Mohon tunggu...
Osya Wafir
Osya Wafir Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

An English Graduated Student, kinda wordsmith, an avid reader, and so-called humorous. Yet, people won't know me just as simple as that, since I'm kinda hard to guess. So, just dig me deeply and judge me never! But one thing for sure, I can never be bought by beautiful words since I'm a wordcrafter and I know that not all beautiful words indicate the truth.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

The Seven Good Years, Memoar Penuh Cinta Sang Penulis Israel

28 Desember 2016   19:41 Diperbarui: 28 Desember 2016   19:53 157
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hiburan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Etgar Keret adalah seorang penulis berkebangsaan Israel keturunan Yahudi yang sangat kritis terhadap pemerintahan negaranya sendiri. Ia menentang pendudukan Israel di Palestina melalui cerpen-cerpennya yang sarat dengan pesan-pesan perdamaian, hingga membuatnya sempat diboikot oleh negaranya sendiri–Israel. Namun demikian, ia tetap teguh mempertahankan pandangannya bahwa perdamaian akan selalu melampaui batas Negara, bangsa, bahkan agama.

The Seven Good Years sendiri berisi fragmen-fragmen pengalaman hidup Keret dalam rentang waktu tujuh tahun–pengalaman yang sejatinya adalah sebuah “penderitaan” bagi orang awam, namun oleh Keret justru diceritakan dengan menarik, humanis, cerkas, mengharukan, sekaligus lucu lewat olokan-olokan yang ia tujukan untuk dirinya sendiri. “Penderitaan” dalam kurun waktu tujuh tahun yang justru secara ironis ia beri judul “The Seven Good Years”.

Keret membuka pengalaman pertamanya tentang kelahiran anak pertamanya di sebuah rumah sakit, bersamaan dengan berdatangannya korban serangan bom. Di bagian lain, ia menceritakan perjalanannya ke Bali saat diundang dalam sebuah event festival penulis. Ia menuturkan bagaimana susahnya memperoleh visa, juga menghadapi larangan ayahnya untuk datang ke Indonesia. “Itu negeri mayoritas Muslim, anti-Israel, dan anti-Semit,” begitu nasihat ayahnya. 

Keret berulang kali bilang bahwa di Bali mayoritas penduduknya adalah Hindu, tapi sang ayah tetap sarkastis menyangkal, “kita tidak perlu suara mayoritas untuk menembakkan peluru di kepalamu”. Tentu saja, ia akhirnya datang, dan bertemu orang-orang yang melihatnya dengan tatapan curiga. Sebagai seorang Yahudi berkebangsaan Israel, Keret kerap merasa takut dengan orang-orang asing dari luar negaranya. Di dalam hatinya, ia menyebut dirinya sendiri sebagai seorang Yahudi paranoid ketika bertemu dengan orang yang membenci Yahudi. 

Keluarganya sendiri–ayah dan ibunya–adalah penyintas Holocaust di zaman Nazi Jerman, hidup bersama para mafia dan ditampung di rumah pelacuran–tempat di mana mereka justru menemukan kasih sayang.

“Dalam Jejak Ayahku” adalah fragmen yang paling saya suka. Ia menggambarkan bagaimana seorang ayah, secara insting, melindungi anaknya. Itu yang ia lakukan pada anak lelakinya–Lev, dan itu juga yang dilakukan oleh ayahnya terhadapnya. “Dunia yang kita tinggali kadang bisa menjadi sangat keras. Dan, ini akan adil untuk setiap orang yang lahir mendapatkan setidaknya satu orang yang selalu akan ada di sana untuk melindunginya”, ini adalah line favorit saya–kalimat yang cukup membuat perasaan saya merasa hangat.

Selanjutnya, Keret menutup buku ini dengan fragmen “Pastrami”. Ia menggambarkan dengan sangat apik saat ia dan istrinya–Shira, bekerjasama menenangkan anak lelakinya dengan bermain Pastrami (bermain peran sebagai roti tangkup Pastrami) saat bom meledak di dekat jalan yang sedang mereka lewati, hidup dalam situasi perang.

Akan selalu ada nilai hikmah yang bisa kita ambil dari aktifitas membaca, pun membaca The Seven Good Years ini. Saya menemukan cinta dan harapan optimis sebuah perdamaian di hati seorang Yahudi berkebangsaan Israel–etnis yang banyak dibenci bahkan dikutuk oleh kebanyakan penduduk bumi. Saya selalu percaya, orang baik bukan karena ia berasal dari etnis atau ras apa, kebaikan akan selalu menemukan muaranya; hinggap di hati orang-orang yang berusaha “meregangkan” ruang di sudut hatinya, manusia-manusia yang kita sebut “berhati samudra”.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun