Mohon tunggu...
Oriza Yogiswara
Oriza Yogiswara Mohon Tunggu... Freelance

hobi saya mengetik ....... tapi boong

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Meditasi Ontologis: Kematian Itu Tidak Pernah Ada (Palsu)

16 Mei 2025   15:33 Diperbarui: 16 Mei 2025   16:29 91
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

~Sebuah Meditasi Ontologis Melampaui Finalitas ~

Saya tidak percaya pada kematian. Pernyataan ini bukan sekadar provokasi konseptual, melainkan sikap ontologis yang lahir dari perenungan panjang terhadap makna eksistensi dan ilusi finalitas yang mengelilinginya. Dalam cakrawala kesadaran saya, kematian bukanlah kenyataan metafisik, melainkan produk dari kesalahan persepsi kolektif, hasil generalisasi brutal terhadap peristiwa-peristiwa biologis yang tidak pernah sungguh-sungguh menyentuh inti dari yang ada.

Kematian, sebagaimana dipahami oleh nalar konvensional, adalah terminus absolut dari eksistensi. Ia dideskripsikan sebagai titik padamnya kehidupan, penghabisan dari kesadaran, dan akhir dari segala kemungkinan. Namun, definisi ini mengasumsikan bahwa kehidupan itu sendiri adalah sesuatu yang terbatas oleh tubuh dan waktu sebuah asumsi yang tidak hanya dangkal, tetapi juga secara filosofis cacat.

Eksistensi manusia tidak pernah terbatas pada tubuh fisik. Tubuh hanyalah manifestasi kontingen dari sesuatu yang jauh lebih subtil: kesadaran. Dan kesadaran, sebagaimana dikatakan oleh para mistikus Timur dan dipertanyakan oleh para fenomenolog Barat, bukanlah fenomena yang dapat dimatikan oleh berhentinya detak jantung. Kesadaran adalah realitas primordial yang tidak tunduk pada logika sebab akibat materialistik. Ia adalah medan ontologis yang eksis independen dari bentuk, ruang, dan bahkan waktu.

Bagaimana mungkin kita percaya pada kematian, jika kita sendiri tidak pernah bisa mengalaminya? Semua yang kita ketahui tentang kematian adalah melalui perantaraan: tubuh-tubuh lain yang terbaring kaku, prosesi sosial yang bernama pemakaman, atau catatan sipil yang menyatakan seseorang telah tiada. Tetapi siapa di antara kita yang pernah sungguh-sungguh mengalami kematian dan kembali untuk menyatakan bahwa kesadaran telah lenyap? Tak satu pun. Dan dalam diam itulah letak bukti paling kuat: bahwa kematian adalah asumsi, bukan realitas.

Pernahkah Anda bermimpi bertemu orang yang telah meninggal, dan merasakannya begitu nyata? Dalam banyak tradisi spiritual, mimpi dianggap sebagai cara jiwa melintasi batas dunia fisik dan masuk ke dimensi lain. Mimpi menjadi jendela yang memberi petunjuk bahwa mungkin ada sesuatu yang lebih besar dari sekadar kehidupan fisik. Jika pertemuan dalam mimpi bisa terasa begitu nyata, mungkinkah kesadaran kita memiliki cara untuk tetap eksis melampaui tubuh?

Saya meyakini bahwa hidup tidak mengenal titik. Ia adalah aliran terus menerus dari vibrasi, transmutasi, dan metamorfosis. Bahkan menurut fisika modern, tidak ada energi yang hilang; ia hanya berubah bentuk. Maka dalam horizon ini, kematian tidak lain adalah perubahan bentuk eksistensi yang oleh keterbatasan bahasa dan persepsi kita labeli sebagai "akhir". Ini adalah kekeliruan semantik yang kemudian menjadi dogma metafisik.

Lebih jauh lagi, saya melihat kematian sebagai fiksi ideologis yang dirawat oleh institusi kekuasaan. Michel Foucault telah lama menguraikan bagaimana tubuh dijadikan objek kekuasaan melalui praktik-praktik bio politik. Kematian, dalam konteks ini, menjadi batas simbolik yang dijaga untuk menundukkan subjek. Ketakutan akan kematian menciptakan kepatuhan. Ia membuat manusia mudah diarahkan, tunduk pada sistem moral, sosial, dan ekonomi yang mengasumsikan kefanaan sebagai harga dasar eksistensi. Maka dengan percaya bahwa hidup kita akan berakhir, kita terjebak dalam sistem yang selalu mengagungkan kecepatan, hasil, dan efisiensi semua dalam rangka "mengisi waktu yang singkat".

Namun saya menolak tunduk pada sistem naratif itu. Saya lebih percaya pada postulat ontologis yang mengatakan bahwa yang-ada tidak pernah tidak ada. Eksistensi tidak mengenal nihil absolut. Dalam ajaran Vedanta, "Atman" adalah kekal, tidak lahir dan tidak mati. Dalam tradisi Platonik, jiwa adalah entitas yang bersumber dari dunia ide yang tidak dapat hancur. Bahkan dalam sains kuantum, terdapat kemungkinan bahwa kesadaran bukan sekadar produk otak, tetapi medan non lokal yang melampaui batasan tubuh individual.

Jika demikian, maka kematian sebagai finalitas bukan hanya ilusi, tetapi kejahilan metafisika. Ia adalah akibat dari logika yang terlalu mencintai dikotomi: hidup/mati, ada/tiada, awal/akhir. Padahal keberadaan tidak bekerja dengan oposisi biner. Ia bekerja dengan kontinuitas, dengan resonansi. Dan dalam resonansi itu, saya tahu: saya tidak akan pernah mati.

Saya mungkin akan berubah. Tubuh saya mungkin akan membusuk. Nama saya barangkali dilupakan. Tapi eksistensi saya sebagai getar dalam jagat semesta akan tetap berpendar dalam bentuk-bentuk yang tidak bisa dipetakan oleh nalar rasional. Saya adalah bagian dari jaring eksistensi yang tidak pernah putus, tidak pernah selesai.

Maka saya menyatakan, bukan sebagai spekulasi tetapi sebagai keyakinan penuh
Kematian itu tidak pernah ada. Yang ada hanyalah transformasi, dan transformasi bukanlah akhir.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun