Mohon tunggu...
Yogie Pranowo
Yogie Pranowo Mohon Tunggu... Freelancer -

Pria Kelahiran Jakarta 8 Juli 1989 ini sedang berusaha (terus dan terus)menyelesaikan tesis magisternya di STF Driyarkara Jakarta. Aktif di beberapa kelompok teater independen, dan saat ini sedang bekerja sebagai pengajar paruh waktu di Kalbis Institute.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

The Form of "Ich und Du" karya Martin Buber

30 April 2012   05:51 Diperbarui: 25 Juni 2015   05:56 307
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Ich und du karya Martin Buber pertama kali diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Ronald Gregor Smith pada tahun 1937. Ich und du dianggap sebagai revolusi Copernican dalam teologi terhadap sikap ilmiah realistis. Proyek Buber adalah mengaitkan hubungan antara manusia dan Tuhan.

MENGENAL MARTIN BUBER

Buber lahir di Wina pada 8 Februari 1878. Ketika ia berusia 3 tahun, orang tuanya bercerai sehingga ia kemudian tinggal bersama kakek neneknya di Lemberg (Galicia), Polandia. Kakeknya, Solomon Buber adalah seorang sarjana Ibrani yang menulis beberapa tinjauan kritis terhadap Midrash (tafsiran Yahudi terhadap Alkitab). Solomon Buber dan Adela istrinya, sangat mempengaruhi cucu mereka, misalnya dalam hal tradisi dan pietisme Yahudi yang kuat. Selain itu, mereka juga memperkenalkan karya penulis-penulis Jerman terkenal seperti Goethe dan Schiller. Karena itu, ketika ia berusia 13 tahun di mana menurut tradisi Yahudi dianggap sudah dewasa dan boleh membaca kitab suci—dinyatakan melalui upacara bar-mitzvah—Buber malah membaca karyafilsuf Jerman, Schiller. Ketika usianya 14 tahun, ayahnya menikah lagi dan ia kembali tinggal bersama orang tuanya di Lemberg. Ia menyelesaikan studi di Polish Gymnasium (1896) pada usia 17 tahun kemudian masuk ke Universitas Wina untuk belajar filsafat dan sejarah seni. Dari Wina, ia melanjutkan studinya ke Universitas Berlin, Leipzig dan Zurich. Selama kuliah ia tidak memiliki arah yang jelas. Minatnya adalah pada hal-hal sekuler dan ia sama sekali tidak tertarik kepada hal-hal yang berkaitan dengan Yahudi, karena sejak kecil ia “membenci” segala bentuk ritual dan tata cara Yudaisme yang kaku. Baru ketika di Leipzig (1898), ia terlibat dalam gerakan Zionisme yang dipimpin oleh Theodor Herzl. Tahun berikutnya, ia menjadi salah seorang editor Die Welt (Dunia), majalah kaum zionispada zaman itu. Di sini ia bertemu dengan Paula Winkler—salah satu penulis Die Welt, seorang Katolik yang menjadi penganut Yahudi—yang kemudian menjadi istrinya. Pada tahun 1904, karena tidak sepaham dengan Zionisme ia keluar dari gerakan ini. Herzl ingin membangun Yahudi secara fisik (politis), sedangkan menurutnya yang dibutuhkan umat Yahudi bukan pembangunan fisik namun suatu kebangunan yang bersifat rohani, sehingga umat Yahudi dapat menjadi berkat bagi dunia. Di tengah kekecewaannya terhadap Zionisme dan Yudaisme ortodoks formal, ia membaca Zevaat Ribesh, sebuah buku yang berisi ajaran Hasidisme karya Baal Shem Tov, pendirinya. Ia tertarik kepada ajaran Hasidisme (Kata “Hasidisme” berasal dari bahasa Ibrani “hesed” yang berarti “kemurahan.”) yang sebetulnya sudah pernah ia kenal dulu. Ajaran ini berkembang di antara orang-orang Yahudi Eropa bagian Timur pada pertengahan abad kedelapan belas. Para Hasidim adalah orang-orang saleh yang setia kepada perjanjian. Mereka tergabung dalam sebuah

komunitas yang dipimpin oleh zaddikim, yaitu orang-orang yang “suci” atau “benar.” Karena ketertarikan itu ia kemudian mempelajari Hasidisme secara intensif dan memutuskan untuk mundur dari segala aktivitasnya menulis dan mengajar selama 5 tahun. Penelitian terhadap Hasidisme itu membuatnya makin “terpikat” pada ajaran ini.

Bagi Buber, Hasidisme adalah ajaran keagamaan yang terbaik. Hasidisme merupakan suatu komunitas yang hidup berdasarkan iman, bukan komunitas monastic yang hidup eksklusif, terpisah dari dunia. Mereka hidup biasa di tengah-tengah orang lain. Menurut Buber, yang ditekankan oleh ajaran ini adalah penyembahan yang penuh sukacita kepada Allah dalam keseharian hidup di dunia. Ketertarikannya pada ajaran Hasidisme menggerakkan Buber untuk menerjemahkan hikayat-hikayat Hasidisme ke dalam bahasa Jerman serta membukukannya. Alhasil, diterbitkanlah buku: The Tales of Rabbi Nachman (1906), The Legend of the Baal-Shem (1908), The Great Maggid (1922), The Hidden Light (1924), Tales of the Hasidim (1928),Gog and Magog (1940), Teaching of the Prophets (1942), dan karyabesarnya, Moses (1944). Ironisnya, meskipun ia adalah penafsir terbaikajaran Hasidisme di dunia modern, namun ia tidak pernah berkeinginanuntuk menjadi seorang Hasid, dan para Hasidim pun tidak pernah menganggapnya seorang Hasid.

THE FORM OF ICH UND DU

Buber tidak mau dipandang sebagai teolog, karena ia tidak memberikan doktrin atau ajaran apapun tentang Tuhan. Ia hanya berusaha merefleksikan kaitan antara manusia dengan Tuhan. Salah satu tokoh yang mempengaruhi pemikirannya adalah Kant. Dari Kant, ia menemukan dua jawaban atas perhatiannya terhadap waktu. Pertama, jika ruang dan waktu adalah bentuk murni dari persepsi, maka keduanya akan saling terkait hanya karena bisa menempatkan diri pada realita (phenomena). Kedua, keterkaitan antara keduanya sejatinya tidak dapat terjadi dalam dirinya sendiri. Artinya kenyataan di balik realita tidak dapat dijelaskan oleh ruang dan waktu itu sendiri (numena). Kant menunjukkan jalan menuju numena meski tidak dalam alasan teoritis melainkan alasan praktis yakni imperative kategoris yang mempertimbangkan yang lain sebagai tujuan bukan sarana. Buber ingin menunjukkan kepada kita bahwa ada sesuatu yang lain yang melawan kehidupan kita. Sesuatu yang melawan itu adalah mereka kaum pemikir monological. Maka dari itu Buber selalu menekankan hubungan antara manusia dan Tuhan harus selalu bersifat dialogis.

Seluruh pandangan filsafat dialogis Buber tertuang dalam bukunya, Ich und Du (I and Thou) yang terbit pada tahun 1923. Menurutnya, awal dari segala sesuatu adalah relasi. Pada dasarnya manusia hidup dalam relasi, bahkan dalam berbagai macam relasi yang kompleks. Baginya, all real living is meeting, manusia tidak mungkin hidup terisolir tanpa melakukan relasi apa-apa. Relasi yang pertama adalah I-It, dan yang kedua adalah I-Thou. Menurut Buber, manusia akan menemukan dirinya sendiri, menjadi pribadi yang utuh dan dapat menemukan tujuan hidupnya apabila ia mempunyai relasi I-Thou. Sebaliknya, hal-hal tersebut tidak dapat ditemukan dalam relasi I-It. Dalam relasi I-Thou, terjadi hubungan antarsubjek yang bersifat resiprok. Sedangkan dalam relasi I-It, manusia memperlakukan pihak lain sebagai objek. Menurutnya, hubungan I-Thou bukan sekadar pengalaman tetapi kehadiran dan berupa relasi. Hubungan I-Thou bersifat spontan, tidak diikat oleh aturan-aturan serta melampaui ruang dan waktu. Relasi I-Thou tidak hanya ditemukan dalam hubungan antarmanusia, tetapi juga dalam hubungan antara manusia dan alam dan spiritual beings. Sebaliknya, relasi I-It tidak hanya dijumpai ketika ia berhubungan dengan alam dan spiritual beings tetapi juga dalam hubungan dengan manusia yang lain. Hal itu tergantung pada apakah manusia memperlakukan hal lain itu sebagai objek atau membangun relasi dialogis antara subjek.

Relasi I-Thou adalah relasi yang seharusnya dimiliki oleh manusia, namun di samping itu, manusia juga membutuhkan relasi I-It. Menurut Buber, relasi I-It sendiri tidak jahat selama manusia tidak memanipulasi, “memperkosa,” mengubah, dan memperalat It. Ia menyatakan: “And in all the seriousness of truth, listen: without It a human being cannot live. But whoever lives only with that is not human.” Sayangnya, relasi I-Thou yang sangat baik itu tidak pernah langgeng, karena setiap relasi I-Thou selalu berubah menjadi relasi I-It.

I can assign it to a species and observe it as an instance, with an eye to its construction and its way of life. I can overcome its uniqueness and form so rigorously that I recognize it only as an expression of the law—those laws according to which a constant opposition of forces is continually adjusted, or those laws according to which the elements mix and separate. I can dissolve it into a number, into a pure relation between numbers, and eternalize it. Throughout all of this the tree remains my object and has its place and its time span, its kind and condition. But it can also happen, if will and grace are joined, that as I contemplate the tree. I am drawn into a relation, and the tree ceases to be an It.

Relasi I-Thou mencapai puncaknya ketika manusia memasuki relasi I-Eternal Thou, yakni Allah sendiri. Pengalaman bertemu dengan Eternal Thou jauh lebih penting dari sebutan nama Allah. Banyak orang menyebut dan memakai nama Allah namun tidak pernah mengenal dan mengalami kehadiran-Nya sehingga menganggap Allah hanya sebagai It. Bagi Buber, nama Allah berada jauh di atas pemahaman pikiran manusia. Karena Buber menganggap setiap penggambaran manusia tentang Allah pasti cacat, maka ia tidak berani menggambarkan Allah ke dalam nama-nama. Bagi Buber sendiri ada hubungan yang sangat erat antara relasi dengan Allah dan relasi dengan hal-hal lain. Di dalam semua lingkup relasi, manusia dapat berjumpa dengan Eternal Thou.

In every sphere, through everything that becomes present to us, we gaze toward the train of the eternal You; in each we perceive a breath of it; in every You we address the eternal You, in every sphere according to its manner.

Meskipun pertemuan dengan Eternal Thou berada di dalam relasi I-Thou, tetapi dengan tegas Buber membedakan Thou dengan Eternal Thou. Baginya, Thou dapat berubah menjadi It sedangkan Eternal Thou tidak. Perubahan relasi I-Thou menjadi I-Eternal Thou hanya mungkin terjadi bila manusia menjadi keberadaan yang utuh, menghancurkan segala jenis tembok yang memisahkannya dengan pihak lain, serta melepaskan naluri untuk menguasai benda-benda. Seperti dalam relasi I-Thou, dalam relasi I-Eternal Thou juga manusia tidak boleh memperlakukan Allah sebagai objek. Buber mengemukakan,

The only God worth keeping is a God that cannot be kept. The only God worth talking about is a God that cannot be talked about. God is no object of discourse, knowledge, or even experience. He cannot be spoken of, but he can be spoken to; he cannot be seen, but he can be listened to.

Dalam mistisisme dan agama-agama lainnya, manusia “memanjatkan” korban dan doa tanpa melibatkan relasi antara dia dan Allah. Karena tujuannya hanya supaya Allah menerima korban tersebut lalu mengabulkan doa mereka sehingga semua keinginan mereka terpenuhi. Buber tidak hanya menekankan bahwa manusia tidak boleh memperlakukan Allah sebagai objek (pembicaraan, penyelidikan, pemuasan kepentingan diri sendiri), tetapi ia juga menyatakan bahwa Allah dan manusia saling membutuhkan. Baginya, Allah membutuhkan manusia sama seperti manusia juga membutuhkan Allah.

Begitu dekatnya hubungan manusia dengan Allah sehingga Allah lebih dekat dengan manusia daripada manusia dengan dirinya sendiri. Meskipun hubungan I dengan Eternal Thou begitu eratnya, namun Buber masih membedakan natur Allah dengan manusia. Dengan mengutip pernyataan Schleiermacher, ia berpendapat manusia harus mempunyai feeling of dependence atau lebih tepatnya creature-feeling. Feeling of dependence atau creature-feeling ini bukan hanya perasaan tetapi merupakan kesadaran penuh bahwa manusia adalah makhluk ciptaan dan memiliki ketergantungan penuh kepada sang Penciptanya. Pertemuan manusia dengan Eternal Thou, sama seperti pertemuan dengan Thou, bersifat sangat spontan dan natural. Manusia tidak perlu mengadakan persiapan-persiapan, melakukan praktek-praktek tertentu atau bermeditasi untuk bertemu dengan Allah. Bahkan, manusia tidak memerlukan pengantara apapun dan siapa pun (termasuk Yesus) untuk bisa bertemu dengan Allah. Ketika manusia berjumpa dengan Eternal Thou, ia mendapatkan penyataan (revelation) dari Allah. Bagi Buber, penyataan Allah kepada manusia bisa datang kepada siapa saja dan kapan saja, tidak terbatas

melalui orang atau agama tertentu saja.

SINGKATNYA

Ich und du dapat dilihat sebagai suatu simphoni romantic dalam tiga “pergerakan” (movement) dengan struktur internal yang berbeda dan berirama. Pada bagian pertama dijabarkan tentang esensi hubungan dialogis. “who lives with it alone is not a man” . Bagian kedua dijabarkan tentang realita ich, bahwa takdir atau nasib itu muncul akibat manusia tertindas oleh yang lain. Manusia memandang sesamanya sebagai objek (penderita), dan bagian ini juga berfokus pada realita ketertindasan itu. Sedangkan bagian ketiga adalah bagian yang sedikit banyak berbau teologi, karena menjelaskan du sebagai du yang abadi.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun