Mohon tunggu...
Osa Kurniawan Ilham
Osa Kurniawan Ilham Mohon Tunggu... profesional -

Sebagai seorang musafir di dunia ini, menulis adalah pilihan saya untuk mewariskan ide, pemikiran, pengalaman maupun sekedar pengamatan kepada anak cucu saya. Semoga berguna bagi mereka...dan bagi Anda juga. Beberapa catatan saya juga tercecer di http://balikpapannaa.wordpress.com ataupun di http://living-indonesiacultural.blogspot.com.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

L’histoire se Repete-27: Sejak Kapan Nusantara Mengenal Sistem Kasta?

12 September 2010   23:59 Diperbarui: 26 Juni 2015   13:17 768
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Sistem Kasta dalam "budaya" Hindu (baca: bukan Agama Hindu) membagi masyarakat pemeluknya menjadi 4 golongan besar. Golongan pertama adalah Kasta Brahmana. Golongan kedua dan ketiga adalah Kasta Ksatrya dan Waisya. Dan golongan terakhir dan terrendah adalah Kasta Sudra. Ada pendapat yang bilang bahwa sistem kasta sebenarnya bukan berasal dari sistem Agama Hindu yang berdasarkan Kitab Suci Veda, tapi sebagai sebuah aturan untuk membagi masyarakat dalam kelompok profesi untuk menjamin ketertiban umum. Kemudian ada juga yang bilang bahwa sistem kasta sebenarnya tidak bersumber dari Agama Hindu, tapi muncul dari sistem feodal kerajaan untuk menjamin legitimasi sebuah dinasti, terbukti sistem pembagian masyarakat ini juga dipraktekkan oleh peradaban lain selain peradaban Hindu. [caption id="attachment_256219" align="aligncenter" width="161" caption="Ilustrasi masyarakat berdasarkan kasta (sumber: www.kaskus.us)"][/caption] Saya tidak dalam kapasitas untuk menghakimi apakah sistem kasta ini benar atau tidak, bukan itu tujuan dari tulisan saya saat ini. Saya pikir perlu penelitian lebih dalam kenapa dan kapan sistem Kasta ini diperlakukan. Dan saya menemukan hal menarik dari penyelidikan kecil yang saya lakukan mengenai topik ini. Saya sudah menuliskan dalam serial-serial sebelumnya bahwa manusia purba Nusantara sudah memiliki sebuah sistem budaya dan keyakinan sendiri yang sangat dipengaruhi oleh budaya mereka yang agraris (bercocok tanam). Adanya keyakinan akan sebuah "kuasa" yang bisa menentukan kapan musim penghujan dan kapan musim kemarau mempengaruhi mereka untuk menganut konsep animisme atau pun konsep dinamisme. Konsep keyakinan ini membawa sistem adat istiadat yang kemudian berujung pada kebutuhan adanya seorang pemimpin komunitas untuk memelihara adat istiadat dan ketertiban umum dalam lingkungan komunitasnya. Tokoh Aki Tirem (dalam cerita tentang Kerajaan Salakanagara) dan Kudungga (dalam cerita tentang Kerajaan Kutai) adalah contoh yang secara tepat mewakili model kepemimpinan dalam komunitas lokal asli Nusantara ini. Kemudian dalam serial sebelumnya saya menceritakan bahwa terjadi pertemuan budaya India dengan budaya lokal Nusantara. Kalau sekarang kita sering membaca berita mengenai terdamparnya imigran gelap di Indonesia yang berasal dari Iran, Irak, Afganistan dan Vietnam, kurang lebih seperti itulah dengan para imigran dari India yang kemudian terdampar dan mendirikan komunitas sendiri di Nusantara. Walaupun para imigran dari India itu membawa sistem budaya Hindu dari asalnya, mereka datang ke Nusantara ini tidak berjumpa dengan orang-orang lokal yang tidak beradab sehingga gampang dicekoki oleh budaya India. Masyarakat lokal di Nusantara sendiri sudah memiliki peradaban sendiri sebelum kedatang imigran dari India itu. Budaya lokal Nusantara ini kemudian berasimilasi dengan budaya Hindu India, melalui proses yang sangat lama dan lambat dan terkadang dibumbui dengan adanya pembauran melalui perdagangan, pergaulan bersama dan pernikahan sampai tercipta saling pengertian di antara kedua sistem budaya ini. Hal ini terlihat nyata dalam cerita mengenai Salakanagara dan Kutai di bawah ini. Yang saya herankan adalah dicatatnya persembahan berupa sapi di Kutai dan Tarumanagara. Sejauh yang saya tahu, di India (dan juga Bali sampai saat ini) sapi adalah salah satu binatang yang disucikan. Tapi sapi tampaknya sudah biasa dijadikan hewan korban oleh komunitas lokal Nusantara yang menerapkan ritual pengorbanan sebagai bagian dari konsep animismenya. Dan di sinilah titik temu antara budaya lokal dan budaya Hindu di kedua kerajaan tertua itu, sapi tetap dipilih sebagai hewan korban saat dilakukan upacara syukur atas peresmian suatu proyek seperti yang dicontohkan saat peresmian proyek Kanal Gomati oleh Purnawarman di Tarumanagara atau saat Mulawarman memberikan persembahan korban kepada para Brahmana dan saat upacara peresmian proyek "kelistrikan" di Kutai saat itu (baca kembali serial sebelumnya tentang Kerajaan Kutai) Pustaka Rayjarayja I Nusantara dan Pustaka Pararatwan i Bhumi Jawadwipa walaupun masih belum menjadi sumber sejarah primer tapi bisa dijadikan sekedar acuan dalam hal ini. Terlihat nyata bahwa berbeda dengan perkembangan Hindu di India yang terkadang dibumbui dengan intrik dan perang, perkenalan Hindu dan budaya lokal Nusantara berlangsung lebih tenang sehingga perlu waktu yang cukup lama untuk bisa berkembang. Inilah yang kemudian secara khas mengembangkan sistem budaya toleransi di Nusantara, yang masih membudaya sampai jaman Indonesia modern ini sebagai konsekuensi logis (takdir) dari adanya keragaman (pluralitas) budaya dan keyakinan di wilayah Nusantara ini. Hal inilah yang memunculkan kelakar bahwa manusia Indonesia itu tetap saja berjiwa animisme walaupun tulang-tulangnya dari Hindu dan Buddha, sudah menggunakan baju dari Islam dan memakai parfum dari Kristen. Jadi agak aneh kalau sekarang toleransi mulai memudar dan berganti dengan fanatisme sempit yang menihilkan orang lain dan sistem budaya lain. Saat Kerajaan Salakanagara mencapai jaman kemakmurannya di bawah pemerintahan Raja Dewawarman VIII (348 - 362 M), walaupun sang penguasa memeluk Agama Hindu, tapi sang raja membebaskan warganya untuk menjalankan keyakinannya. Di antara warganya ada yang menganut Hindu Siwa, Hindu Ghanayana dan Hindu Saiwa-Wisnu, mereka berdampingan secara damai dengan mayoritas penduduk asli yang masih menjalankan keyakinan animismenya. Hal ini ditandai dengan dicatatnya beberapa candi dan kuil yang berbeda-beda sesuai dengan keyakinannya masing-masing. Saat Kerajaan Tarumanagara berdiri di tahun 358 M, situasi seperti di atas juga masih terjadi. Keragaman keyakinan masih terjadi di antara penduduknya. Usaha memformalkan agama di Tarumanagara mulai dirintis oleh raja ke 2 yaitu Rajarsi Dharmayawarmanghuru (382 - 395 M). Mirip seperti posisi Departemen Agama di Indonesia modern, selain sebagai kepala pemerintahan, sang raja juga merangkap sebagai kepala atas seluruh Dang Acarymulaagama (atau alim ulama dan guru agama) Hindu di Tarumanagara. Karena penduduk asli masih banyak yang menganut animisme, Sang Rajarsi membuat langkah strategis untuk memperkenalkan Hindu sebagai agama baru bagi warga kerajaannya. Didatangkanlah brahmana-brahmana dari India untuk menyebarkan dan mengajarkan Agama Hindu. Tapi ternyata, walaupun sudah gencar dilakukan, namanya keyakinan, masih ada saja warga yang tidak mau memeluknya dan lebih memilih kepercayaan aslinya. Menghadapi kenyataan seperti ini Pustaka Rayjarayja I Bhumi Nusantara mencatat bahwa Sang Rajarsi akhirnya menerapkan sistem baru yang cukup mengejutkan. Sistem itu adalah sistem kasta yang membagi penduduk Tarumanagara menjadi 4 golongan seperti yang saya ceritakan di atas. Dicatat dalam pustaka bahwa karena sistem inilah mulai terjadi kekuatiran di antara warga terhadap sistem agama Sang Rajarsi. Jadi dalam pemerintahan raja kedua Tarumanagara inilah Nusantara mulai mengenal sistem kasta itu, yaitu mulai rentang tahun 382-395 M. Paling tidak itulah pendapat saya kalau mendasarkan diri pada Pustaka Rayjarayja I Bhumi Nusantara. Tapi bukan berarti Hindu-isasi benar-benar berhasil di masa pemerintahan Sang Rajarsi. Ada catatan yang menarik, yang berasal dari Cina (kitab Fa Kao Chi, 414 M), yaitu berdasarkan catatan perjalanan Rahib Fa-Shien. Rahib Fa-Shien sudah melakukan perjalanan ziarah agama Budha dari Cina ke India melalui jalan darat. Dalam perjalanan pulang ke Cina dia berniat melalui jalur laut, dengan rute Srilanka - Selat Sunda - Cina. Dalam pelayaran pulang ke Cina itulah ia sempat mampir sebentar di Jawa Barat selama 6 bulan yaitu dari Desember 412 M sampai Mei 413 M, jadi kedatangannya di Jawa Barat ini berarti saat Tarumanagara pada masa Purnawarman (395 - 434 M). Fa-Shien mencatat bahwa di Ye-Po-Ti hanya sedikit yang beragama Budha, kebanyakan adalah beragama Hindu dan beragama bidah (kemungkinan besar maksudnya adalah animisme). Jadi bayangkan, 20-an tahun sejak diterapkannya sistem Kasta di Tarumanagara masih ada penganut animisme berdampingan damai dengan Hindu dan Budha. Jadi jangan merasa kiamat sudah begitu dekat kalau kita masih melihat keragaman budaya dan keyakinan di negeri ini sekarang he..he...Saya setuju dengan pendapat bahwa sudah menjadi takdir Allah bahwa ada keanekaragaman di dunia ini. Sekarang begitu, ribuan tahun yang lalu pun juga begitu. Aneh, kalau ada orang yang menyangkalnya. L'histoire se repete, pola sejarah akan terus berulang. Kalau dulu Sang Rajarsi memulai sistem dualisme bahwa Sang Raja bertindak sebagai kepala pemerintahan dan juga sebagai kepala agama, atau dalam bahasa modern bertindak sebagai Umaro dan Ulama. Demikian pula hal yang sama akan diterapkan oleh para sultan dalam masa kerajaan Islam di Indonesia kelak. Seperti tercermin dalam gelar kebanyakan Sang Sultan di Mataram Islam yaitu "Senopati ing alogo Kalifatullah Panotogomo", sebagai panglima perang, sebagai pemimpin umat dan sebagai pemimpin agama. Sampai di sini ya cerita saya mengenai sistem kasta dan proses asimilasi budaya Hindu dan budaya lokal di Nusantara purba. Di tulisan berikutnya kita akan melihat suatu kenyataan sejarah purba bagaimana Nusantara mulai memiliki marinir dan Angkatan Laut yang kuat. Sumber literatur: 1. Bernard H.M. Vlekke, Nusantara: Sejarah Indonesia, Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta, 2008. 2. Pustaka Pararatwan i Bhumi Jawadwipa 3. W.P. Groeneveldt, Nusantara Dalam Catatan Tionghoa, Komunitas Bambu, Jakarta, 2009 4. www.wacananusantara.org (Osa Kurniawan Ilham, Balikpapan, 13 September 2010)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun