Mohon tunggu...
Joseph Osdar
Joseph Osdar Mohon Tunggu... Jurnalis - Wartawan

Lahir di Magelang. Menjadi wartawan Harian Kompas sejak 1978. Meliput acara kepresidenan di istana dan di luar istana sejak masa Presiden Soeharto, berlanjut ke K.H Abdurrahman Wahid, Megawati, SBY dan Jokowi.

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Tanda-tanda Hilangnya Mandat Langit (II)

14 Juli 2020   18:15 Diperbarui: 15 Juli 2020   09:24 1671
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fraksi PPP merupakan fraksi MPR keempat yang datang ke Jalan Cendana, Jakarta, Minggu (8/3/1998) siang, untuk mengadakan konsultasi pencalonan Presiden/Mandataris MPR periode 1998-2003 dengan HM Soeharto. Kedatangan Fraksi PPP diikuti Fraksi Utusan Daerah (F-UD). Gambar Ketua Fraksi PPP Jusuf Syakir didampingi pengurus lainnya diterima presiden.(JB Suratno via KOMPAS.com))

Soeharto juga minta kepada PDI bentukan pemerintah itu waspada adanya pihak-pihak yang menungganggi masalah dalam tubuh PDI saat itu, dan sebagian besar dari pihak-pihak itu adalah berideologi bukan Pancasila. Soeharto minta agar partai yang berideologi bukan Pancasila diparkir dulu. Menurut Soeharto saat itu banyak "setan gundul" yang menungganggi masalah PDI.

"Waspadalah pada setan gundul itu," pesan Soeharto pada Soerjadi dan teman-temannya saat itu.

Beberapa jam setelah meliput pertemuan Soerjadi beserta kawan-kawannya dengan Soeharto di Bina Graha, telepon di meja kantor saya berdering. Ketika itu saya sedang mengetik berita pertemuan itu. Telepon dari Sang Jenderal yang mengatakan kepada saya, Ucapan Soeharto "tak gebug" sebagai tanda-tanda zaman.

"Sekarang Pak Presien akan menggunakan Pancasila untuk menggebug lawan politiknya. Ini juga tekenen des tijds (tanda-tanda jaman)," ujar jenderal yang masih menteri Kabinet Pembangunan VI tersebut.

Dua hari belum genap, yakni Sabtu pukul 06.10 waktu Jakarta, terjadi penyerbuan ke markas PDI di Jalan Diponegoro 58 Jakarta. Jatuh korban tewas. Pemerintah mempersalahkan PRD sebagai biang keladi. Tuduhan partai itu komunis menyebar.

Menanggapi hal itu, tokoh Islam, Nurcholis Madjid, mantan ketua umum HMI, mengatakan gembar-gembor tentang komunis adalah "lagu lama". Nurcholis Madjid berkeras, peristiwa 27 Juli itu adalah kegagalan pemerintah untuk mengizinkan penyampaian pendapat politik yang berbeda secara damai.

Megawati dan para pendukungnya terlihat terombang-ambing setelah peristiwa 27 Juli. "Pemerintah menimpakan kesalahan pada PRD yang radikal. Kata pemerintah mereka ini adalah komunis-komunis baru (setan gundul). Sejumlah orang tewas dalam insiden ini dan 124 orang pendukung setia Mega ditangkap," menurut catatan Greg Barton.

"Saat itu Gus Dur tengah mendesak Megawati menghindari konfrontasi sebelum hal tak terelakan terjadi. Apa gunanya, demikian kata Gus Dur, untuk mendesak suatu rezim sedemikian kerasnya hingga ia (Soeharto dan para pegawainya) melawan dengan kekerasan berdarah dan kita pun tidak bisa beranjak maju dalam mencapai cita-cita kita? Lebih baik mengatur langkah mundur agar kita bisa hidup dan melakukan perlawanan pada hari lain". Demikian catatan Greg Barton, salah seorang sahabat Gus Dur itu.

Menurut Greg Barton, Gus Dur memang benar, tapi tak sepenuhnya. Gus Dur bisa benar tapi juga bisa ada salahnya, melesetnya.

"Soeharto tidak puas hanya menggusur Megawati dari kepemimpinan PDI. Ia bertekad menodai reputasi Megawati dan menciptakan kecurigakan mengenai motif mereka yang mendukungnya."

Jadi "Martir"

Soeharto menggunakan berbagai pihak menjelek-jelekan Megawati dan PRD komunis. Dengan tindakan itu Soeharto dan para pegawainya menjadikan Megawati seorang "martir" (istilah Greg Barton). Pengikut-pengikut Megawati dihancurkan tetapi pada waktunya nanti, penderitaan itu melahirkan sesuatu yang takakan dapat dihentikan oleh Soeharto dan rezimnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun