oleh fiksi-fiksi HL yang dipilih admin Kompasiana. Sudah bukan jamannya. Selamat membaca fiksi-fiksi Kompasiana dan memilih serta menentukan “sastrawan digital” kompasiana favorit anda sendiri. He he he ...


Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun