Mohon tunggu...
Daniel Oslanto
Daniel Oslanto Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Rasanya lebih sulit berganti klub kesayangan ketimbang berganti pasangan (Anekdot Sepakbola Eropa) - 190314

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Perilaku Menghakimi yang Semakin Liar…

18 April 2016   08:06 Diperbarui: 18 April 2016   08:22 466
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Jangan pernah merendahkan orang lain, kecuali anda membantunya bangkit (motivasi)"][/caption]Akhir-akhir ini, baik di media televisi, surat kabar, media-media online, dan sosmed, begitu ramai dengan pemberitaan dinamika politik yang sedang terjadi di Indonesia. Mulai dari kabar isu reshuffle menteri, kemudian Panama Papers yang disinyalir melibatkan beberapa nama pejabat politik dan pebisnis. Tak ketinggalan, kasus “reheated soup” seperti permasalahan Sumber Waras di DKI, hingga reklamasi utara Jakarta menjadi perbincangan teranyar. Namun, salah satu kesamaan dari hal ini adalah terjadinya penghakiman masyarakat atas berbagai permasalahan di atas yang semakin lama semakin liar, sporadis namun massif dan nyaris tak terkontrol.

Rasa kegeraman atas penyelewangan ini membuat hampir semua lapisan masyarakat mengecam aksi ini. Cacian, makian, hingga berharap azab terjadi kepada para pelaku. Saya ambil contoh ketua BPK, Harry Azhar Azis, yang diminta mundur oleh banyak pihak (bahkan sampai ada  petisi di Change.org) karena namanya tersangkut di Panama Papers. Sebelumnya, nama Sandiaga Uno, yang digadang-gadang menjadi penantang Ahok di Pilgub DKI 2017, tersandung karena namanya ada di Panama Paper. Tak ada “penghakiman” seperti yang dialami oleh Harry Azhar, namun lambat laun namanya mulai tenggelam, dan beliau tak lagi “nongol” di publik seperti saat Panama Paper belum terbongkar. Padahal, bila harus menggunakan asas praduga tak bersalah, belum tentu orang-orang yang tercantum di dalam Panama Papers adalah pelaku “penyelewengan”.

Penghakiman itu semakin nyata, dan general. Untuk kasus yang lebih sederhana adalah praktek bully yang dilakukan oleh Netizen kepada salah satu siswi sekolah yang mengancam Polwan yang hendak menilangnya dan mencatut nama salah satu petinggi BNN, Sonya Diapari. “Bully Nasional” tak hanya menimbulkan kehebohan, namun juga membuat keterkejutan bagi pihak keluarga, yang disinyalir menjadi salah satu penyebab awal Ayah Sonya meninggal dunia. Sebenarnya, siapakah kita hingga pantas untuk melakukan penghakiman?

We Create Our Own Evil

We create Our Own Evil. Kitalah yang menciptakan hal hal jelek kita sendiri. Saya percaya, semua orang pasti pernah melakukan hal hal jelek yang dibenci oleh masyarakat Indonesia (Baca : Korupsi). Baik itu korupsi materi, korupsi waktu, atau jenis korupsi yang lain. Sebagai contoh, sekaligus pengakuan. Semasa duduk di bangku sekolah menengah, saya pernah bekerjasama dengan teman untuk mengerjakan ujian salah satu mata pelajaran, saya pernah membuka catatan pelajaran sewaktu ujian, saya pernah bolos pada mata pelajaran tertentu (korupsi waktu). Apakah ada orang yang tidak pernah melakukannya? Bila ada, saya sangat percaya orang tersebut pernah melakukan korupsi dalam hal lain. Sebut saja berkompromi dengan saudara agar sebuah masalah tidak diketahui orangtua, menyembunyikan kenakalan yang dilakukan oleh seseorang dan masih banyak contohnya.

Poin yang ingin disampaikan adalah kita semua pernah terlibat dalam “kejahatan”. Kejahatan yang sadar atau tidak, membawa kita pada sebuah level permasalahan bangsa, korupsi. Ketika dihadapkan pada para pelaku korupsi, atau seorang Sonya yang menggunakan nama keluarganya untuk menghindari hukum (abuse of power), kita dengan mudah menghakimi mereka. Kita lupa, kitalah yang menciptakan mereka. Mereka adalah segelumit hasil hal-hal yang sadar atau tidak, kita kompromikan dalam kehidupan.  Maka, akan sangat menjadi penting bagi bahan perenungan, siapakah kita sebenarnya berhak untuk menghakimi para pelaku penyelewengan kekuasaan?

We Create Our Own Prophet

Di sisi lain, kita juga menciptakan idola baru di dunia politik, yang terkadang berlebihan diperlakukan sehingga alih-alih seperti idola, lebih mirip seperti nabi yang disakralkan. We create our own prophet. Kita menciptakan nabi kita sendiri. Tak sedikit orang berbagi informasi di sosial media, untuk menyanjung pihak-pihak tertentu. Bahkan ironisnya, hingga menggunakan ayat-ayat suci Tuhan untuk mendukung informasi yang disampaikannya. Tak ayal, kita yang menerima informasi tersebut, menyukainya, malah ikut menyebarkannya kepada orang lain.

Idola memang layak untuk dipuja, namanya juga idola. Tapi secara personal, saya cukup risih saat membaca artikel-artikel mengenai seseorang yang dikaitkan dengan keagungan Sang Pencipta.  Bila Tuhan sudah bekehendak, maka si A akan menjadi bla-bla-bla. Si B adalah orang yang dikirimkan Tuhan untuk bla-bla-bla. Bukan bermaksud menjadi religius, namun bukankah praktik-praktik seperti ini adalah sebuah kebutaan cinta akan seorang idola? Bukankah terlalu berani dan jumawa untuk menggunakan unsur Ketuhanan untuk membenarkan seseorang?

Sahat Gurning dan  Kekecewaan Yang (Belum) Kelihatan

Sikap penghakiman masyarakat sudah menciptakan begitu banyak sejarah munculnya kejahatan yang berawal dari kekecewaan atau kebencian terhadap keadaan. Contoh teranyar adalah Sahat Gurning, seorang pemuda yang sengaja menginjak-injak gambar garuda Pancasila, dan memfotonya sebagai bentuk kekecewaannya kepada pemerintah dan kondisi yang saat ini terjadi, yang dianggapnya tidak mencerminkan nilai-nilai Pancasila.

Bagaimanapun juga, masih banyak Sahat-Sahat yang lain, Sonya-Sonya yang lain, yang muncul akibat ulah kita sendiri. Yang muncul akibat penghakiman dan kekecewaan. Bagaimana bila kita coba berhenti untuk menghakimi, dan mulai menilai diri masing-masing. Siapakah kita hingga berhak menghakimi orang lain? Tanya saja dalam hati masing-masing. Karena pada dasarnya menghakimi adalah tugas seorang hakim seperti yang tertulis dalam perundang-undangan ^^.

 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun