Mohon tunggu...
OtnasusidE
OtnasusidE Mohon Tunggu... Petani - Petani

Menyenangi Politik, Kebijakan Publik dan Kesehatan Masyarakat

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan featured

Renungan Hari Dokter Indonesia, Menjadi Dokter Itu Tidak Mudah

24 Oktober 2018   15:15 Diperbarui: 24 Oktober 2020   14:42 1073
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Foto: Hospital Ship. kstarnews.co.id

Perempuan itu sedang berkeringat menjahit luka seorang korban kecelakaan. Semua dilakukannya dengan telaten dan teliti.

Perempuan itu satu waktu, juga membantu seorang ibu yang melahirkan. Perintahnya pada si ibu dilakukan dengan tegas dan sekaligus memberikan semangat pada si ibu agar dapat mengeluarkan si bayi dengan normal, selamat.

Bukan ruangan ber-AC ataupun ruangan dengan fasilitas kesehatan mewah, pelayanan itu dilakukan. Pelayanan itu justru dilakukan di ruangan sederhana. Kalau mesin generator masih ada bensin maka kipas angin baling-baling di atas ruangan dihidupkan. Kalau perhitungan bensinnya tipis maka kipas baling-baling itu tidak dihidupkan.

Perempuan itu harus mengambil tindakan operasi dan pelayanan kesehatan lainnya dengan dukungan peralatan yang sangat minim. Itulah fenomena dokter-dokter ataupun pelayan kesehatan di daerah-daerah terpencil.

Melihat anak-anak desa di daerah Pantai Timur Sumatra, di daerah transmigrasi, perempuan itu tergoda untuk memberdayakan dan menjual mimpi pada mereka untuk nekat mengenyam pendidikan yang lebih tinggi. Meningkatkan kualitas hidup agar mereka satu waktu memberikan pelayanan kesehatan di kampungnya sendiri.

Dokter cilik, Posyandu, Kader Kesehatan PKK dan lain sebagai dibentuk oleh perempuan ini dengan bekerjasama dengan bidan desa di Pustu-Pustu di daerah jalur. Semua dilakukan tanpa mengenal lelah.

Satu waktu perempuan itu tidak lagi berada di daerah jalur. Perempuan itu ditugaskan ke luar daerah. Di pindahkan ke Jalan Lintas Timur Sumatra. Sebuah perpisahan mengharukan terjadi.

Walau sudah tidak bertugas di daerah jalur tetapi sebagian warga terkadang masih mendatangi si perempuan ini untuk meminta saran mengenai penyakit ataupun pertolongan lainnya. Si perempuan ini seperti penyihir.

Dengan matanya terkadang, dia tahu dan tidak menarik pembayaran di ruang prakteknya yang sederhana berdinding papan. Dengan senyumnya terkadang sudah membuat anak yang panas tinggi langsung turun alias adem.

Hingga satu waktu perempuan itu memutuskan untuk tidak mengambil pendidikan spesialis dengan alasan tidak ada duit. Dia tidak bisa mengumpulkan duit dari warga transmigran dan juga tidak bisa mengumpulkan duit dari warga yang berobat ke tempat prakteknya di Jalan Lintas Timur Sumatra.

"Aku ingin menjadi ibu rumahtangga saja. Mengurusi anak kalau diberi titipan kepercayaan Tuhan, mengurusi kamu. Sudah cukup bagiku," ujarnya satu waktu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun