Mohon tunggu...
Ainun Jariah
Ainun Jariah Mohon Tunggu... Sastra Perancis

Hobi Membaca Novel

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Mengenal Desa Sumur Jomblangbogo

21 September 2025   17:21 Diperbarui: 21 September 2025   17:59 45
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto dokumentasi Desa Sumur Jomblangbogo (Sumber: Dokumentasi pribadi)

Foto dokumentasi sawah di Desa Sumur Jomblangbogo (Sumber: Dokumentasi pribadi)
Foto dokumentasi sawah di Desa Sumur Jomblangbogo (Sumber: Dokumentasi pribadi)
Pekalongan - Desa Sumur Jomblangbogo di Kecamatan Bojong, Kabupaten Pekalongan, menyimpan sejarah panjang yang tidak hanya tercatat pada dokumen, tetapi juga hidup dalam legenda dan tradisi masyarakatnya. Desa ini berdiri sekitar tahun 1925 dari penyatuan tiga desa, yakni Sumurwatu, Jomblang, dan Jebogo. Penyatuan tersebut tidak hanya menyatukan batas wilayah, tetapi juga memadukan kisah, keyakinan, dan kebersamaan yang hingga kini masih menjadi ciri khas warganya. 

Sejak awal berdirinya, desa ini terkenal kaya akan cerita yang diwariskan turun-temurun. Di wilayah Jebogo, masyarakat masih mengenal sosok Santri Gudik, tokoh yang dipercaya sebagai perintis Islam. Nama Ki Gede Jebog Arum pun tak pernah lepas dari ingatan warga sebagai salah satu leluhur desa. Sementara itu, di Sumurwatu terdapat mata air Belek yang hingga kini diyakini memiliki nilai sakral. Bagi masyarakat luar, kisah-kisah ini mungkin terdengar seperti mitos, tetapi bagi warga desa, legenda adalah bagian dari jati diri mereka.

Selain kaya akan legenda, Sumur Jomblangbogo juga memiliki tradisi seni dan ritual yang pernah mewarnai kehidupan masyarakat. Pertunjukan Sintren, misalnya, dahulu menjadi hiburan rakyat hingga tahun 1990-an, ketika seorang pemain dimasukkan ke dalam kurungan lalu keluar dengan riasan khas. Ada juga Belendung, pemanggilan hujan menggunakan boneka batok kelapa yang diiringi doa-doa khusus. Sayangnya, kedua tradisi ini perlahan memudar dan kini hampir punah.

Berbeda dengan Sintren dan Belendung, beberapa tradisi masih bertahan hingga sekarang. Ada Nyadran yang biasanya dilakukan menjelang musim tanam atau bulan Ramadan, tetap dijalankan meski bentuknya lebih sederhana dibanding masa lalu. Intinya tetap sama, yaitu memohon berkah dan hasil panen yang baik. Di sisi lain, warga juga masih menjaga kebiasaan Jumat Bersih dimana setiap hari Jumat, masyarakat bergotong royong membersihkan lingkungan, memperbaiki fasilitas, hingga mempererat kebersamaan antarwarga.

Bagi masyarakat desa, merawat tradisi bukanlah sekadar mengenang masa lalu, tetapi juga menjaga identitas. "Warisan leluhur akan tetap hidup selama warga mau merawat bersama-sama," ujar Pak Sardian, penjaga Balai Desa ketika ditemui beberapa waktu lalu.

Melalui sejarah, legenda, dan tradisi yang diwariskan dari generasi ke generasi, Desa Sumur Jomblangbogo menjadi pengingat bahwa identitas sebuah desa tidak hanya dibangun dari batas administratif, melainkan juga dari kisah dan nilai kebersamaan yang terus hidup di tengah warganya.

Bersama UNNES GIAT, Membangun Indonesia dari Desa

Penulis: Ainun Jariah, Lutfi Fauzan

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun