Mohon tunggu...
Sempurna Sesama
Sempurna Sesama Mohon Tunggu... -

Independent Target

Selanjutnya

Tutup

Politik

Menilik Sejenak Pembantaian Rawagede, Lukas Kustaryo, Wujud Totalitas Kesetiaan Rakyat Yang Kini Menurun Kepada LKS 4Presiden RI

6 April 2013   09:56 Diperbarui: 4 April 2017   17:32 8297
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosok yang Diburu Belanda di Rawagede

Pria Inilah yang Diburu Belanda di Rawagede Tentara Belanda masuk Rawagede untuk satu tujuan: mencari Kapten Lukas Kustaryo. Mengapa? Ini salah satu adegan mengerikan yang terjadi 9 Desember 1947, 30 penduduk Desa Rawagede - semua laki-laki berusia di atas 14 tahun - diperintah untuk berbaris. Tanpa peringatan, dari belakang, serdadu Belanda memberondong senapan. Satu per satu mereka rebah ke tanah. Tewas. Komandan-Kompi-Bekasi-Karawang,-Lukas-Kustario-(1920-1997) Pembantaian sadis terjadi di sejumlah titik kampung yang kini bernama Balongsari. Hingga akhir hari, sebanyak 431 pria Rawagede tewas. Kala itu, 300 tentara Belanda yang dipimpin Mayor Alphons  Wijnen, masuk ke Rawagede untuk satu tujuan: mencari dan menangkap Kapten Lukas Kustaryo, komandan kompi Divisi Siliwangi yang kerap membuat repot Belanda. Oleh prajurit NICA ia dijuluki 'Begundal Karawang'. Pemerhati sejarah, sekaligus Ketua Yayasan Rawagede, Sukarman mengatakan, Lukas adalah pejuang kemerdekaan yang luar biasa. "Dia kerap  menembak tentara Belanda, melolosi bajunya dan memakainya. Dia lalu menembaki Belanda," kata dia kepada VIVAnews.com, Kamis 15 September 2011. Lukas juga dikenal piawai melaksanakan tugasnya, merebut senjata Belanda. Membajak kereta berisi senjata dan ribuan amunisi. Suatu hari, usai menghantam Belanda di Subang, Pamanukan, sampai Cikampek, Lukas meloloskan diri dengan cara berjalan kaki. "Dia sampai di Rawagede pukul 07.00, Senin 8 Desember 1947, sehari sebelum kejadian," cerita Sukarman. Ia lalu mengumpulkan tentara Barisan Keamanan Rakyat (BKR) di Rawagede -- merencanakan penyerangan ke Cililitan. "Sekitar jam 09.00, ada mata-mata Belanda yang tahu Lukas bergabung di Rawagede," kata pria asli Rawagede itu. Mata-mata itu melapor ke tangsi di Karawang, di belakang alun-alun. Pihak Kawarang yang merasa tak mampu akhirnya melapor ke Jakarta. "Sorenya pukul 16.00 keluar komando, Rawagede harus dibumihanguskan," kata Sukarman. Dia menjelaskan, selain faktor Lukas, Rawagede memang sudah lama jadi incaran Belanda. Sebab, wilayah ini adalah markas gabungan laskar pejuang. Ada lima laskar yakni Macan Citarung, Barisan Banteng, SP 88, MPHS, dan Hizbullah. Posisi desa itu strategis, dilewati jalur rel kereta api, ada stasiun. Juga kemudahan logistik, di mana penduduk yang mampu bersedia menyumbangkan beras, bahan makanan untuk para pejuang, tanpa diminta. Kembali ke cerita soal Lukas. Sehari sebelum tragedi meletus, pukul 15.00, Lukas dan pasukannya ke luar dari Rawagede. Berjalan kaki ke arah Sukatani. "Ia tidak tahu peristiwa Rawagede," kata Sukarman. Tidak mengetahui  pasukan Belanda membantai warga, menjebol dan membakar rumah-rumah di desa itu. Membuat sungai menjadi merah dialiri darah. Salah satu penyebab pembantaian adalah, tak ada satu pun warga yang menjawab pertanyaan serdadu Belanda: di mana Lukas, di mana para pejuang. Mereka memilih bungkam, meski mengetahuinya. Sukarman mengaku, ia bertemu dengan Lukas di awal tahun 1990-an. Mereka syuting dokumenter soal Rawagede. Lukas juga datang saat Monumen Rawagede diresmikan tahun 1995. "Beliau meninggal 8 Januari 1997. Pangkatnya dinaikkan menjadi Mayor Jenderal," kata dia. Pembantaian Rawagede (www.eenvandaag.nl) Sukarman menambahkan, Lukas berkali-kali memohon maaf pada warga Rawagede. "Dia memohon maaf, karena ulah dia bergabung, terjadi pembantaian," kata dia. Namun, tak ada warga yang dendam. Apalagi, dulu Rawagede memang jadi incaran Belanda. Ada lagi tentang Lukas yang selalu diingat. "Tiap kali ke monumen Rawagede, dia lihat patung  tentara Belanda, pasti dia nonjokin mulu. Kalau nggak pakai kaca, mungkin patung itu sudah hancur," kata Sukarman. "Sebelum meninggal, istrinya selalu hadir tiap tanggal 9 Desember, mengenang tragedi Rawagede." Tepat hari ini 64 tahun lalu, terjadi sebuah peristiwa memilukan yang tak berperikemanusiaan di daerah Karawang, tepatnya di Kampung Rawagede. Daerah ini sekarang masuk ke dalam administratif Desa Balongsari, Kecamatan Rawamerta, Kabupaten Karawang, Jawa Barat. Terletak di sebelah utara Kota Karawang, desa ini sangat strategis. Dilewati jalur kereta api dan ada stasiunnya (sayang, sekarang jalur KA ke arah Rawagede sudah mati -pen). Ditunjang dengan  kemudahan logistik, di mana penduduk yang mampu, bersedia menyumbangkan beras dan bahan makanan lainnya untuk para pejuang, tanpa diminta. Hari itu sekitar 300 tentara Belanda yang dipimpin oleh Mayor Alphons Wijnen masuk ke Rawagede untuk satu tujuan, menangkap Kapten Lukas Kustaryo dan laskar-laskar pejuang yang disinyalir banyak berkumpul di Rawagede. Di wilayah Rawagede  memang banyak berkeliaran berbagai laskar, bukan hanya pejuang Indonesia namun juga gerombolan pengacau dan perampok. Kapten Lukas Kustaryo sendiri merupakan salah satu komandan kompi di Divisi Siliwangi yang sering berhasil menyerang patroli-patroli dan pos-pos militer Belanda. Tentara Belanda menjulukinya sebagai "Begundal Karawang". Satu hari sebelum kejadian, tepatnya hari senin tanggal 8 Desember 1947 sekitar pukul 07.00, Kapten Lukas tiba di Rawagede setelah sebelumnya berhasil menyerang Belanda dari Pamanukan hingga Cikampek, kemudian berhasil melarikan diri dengan berjalan kaki. Ia lalu mengumpulkan pasukan TNI dan laskar pejuang di Rawagede, merencanakan penyerangan ke Cililitan. Namun sekitar pukul 09.00 ada mata-mata Belanda yang melihat keberadaan Lukas di Rawagede. Mata-mata itu lantas melaporkan keberadaan Lukas ke markas tentara Belanda di belakang alun-alun Karawang. Merasa tidak mampu, pihak Belanda di Karawang meminta bantuan ke Jakarta. Hingga akhirnya sekitar pukul 16.00 keluar komando, Rawagede harus dibumihanguskan!!! Akhirnya pada pagi hari 9 Desember 1947, Mayor Alphons Wijnen beserta pasukannya datang mengepung dan menggeledah semua rumah di Rawagede. Namun mereka tidak menemukan satupun senjata ataupun tentara Republik. Akhirnya tentara Belanda memaksa seluruh penduduk keluar dari rumah masing-masing dan berkumpul di suatu tempat lapang. Bagi penduduk yang ketahuan mencoba melarikan diri, tidak perduli laki-laki ataupun perempuan, langsung ditembak. Mereka yang berhasil dikumpulkan ditanya satu per satu mengenai keberadaan Kapten Lukas Kustaryo dan pasukannya. Tetapi tidak satu pun penduduk yang mau memberitahu keberadaan Lukas dan pasukannya. Mayor Alphons sangat berang mendapati situasi itu. Selanjutnya semua penduduk laki-laki dari usia remaja hingga manula diperintahkan berbaris sebanyak 30 orang. Lalu tanpa aba-aba, mereka ditembak dari belakang oleh pasukan Alphons. Satu per satu rebah ke tanah, gugur sebagai bunga bangsa. Pembantaian itu berlangsung hingga sore hari dengan memakan korban lebih dari 400 penduduk Rawagede. Dari peristiwa pembantaian di Rawagede kita dapat melihat betapa setianya rakyat kepada cita-cita perjuangan kemerdekaan Indonesia. Mereka begitu rela mengorbankan jiwa-raganya demi keutuhan kemerdekaan. Sejarawan Anhar Gonggong dalam suatu wawancara di salah satu televisi swasta menyatakan bahwa rakyat Rawagede bukannya tidak tahu tentang keberadaan Kapten Lukas Kustaryo & pasukannya. Tetapi mereka menjunjung tinggi nilai-nilai kesetiaan. Mereka tidak mau mengkhianati perjuangan bangsanya sendiri. Dan mereka (rakyat Rawagede) lebih pahlawan dibanding pahlawan sesungguhnya. Mengenai Kapten Lukas Kustaryo, beliau merupakan seorang tentara pemberani dan cekatan. Perwira yang satu ini sering membuat repot serdadu Belanda di sekitar Bekasi, Karawang, dan Cikampek. Wajar jika namanya menjadi kesohor dan selalu menjadi incaran tentara Belanda di daerah Karawang. Selain berani dan cekatan hingga kesohor di kalangan tentara Belanda, Lukas juga sangat manunggal dengan rakyat di daerah Bekasi hingga Cikampek, sehingga rakyat di daerah itu sangat mencintainya. Lukas dekat dengan semua kalangan, dari tokoh agama hingga perampok. Hal itu sangat membantu dalam menunjang perjuangannya melawan tentara Belanda. Pada saat pembantaian berlangsung, Lukas tidak mengetahuinya. Karena sore hari sebelum pembantian, Lukas dan pasukannya sudah bergerak ke arah Desa Sukatani (masih di sekitar Karawang) dan baru mengetahui peristiwa pembantaian satu hari setelahnya. Di kemudian hari terkadang Lukas merasa menyesal dan sedih, karena rakyat Rawagede begitu rela berkorban demi melindungi dirinya. Untuk mengenang peristiwa Rawagede, hampir setiap tahun, di hari tuanya Lukas bersama rekan-rekannya menjenguk serta menyantuni para keluarga korban pembantaian di Rawagede. Lukas dan rekan-rekan juga membuat monumen di Rawagede, agar sejarahnya tidak dilupakan generasi muda Hari tua Lukas yang pensiun dengan pangkat Brigadir Jenderal dihabiskan dengan penuh kesederhanaan di sebuah rumah sederhana di kawasan Cipanas Cianjur. Di saat rekan-rekan sejawat dan seangkatannya bergelimang harta & jabatan, Lukas malah terpinggirkan karena sikapnya yang kritis terhadap Jenderal Soeharto. Itu lah sebabnya mengapa nama Lukas Kustaryo kurang begitu bergaung sebagai salah satu pejuang pemberani dalam kancah revolusi kemerdekaan RI. Tapi bagi seorang Lukas, jabatan & nama besar, apalagi harta bukanlah yang terpenting. "Begundal Karawang" itu wafat pada tanggal 8 Januari 1997 di Cianjur. Ribuan orang dari berbagai kelompok dan kelas yang melayat, menangisinya. Warga Cianjur yang mengenalnya sebagai jenderal yang ramah dan bersahaja itu, mengikhlaskan jalan-jalan utama mereka macet total. Para pedagang, rela menutup tokonya seharian. Beliau dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kusuma Bangsa yang terletak di belakang Istana Negara Cipanas. Seorang Pejuang Sejati telah pergi... Pembantaian di Rawagede hanyalah salah satu contoh dari sekian banyak kisah sedih drama pembantaian rakyat yang pernah terjadi di negeri ini. Tragisnya, sejarah tragedi-tragedi pembantaian terhadap rakyat Indonesia bukan saja dilakukan oleh penjajah asing, tapi juga dilakukan oleh sesama anak bangsa.

Lukas Kustaryo

Mayjen TNI (Purn.) Lukas Kustaryo[1] (lahir di Magetan, Jawa Timur, 1920 - meninggal di Cipanas, Jawa Barat, 8 Juni 1997 pada umur 77 tahun) adalah tokoh pejuang yang dicari-cari tentara Belanda pada saat Pembantaian Rawagede.

Perjalanan Hidup

Pria ini bertubuh kecil, namun kiprahnya sangat merepotkan pemerintahan Belanda di Indonesia. Pria Magetan kelahiran 1920 ini bernama Lukas Kustaryo. Saat zaman pendudukan Jepang, Lukas masuk dalam pasukan Peta dan ditempatkan di Brigade III/Kian Santang, Purwakarta, yang saat itu dipimpin Letkol Sidik Brotoatmodjo. Lukas Kemudian menjadi Komadan Kompi Batalyon I Sudarsono/ Kompi Siliwangi atau yang dikenal sebagai Kompi Siliwangi Karawang-Bekasi. Saat ini menjadi Batalyon Infantri 302 Tajimalela, Bekasi, di bawah Kodam III Siliwangi. Saat menjadi komandan kompi, Lukas memang dikenal sebagai pejuang yang gagah berani dan punya banyak taktik untuk mengalahkan pasukan Belanda. "Ia suka memakai seragam pasukan Belanda untuk membunuh para tentara Belanda. Selain itu pria tersebut sangat gesit seperti belut saat disergap Belanda," kata Sukarman, Ketua Yayasan Rawagede saat berbincang-bincang dengan detik+. Sementara Sya'ih Bin Sakam pejuang asal Rawagede saat ditemui detik+ Agustus 2010 mengatakan, kiprah Lukas dalam memperjuangkan kemerdekaan sangat besar. Sebab Lukas seringkali menyabotase kereta yang membawa persenjataan Belanda yang diangkut pakai kereta api. Suatu hari, kata Sa'ih, Lukas pernah membajak rangkaian kereta yang berisi penuh senjata dan amunisi bagi pasukan Belanda dari Karawang menuju Jakarta. Peristiwa itulah yang membuat pasukan Belanda menjadi kesal bukan kepalang kepada Lukas. Hingga akhirnya, Lukas pun menjadi target utama bagi pasukan Belanda di wilayah Karawang hingga Jakarta. Sebagai orang yang sangat dicari pasukan penjajah Belanda, semua kegiatan Lukas dimonitor. Pasukan Belanda pun rela mengeluarkan uang sejumlah ribuan golden untuk sekadar mencari informasi di mana keberadaan Lukas. Nah, pada 8 Desember 1947, Belanda mendengar kabar kalau Lukas sedang ada di Rawagede. Informasi itu pun langsung disikapi pasukan Belanda. Skenario penyergapan pun dilakukan pasukan Belanda di Karawang-Bekasi. Bahkan karena dianggap sebagai orang yang paling berbahaya, Pasukan Belanda juga mengerahkan pasukan dari Jakarta. Pasukan yang datang ke Rawagede bersenjatakan lengkap. Mereka sebagian besar berasal dari pos pasukan Belanda yang ada di Jakarta. Bahkan Pasukan Belanda sampai-sampai mengerahkan tank untuk mengakhiri perjuangan Kapten Lukas saat itu. "Tapi sejumlah tank itu tidak bisa masuk ke Rawagede lantaran para pejuang dan warga memutus semua jembatan yang menghubungkan ke Rawagede. Akhirnya pasukan infantri yang masuk," jelas Sya'ih seorang saksi hidup, yang meninggal pada Juni 2011, lalu. Saat itu pasukan infantri Belanda mengepung Rawagede. Sementara pasukan kavaleri melepaskan tembakan meriam dan cannon ke arah desa. Namun tetap saja Kapten Lukas saat itu masih bisa lolos. Soal lolosnya Lukas dari kepungan Belanda, ada dua versi. Pertama, sebelum pengepungan terjadi Lukas dan pasukannya sudah pergi terlebih dahulu dari Rawagede sehingga pasukan Belanda tidak bisa menemukannya. Sementara versi lainnya, Lukas ada di Rawagede saat pengepungan terjadi. Hanya saja ia berhasil lolos lantaran diselamatkan para pejuang lainnya. "Kapten Lukas saat pengepungan bersama anak buahnya lolos dari kepungan dan bersembunyi di Desa Pasirawi (berjarak 2 kilometer dari Rawagede. Saya dapat cerita dari ayah saya (Marta), yang ikut menyelamatkan Kapten Lukas," kata Edi Junaidi, anak korban pembantaian Rawagede saat ditemui detik+. Dikatakan Junaidi, Lukas bersembunyi di Desa Pasirawi selama 1 minggu. Setelah itu Lukas berangkat ke Jakarta. Lukas diketahui pergi ke wilayah Cililitan untuk menggempur pasukan Belanda yang ada di sana. Lolosnya Lukas terang saja membuat pasukan Belanda menjadi kesal. Akhirnya mereka membantai warga Rawagede karena dianggap menyembunyikan Lukas. Warga akhirnya dibantai secara keji oleh pasukan Belanda yang mengepung Rawagede. Saking bencinya terhadap Lukas, pemerintah Belanda sampai-sampai mengabadikannya dalam bentuk patung. Soal patung Lukas diungkapkan Sukarman yang sempat dua kali datang ke Belanda untuk menghadiri pengadilan gugatan pembataian Rawagede. Kata Sukarwan, ahli waris korban pembantaian Rawagede, patung itu ada di sebuah gedung di Den Hag, Belanda. "Saya tidak tahu persis lokasinya. Tapi saat datang ke gedung itu saya melihat patung separuh badan yang bertuliskan "Lukas" dan di bawah tulisan itu tertulis "Begundal dari Karawang," jelas Sukarman kepada detik+. Usai hengkangnya pasukan Belanda dari Indonesia, nama Lukas seolah hilang ditelan Bumi. Ia baru muncul ketika monumen pembantaian Rawagede didirikan. Saat itu, kata Sukarman, Lukas 3 kali datang ke pemakaman pahlawan Rawagede. Dan setahun kemudian, 8 Juni 1997, Lukas meninggal dunia dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan (TMP) Cipanas.

1362961975513215405
1362961975513215405
Dari cerita diatas mau di gambarkan bahwa Lukas Kustaryo dalam sejarah Penjajahan Belanda memiliki jiwa yang sama dengan Lukas Kustaryo (LKS 4Presiden RI) dalam perjuangan saat ini Menuju Indonesia yang Lebih Baik, demikian tutup Lukas Kustaryo melalui BBM Voice Pin 2A485689 di Jakarta...

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun