Mohon tunggu...
Daniel Oslanto
Daniel Oslanto Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Rasanya lebih sulit berganti klub kesayangan ketimbang berganti pasangan (Anekdot Sepakbola Eropa) - 190314

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Indonesian Beauty (2014)

19 Mei 2014   15:37 Diperbarui: 23 Juni 2015   22:22 65
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Indonesian Beauty (2014)

Hampir sedekade lalu, saat saya duduk di bangku Sekolah Menengah Atas, di salah satu desa di  Sumatera, saya duduk manis di bangku kelas mendengarkan sebuah cerita guru Bahasa Indonesia yang sangat khas. Kekhasan dari cerita beliau adalah mengenai sebagian besar berisikan satire terhadap dunia yang digelutinya, dunia pendidikan. “Saat saya duduk di bangku pelajar, kurikulum kami adalah Kurikulum 1975. Sembilan tahun kemudian, pendidikan berubah menjadi kurikulum 1984- Kurikulum CBSA, Kurikulum Cara Belajar Siswa Aktif. Saya menganggapnya Kurikulum Cara Belajar Siswa Aneh.” Ucapnya yang diiringi tawa sekelas.

Flashback beberapa tahun sebelumnya. Sewaktu duduk di bangku sekolah menengah pertama, saya duduk manis mendengarkan seorang guru matematika menceritakan rasa antusiasnya menyambut kurikulum baru, Kurikulum Berbasis Kompetisi (KBK). “Bapak baru saja dari Jakarta mengikuti seminar mengenai kurikulum baru, kurikulum ini sangat bagus sekali, dan bla...bla..bla...” tentunya bagi anak yang baru memasuki masa pubertas tidak memahami bahasa tingkat dewa yang digunakan oleh beliau. Dan saat ini bilamana ditanyakan kembali kepada saya, apakah nilai-nilai esensi yang ditawarkan oleh masing-masing kurikulum yang terdahulu, saya meragukan bisa memahaminya dengan baik.

Pada hari Sabtu, dua hari lalu, saya mengikuti perkuliahan di kampus. Di depan ruangan, seorang dosen senior memberikan presentasi dan arahan mengenai apa saja yang perlu dipersiapkan oleh para mahasiswa untuk mengikuti mata kuliah tersebut. Ada dua momen yang menggelitik saya secara personal. Pertama adalah ketika beliau menuliskan 17 +56 = ? di whiteboard. “Coba anda analisis permasalahan di atas. Ada yang bisa?” Seisi ruangan terdiam, sunyi, dan sedikit suram. Kemudian beliau menuliskan di whiteboard, “ 10 + 7 + 50 +6 “ , sembari melanjutkan, “Ada yang tahu kenapa seperti ini? Kenapa tidak 9 +8 + 30 +26?.” Semua terdiam, saya hanya tersenyum simpul. “Ya kita menguraikan masalahnya, menjadi puluhan, menjadi satuan, dan kemudian di jumlahkan.” Ucap beliau sambil melempar senyum penuh kemenangan.

Momen kedua tak kalah menarik. Beliau kembali berkata, “Ketika kecil, anda memperlihatkan gambar kepada adik anda, sebuah gambar kucing dan anjing. Ini namanya kucing, ini namanya anjing. Anda berkata demikian kepada dia. Selang beberapa jam kemudian, seekor anjing lewat dari hadapan anda dan dia. Anda bertanya, Itu apa? Dia berkata, itu anjing. Kenapa adik anda bisa tahu itu anjing padahal dia tidak pernah melihatnya secara langsung? Ayo, dianalisa, kenapa bisa seperti itu?” Seisi kelas tertawa, menyadari kekonyolan yang mungkin pernah sebagian besar kami lewatkan di masa kecil. Namun, ketika saya personal mencoba menganalisa fenomena tersebut, pikiran saya melayang jauh kepada hal yang sangat kompleks dan berbau teknis, mulai dari kemampuan merekam gambar yang dilihat dan diproses otak hingga fisik dari binatang tesebut.  Namun, saya menyadari bahwa saya berpikir terlalu kompleks untuk sebuah fenomena yang sangat sederhana, yang kemudian saya akhiri dengan menertawakan kekonyolan saya sendiri.

Pendidikan di Indonesia terus mengalami perubahan dari waktu ke waktu. Mulai dari Rencana Pelajaran 1947, Rencana Pembelajaran terurai 1952, Kurikulum 1968, Kurikulum 1975, Kurikulum CBSA, Kurikulum 1994, Kurikulum 1999, Kurikulum 2004-KBK, KTSP-2006, Kurikulum-2013 (dalam tahap perencanaan). Well, seberapa efektifkah perubahan kurikulum ini terhadap perkembangan edukasi di tengah-tengah masyarakat? Bila kita memandang caruk-maruk persoalan pendidikan saat ini, tentunya rasa skeptis terhadap perubahan kurikulum bukan sesuatu yang mengada-ada. Sebagian pihak menganggap ada beberapa blunder mengenai kebijakan pendidikan di Indonesia, yang mengakibatkan sistem pendidikan di Indonesia tidak jarang menerima kritikan tajam. Ujian Nasional (UN) menjadi salah satu sasaran tembak. Memang terdengar sedikit klise, bilamana lulus tidaknya seorang siswa setelah menempuh pendidikan tiga tahun hanya ditentukan ujian beberapa hari saja, bukan penilaian objektif dari para guru selama tiga tahun. Dari sisi siswa, UN menjadi orientasi dari belajar. Objektivitas mereka adalah lulus UN, sehingga berbagai cara diusahakan mulai dari cara yang jujur, belajar dengan baik, hingga cara yang tidak jujur, mengandalkan joki kunci jawaban. Bila kita memandang cara jujur, ada juga efek negatifnya. Siswa akan berorientasi pada kemampuan menjawab pertanyaan dengan menggunakan dasar teori atau rumus, tanpa harus  menganalisa apa itu dan mengimplementasikannya dalam kehidupan. Ya, mirip dengan momen yang saya alami dengan beberapa rekan mahasiswa ketika diberikan kasus kucing-anjing di ruangan kuliah. Di samping itu, guru dan sekolah tentu tidak menginginkan menanggung malu dimana siswanya tidak lulus UN, yang berakibat pada efek membantu siswa mencapai objektivitasnya. Sekolah bukan lagi menuntut ilmu, tetapi untuk memastikan kita lulus UN dan melanjutkan jenjang pendidikan. Ironis, ya memang demikian adanya.

Jepang di era Meiji, yang terkenal dengan Restorasi Meiji, justru menjadi salah satu negara maju di abad-19 setelah memberikan atensi perubahan pada pendidikan, industri dan pengembangannya. Korea Selatan menjadi salah satu negara yang diperhitungkan dunia dengan Samsung-nya, tentu tidak lepas dari tangan pemerintahnya yang selalu mendukung sektor pendidikan, riset dan pengembangannya, sesuatu yang tidak terlihat dengan jelas di Indonesia. Sebagian orang memandang skeptis dengan beranggapan bahwa sistem pendidikan di negara maju tidak bisa disamakan dengan sistem pendidikan di negara berkembang seperti Indonesia. Titik persoalannya bukan di masalah sistem pendidikannya, tetapi pemerintah harus memberikan atensi untuk menitik beratkan kebijakan pendidikan dalam hal “menganalisa dan menemukan”, bukan sekedar menjawab persoalan dengan rumus atau dasar teori di dalam kertas Ujian Nasional.

Membahas pendidikan semakin menarik ketika seorang teman memberikan pengandaian kepada saya. “Andai anda menjadi menteri pendidikan, apa yang anda lakukan?” Yang pertama saya lakukan adalah mengalokasikan 30% dari anggaran untuk pendidikan, untuk digunakan sebagai dana riset dan pengembangan. Men-trigger para pemikir-pemikir muda yang cinta Indonesia untuk terus berkarya dan menemukan sesuatu untuk Indonesia. Sistem pendidikan di Indonesia tidak perlu menggunakan standardisasi yang menyulitkan, karena kita memahami sendiri bahwa pendidikan di Indonesia tidak merata. Perlu mengajarkan yang pelajaran yang umum bagi semua siswa, dan memperbanyak ekstrakurikuler di sekolah, mulai dari olahraga, seni, hingga klub ilmu pasti. Albert Einstein berkata, “Bila kamu menilai ikan dari kemampuannya memanjat pohon, maka kamu akan berkata ikan itu idiot.” Dalam pendidikan, perlu diajarkan kepada setiap siswa semangat berkompetisi, dilatih kemampuan menganalisa permasalahan agar mampu menyelesaikan persoalan. Ekstrakurikuler akan mampu memberikan pilihan kepada siswa untuk mendalami apa yang mereka inginkan, apa yang menjadi passion mereka. Ketika mereka lulus, serahkan kepada perguruan tinggi untuk menerapkan tes masuk sesuai dengan pilihan yang mereka ambil dengan menjunjung tinggi nilai-nilai kejujuran. Bila siswa tidak lulus perguruan tinggi, berarti mereka tidak serius dengan apa yang mereka cintai, dengan inginkan selama ini. Well, mungkinkah ini terjadi? Hanya waktu yang bisa menjawabnya.

Sewaktu saya duduk di bangku sekolah dasar, saya diajari bahwa Indonesia kita adalah negara yang kaya, surga dan impian bagi banyak orang. Lagu “Rayuan Pulau kelapa” hingga “Kolam Susu” mendeskripsikan bertapa berlimpahnya sumber daya alam yang dimiliki oleh Indonesia. Doktrinasi Indonesia yang kaya akan alam dan sumber daya melimpah sedikit banyak juga memengaruhi pola berpikir saya saat itu bahwa saya hidup di tanah surga, yang memungkinkan kita untuk cepat berpuas diri akan keadaan dan tidak begitu memerdulikan persaingan. Bila anda pernah menyaksikan film Hollywood berjudul American Beauty di tahun 1999, maka anda akan memahami mengapa saya memberi judul tulisan ini “ Indonesian Beauty (2014)”.

Daniel Oslanto

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun