Cinta itu anugerah. Kalau tidak ada cinta dunia ini serasa hampa. Dunia cinta itu bisa melanda tua muda, lelaki perempuan, kaya miskin.  Ah  itu adalah indahnya cinta dari potongan atau ingatan dari lagu dari seorang tua yang berusaha untuk memelihara cinta.
Remaja, kaum milenial dan kaum telat yang mencoba milenial lalu ikut-ikutan nggaya jadi budak cinta yang diaku sebagai trennya milenial. Benarkah? Lalu apa kriterianya disebut budak cinta? Sepertinya budak cinta ada dari dulu tetapi dulu nggak banyak istilah-istilah untuk cinta.
Adanya cinta Siti Nurbaya. Kawin lari. Hamil duluan nikah menyusul. Madon. Selingkuh. Tidak ada pelakor pebinor, budak cinta dan istilah cinta lainnya khas milenial.
Kalau dipikir-pikir sebenarnya sama saja sih. Substansinya adalah hubungan lelaki dan perempuan. Ini  yang wajar. Ada juga yang agak gimana gitu karena cinta itu tidak memandang ras, suku, agama dan jenis kelamin.
Lalu yang bikin bergidik adalah cinta kok berubah menjadi kriminal. Itu yang belum bisa dimengerti atau dipahami.
Namanya cinta itu ya berbagi kasih. Tolong menolong. Saling memperhatikan. Perilaku menjaga perasaan pasangan. Ngomong tidak asal njeplak.
Lah, kalau membakar rumah kekasih. Membunuh sang kekasih. Melukai secara fisik sang kekasih. Melukai secara psikologis sang kekasih. Nyebarin video cinta. Ini apa namanya. Serius nanya?
Haruskah cinta menyeret, membawa-bawa penegak hukum? Cinta yang semestinya menyenangkan kok berubah menjadi bencana. Berubah menjadi kriminal. Ditimbang di meja hijau. Berakhir di jeruji besi penjara.
Duh.
Adek dan kakak kalau tak mampu berbagi kasih. Tolong menolong. Saling memperhatikan. Berperilaku menjaga perasaan dan menjaga omongan maka lebih baik tidak jatuh cinta. Cinta itu berat. Kamu dan kamu nggak kuat. Lebih baik aku saja di dusun.
Mencintai ikan lele, mencintai ayam, mencintai sayuran dan mencintai alam. Ini juga cinta mencari duit.