Mohon tunggu...
Ostaf Al Mustafa
Ostaf Al Mustafa Mohon Tunggu... -

MAJELIS KEDAULATAN RAKYAT INDONESIA (MKRI) SULAWESI SELATAN, UNTUK REVOLUSI INDONESIA RAYA

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Sang Pencerah dalam Pembingungan Tauhid

23 Desember 2011   01:55 Diperbarui: 25 Juni 2015   21:52 937
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia


Oleh: Ostaf Al Mustafa

Film memiliki logika tersendiri, yang memadatkan fragmen fakta dan selipan fiksi dalam satu plot. Ini juga yang terbaca kala menonton Sang Pencerah. KH. Ahmad Dahlan (1868-1923) yang secara fakta telah tercerahkan dalam tauhid, ternyata terdapat fiksi yang menunjukkan dirinya masih kabur dalam ketauhidan. Film ini menyebarkan kebingungan tauhid, karena adanya sebuah lakon fiksi ketika Muhammad Darwis bin Khatib Amin Haji Abubakar (sebelum berganti nama menjadi Ahmad Dahlan) kala berguru di Mekkah. Dalam film itu seorang 'syekh entah berantah' menjelaskan keberadaan Allah yang 'entah berada dimana-mana'. Ini merupakan sisipan anti-sejarah tentang KH. Ahmad Dahlan yang merusak inti dakwah tauhid tokoh pendiri Muhammadiyah tersebut.

Sang syekh anonim, mengatakan keberadaan Allah di pasir, di tanah, dan sebagainya. Allah telah bocor kemana-kemana, yang tak sesuai dengan pedoman Al-Qur'an dan Hadits. Muhammad Darwis tak berguru ke seorang sufi atau filsuf, yang suka membelok-belokkan keberadaan Allah. Ia juga tak mendapatkan ijazahnya dari syekh beraliran tasawuf. Bagaimana sehingga "Sang Pencerah" tergelapkan dalam kesuraman film yang serba coklat itu?

Film ini nampaknya telah disesuaikan dengan keliberalan sejumlah tokoh-tokoh dan elit teratas Muhammadiyah era sekarang dalam memahami Allah. Keliberalan mereka lalu disisipkan pada sejarah KH. Ahmad Dahlan untuk mengesahkan secara publik, realitas beragama elit Muhammadiyah. Mereka makin liberal secara akidah, sehingga Allah bisa ditafsirkan sedemikian spekulatif. Elit kepemudaan Muhammadiyah juga sudah terjerumus dalam lembah abu-abu keliberalan. Warna hijau Muhammadiyah telah menjadi serba coklat, persis dengan isi keburaman film tersebut. Film ini tentu sangat diapresiasi sejumlah tokoh dan pimpinan Muhammadiyah, karena menggambarkan diri mereka sendiri yang makin liberal dengan ketauhidan yang terbelah.

Realitas sejarah dan film yang merealitaskan sejarah memang susah berada dalam satu lingkaran meja bundar yang sama. Film tak bisa sepenuhnya menjadi patokan untuk memahami sejarah, karena harus ditonton oleh beragam orang dengan refleksi pemahaman dan kedalaman berpikir yang berbeda. Dalam "The Historical Film as Real History", Robert A. Rosenstone menulis, "Mari menghadapi kenyataan dan mengakuinya: film yang menampilkan sejarah, mengacau dan mengganggu kebanyakan sejarawan profesional. Mengapa? Kita semua tahu, jawaban sebenarnya, karena para sejarawan akan berkata, film tidak akurat. Film mendistorsi masa lalu. Film memiksikan, mengurangi nilai sejarah, dan melebih-lebihkan orang-orang penting, peristiwa-peristiwa dan pergerakan-pergerakan yang dilakukan. Film memalsukan sejarah." Sang Pencerah, bukan film sejarah, jadi memang harus permisif ketika film itu tak menampilkan riwayat riil dari KH. Ahmad Dahlan.

Batang utama sejarah KH. Ahmad Dahlan yakni bagaimana tauhid memasuki jaring-jaring jiwa muslim melalui filter akidah yang berongga kecil, tapi film tersebut merobek filter ini. Tauhid yang dipraktekkan KH. Ahmad Dahlan menjadi bocor dalam di bagian awal film ini. Peran yang ditampilkan KH. Ahmad Dahlan semasih remaja yakni hendak menghilangkan kekacauan beragama. Kekacauan akidah berupa adanya sesaji di bawah pohon besar. Namun fragmen film pada adegan berguru pada seorang syekh, mengacaukan inti tauhid KH. Ahmad Dahlan. Mengapa syekh 'entah berantah' ini ditampilkan, padahal guru KH. Ahmad Dahlan bisa dilacak keberadaan sejarahnya. Haji Muhammad Syoedja' (1882 -1962), murid langsung dan kader KH. Ahmad Dahlandalam "Cerita Tentang Kiyai Haji Ahmad Dahlan", mengatakan tentang identitas syekh yang memberi ijazah sekaligus yang mengganti nama Muhammad Darwis menjadi Haji Ahmad Dahlan. Syekh itu adalah Imam Syafi'i Sayid Bakri Syatha. Beliau bernama lengkap Abu Bakar bin Muhammad Zainal Abidin Syatha atau Sayid Bakri Syatha Ad-Dimyathi Asy-Syafii Al-Makki (1849-1892).

KH. Ahmad Dahlan, tak mungkin terjerembab pada pemahaman yang sesat tentang tauhid. Inti tauhid KH. Ahmad Dahlan terdapat pada tujuh ayat dalam al-Qur'an, diantaranya adalah, "(Yaitu) Tuhan Yang Maha Pemurah. Yang bersemayam di atas 'Arsy" (QS. 20:5) dan "Apakah kamu merasa aman terhadap Allah yang di langit bahwa Dia akan menjungkir balikkan bumi bersama kamu, sehingga dengan tiba-tiba bumi itu bergoncang? " (QS. 67:16)

Inti tauhid yang dipelajari KH. Ahmad Dahlan yakni "Allah berada di langit" dan bukannya berceceran eksistensi-Nya ala filsafat emanasi. Dalam sebuah hadis disebutkan, seorang sahabat Nabi yang bernama Mu'awiyah Bin Hakam As-Sulamy radhiyallahu 'anhu, dia memiliki seorang budak wanita yang ingin dia merdekakan, akan tetapi sebelum dia dimerdekakan oleh Mu'awiyah, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam mengajukan dua pertanyaan kepada budak wanitanya tersebut. Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam berkata kepadanya, "Di mana Allah ?" Lalu dijawab oleh budak wanita itu, "(Allah itu) di langit", lalu Nabi bertanya lagi, "Siapa saya ini?", dijawab oleh budak wanita itu, "Engkau adalah Rasulullah." Setelah itu Nabi shallallahu 'alaihi wasallam pun bersabda, "Merdekakan dia, karena dia seorang mukminah (yang beriman dan beraqidah secara benar)". Hadis ini diriwayatkan oleh jamaah ahli hadis, diantaranya; Imam Muslim, Imam Malik, Imam Abu Daud, Imam Nasa'i, Imam Ahmad, Imam Baihaqi, Imam Daarimi, Imam Ibnu Khuzaimah, dan lain-lain. Hadis ini tak sesuai dengan kepercayaan yang beraliran filsafat tentang Tuhan ada dimana-mana. Kepercayaan keliru versi emanasi merasuki film ini, ketika Muhammad Darwis digambarkan belajar agama pada seorang syekh. Film ini menampilkan fiksi tentang Muhammad Darwis belajar di tempat 'entah berantah', pada syekh 'entah siapa' dan dengan penjelasan tentang akidah yang 'entah berantakan'.

Emanasi (Latin: emanare) berarti sesuatu yang mengalir (memancar) atau pancaran. Emanasi adalah suatu konsep dalam filsafat teologis yang melogikakan keberadaan Tuhan dengan ciptaan-Nya. Emanasi pada mulanya dipakai pada era Yahudi Helenistik pada abad pertama dan kedua sebelum Masehi. Emanasi terdapat dalam Hikmat Salomo yang tertulis dalam Apokrif atau Deuterokanonika (kitab yang dianggap tidak kanonik atau diragukan dalam Kitab Perjanjian Lama). Filsuf Yahudi dari Aleksandria Mesir, Philo Judaeus (20 SM-50 M), menggunakannya dalam spekulasi kosmologis. Emanasi dipakai untuk menggambarkan proses penciptaan oleh Tuhan dan juga tentang keberadaan Tuhan itu sendiri. Spekulasi Neoplatonik dan Agnostik ini kemudian menyusup dalam semua agama samawi, termasuk Islam. Emanasi ini diadopsi ke dalam Islam oleh Abu Nasr Muhammad Al-Farabi (870-950 M), Abu Ali al-Husain bin Abdullah bin Sina (980 -1037 M), Ibnu Miskawaih (940-1030 M) dan Ikhwan Al-Shafa di abad 10 M. Emanasi dalam logika, sama sekali tak bermasalah untuk mengencerkan isi otak, tapi bisa mereduksi tauhid, karena bertentangan dengan Al-Qur'an dan hadits. Otak yang encer dalam logika teologi emanasi, dapat mengubah eksistensi Tuhan seperti layaknya sebongkah batu yang bisa disembah.

Teori emanasi ini membuat semua agama terlihat seragam dengan kebenaran yang hampir sama. Pesan dari film ini mencerahkan logika untuk spekulasi teologis, namun bisa menggelapkan ketauhidan Muhammadiyah. Hal ini karena versi tauhid yang didapat Muhammad Darwis dari syekh 'entah siapa', hampir sama dengan lakon biddah sesajen yang hendak diperanginya saat di Yogya. Cara gampang memahami teori emanasi dan keberadaan Tuhan dimana-mana yakni, letakkanlah puluhan cermin di tanah saat terik matahari. Di setiap cermin itu, pasti terlihat matahari. Matahari ada, dimanapun cermin itu diletakkan, meski benda bersinar itu cuma satu di langit. Mengapa sampai filsafat emanasi ini menyusup dalam Mashab Syafi'i sebagaimana yang tertera pada adegan film itu? Apakah telah ada mashab liberal 'Syafii Maarib' dalam film ini?

Filsafat ini merusak tauhid yang hendak dipahamkan secara benar oleh Muhammad Darwis kala belajar di Mekkah. Filsafat ini juga ditengarai ikut andil menjadi biang perusak akidah di tanah Hijaz (kini : Saudi Arabia), sebelum munculnya Muhammad bin Abdul Wahab (1701 -1793). Saat itu di tanah Hijaz, kuburan para sahabat dikultuskan dan pohon dijadikan tempat mencari berkah. Tuhan dianggap berada di sekitar kuburan dan pohon maupun benda apa saja, merupakan proyek kesesatan dalam emanasi. Islam telah rusak di tanah asalnya. Muhammad bin Abdul Wahab kemudian tampil untuk melakukan pemurnian akidah. Sosok ini yang tampil membersihkan tanah Hijaz dari kesesatan. KH. Ahmad Dahlan terpengaruh oleh gerakan pemurnian akidah dari Muhammad bin Abdul Wahab, jadi tak mungkin ia mengadopsi kesesatan emanasi dalam akidah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun