Pada Kamis 26 Juni 2024, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan operasi  tangan kepada 6 orang di wilayah Mandailing Natal, Sumatera Utara. Penangkapan ini dilakukan atas dugaan  proyek jalan tanpa melalui lelang resmi sebesar 231 Miliar . Salah satu sorotan pelaku OTT dari kasus ini adalah Topan Obaja Putra Ginting, Kepala Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) Provinsi Sumut yang baru saja dilantik 4 bulan lalu dan merupakan salah satu rekan kerja gubernur Bobby Nasution sewaktu menjadi walikota Medan. Kasus ini bukan sekadar cerita tentang uang dan kekuasaan. Ia mencerminkan rapuhnya sistem pengadaan proyek infrastruktur di daerah serta lumpuhnya etika birokrasi dalam pelayanan publik.
Latar Belakang dan perkembangan kasus OTT korupsi proyek jalan PUPR SUMUT
Awalnya kasus ini berasal dari laporan Masyarakat Mandailing Natal dan sejumlah wilayah lain di Sumatera Utara mulai mengeluhkan buruknya kondisi jalan provinsi. Beberapa laporan disampaikan ke media lokal dan nasional sepanjang mei 2025. KPK kemudian melakukan sejumlah pemantauan karena proyek-proyek jalan yang dikelola oleh Dinas PUPR tidak sesuai harapan publik meski nilainya besar. Lalu pada akhir Mei KPK menemukan adanya upaya suap-menyuap dalam proyek pembangunan jalan yang mana tidak melalui proses lelang resmi antara kontraktor dan pihak pemerintah. KPK kemudian melakukan OTT dengan menangkap tersangka KIR selaku Direktur Utama PT DNG dan tersangka RES selaku Kepala UPTD Gunung Tua Dinas PUPR merangkap pejabat pembuat komitmen (PPK) yang diduga melakukan perjanjian proyek tanpa melalui mekanisme dan ketentuan dalam proses barang dan jasa. KPK juga menemukan bahwa perintah ini langsung diberikan oleh Topan Ginting selaku kepala dinas PUPR SUMUT. Atas pengaturan inilah terdapat pemberian uang dari KIR dan tersangka RAY selaku Direktur PT RN untuk RES yang dilakukan melalui transfer Ray. RAY merupakan anak dari KIR yang ikut sebagai pelaku dalam kasus ini.
Kemudian pada malam kamis malam 26 Juni 2025 KPK menggelar operasi tangkap tangan (OTT) di Mandailing Natal, Sumut, yang menjaring enam orang termasuk Kadis PUPR Sumut, Topan Obaja Putra Ginting. KPK menjelaskan bahwa Lima orang kemudian ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan selama 20 hari di Rutan KPK, termasuk Topan Ginting, pejabat UPTD PUPR, serta dua kontraktor swasta. Dalam temuannya KPK menemukan bahwa kasus korupsinya bernilai Rp231,8miliar. Salah satu proyek yaitu jalan Sipiongot -- Batas Labuhanbatu Selatan senilai Rp96miliar, dan dua lagi di Hutaimbaru -- Sipiongot (Rp61,8miliar) serta empat proyek pemeliharaan senilai total Rp56,5miliar. Dalam pernyataannya KPK melalui Plt. Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK Asep Guntur Rahayu menjelaskan bahwa Atas perbuatannya, tersangka KIR dan RAY disangkakan telah melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a atau b atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Sedangkan tersangka TOP dan RES disangkakan telah melanggar Pasal 12 huruf a atau b, Pasal 11, atau 12B Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.Â
KPK juga menambahkan bahwa kasus ini belum sepenuhnya selesai karena akan ditelusuri aliran dana ini dengan menggandeng Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) untuk menelusuri aliran dana suap proyek tersebut. Dimana tidak akan ada pengecualian tanpa membeda-bedakan jabatan atau pos
isi.
Analisis Kasus OTT korupsi proyek Jalan Sumut
 Untuk menjelaskan kasus ini secara ilmiah dapat digunakan dengan penjelasan teori berikut:
1. Teori Patrimonialisme dalam Birokrasi
Dalam teori patrimonialisme (Max Weber), struktur birokrasi dalam negara berkembang sering kali tidak sepenuhnya rasional legal,tetapi bercampur dengan logika personalisme dan relasi patron-klien. Jabatan publik digunakan bukan sebagai alat pelayanan publik, melainkan sebagai alat distribusi patronase kepada pihak-pihak tertentu, termasuk pengusaha atau kolega politik. Dalam kasus ini, kita melihat bahwa:
- Jabatan Kepala Dinas tidak difungsikan sebagai pelayan publik yang menjalankan tata kelola berdasarkan regulasi, melainkan sebagai "pengatur proyek" yang dapat menunjuk rekanan secara langsung.
- Rekanan kontraktor yang mendapatkan proyek adalah mereka yang memiliki relasi informal atau telah menyepakati pembagian keuntungan, menandakan bahwa jabatan digunakan sebagai alat distribusi patronase.
- Praktik ini mengubah birokrasi menjadi perpanjangan tangan kekuasaan personal, bukan sebagai sistem yang bekerja untuk kepentingan publik.