Mohon tunggu...
OtnasusidE
OtnasusidE Mohon Tunggu... Petani - Petani

Menyenangi Politik, Kebijakan Publik dan Kesehatan Masyarakat

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Sembilu Memotong Hati

4 November 2017   08:32 Diperbarui: 4 November 2017   08:52 657
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Menjelang tengah malam barulah acara usai. Mataku yang nyalang berusaha untuk mencari si menara yang ternyata pandai menari. Teman satu kelompokku sudah mengajak pulang ke mess mahasiswa. "Sudahlah. Dia bukan pucat karena sakit tapi dia itu turun naik mobil dan rumahnya ber AC. Jarang kena matahari makanya dia pucat. Jangan mimpi. Lah kita saja kuliah jalan kaki dan makan belut got kalau sedang tidak punya duit," kata temanku sambil tertawa ngakak.

"Kok kamu tahu aku suka padanya". "Matamu itu loh suka mencuri pandang padanya waktu presentasi". Aku pun cuma lemas. "Ke mess lah dulu. Aku menyusul," kataku.

Aku jalan perlahan dari gedung pertemuan dari tengah kampus ke mess mahasiswa yang berada di pinggir kampus. Langkahku gontai. Apakah aku sedang jatuh cinta pada pandangan pertama atau aku terkena sihir dengan pernyataan si menara.

Entah kenapa langkahku begitu berat ketika aku melewati simpang tiga yang ada pohon besar ketika akan keluar dari lokasi gedung pertemuan. Tiba-tiba seperti ada tangan dari belakang yang langsung memegang pundakku. Dengan reflek akupun maju ke depan dan berbalik sambil jalan mundur.  Mukapun langsung pucat pasi. Takut. Menjelang malam seperti ini, tiba-tiba ada tangan di pundak kiri.

Usai berbalik dan aku melihat si menara dengan kaos oblongnya membuat mulutku terkunci. "Nah dirimu sekarang yang pucat dan jadi zombie," katanya sambil tertawa.

"Jangkrik," kataku. Akupun segera menguasai diri. Mukakupun langsung penuh dengan darah lagi. "Kalau jalan jangan melamun. Melamunkan seseorangkah?". Diriku pun bergairah kembali.  "Aku melamunkan dirimu". "Aku sudah tahu. Kau pasti akan melamunkan diriku," katanya pasti.

"Kau merindukanku. Kau akan sengsara. Sudahlah tidak usah kau lamunkan aku. Paling juga cuma tiga minggu. Tidak lebih." Langkah kakinya yang mantap maju ke depan seperti peragawati membuatku kembali terpaku.

Dia pun membalikkan badan dan berkata sambil tersenyum ketika aku terpaku. "Prameshwari," ujarnya sambil menjulurkan tangannya.

Aku pun bergerak, meraih tangannya. Dingin. Halus lentik. Ternyata dia punya lesung pipit yang tersembunyi di pipi kanan ketika tersenyum lebar. Cantik.

"Aku memang cantik dan aku sudah tahu kalau aku cantik. Tak perlu kau sampaikan." Waduuuhhhh. Nih perempuan seperti nenek sihir juga sudah tahu apa yang ada dibenakku padahal belum meluncur di lidah.

Aku pun seperti terhipnotis mengiringi jalannya. "Tinggal di mana dan ada nomor telepon". "Kau kan tahu fakultasku. Tinggal dicari saja".

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun