Mohon tunggu...
Leanita W
Leanita W Mohon Tunggu... -

full-time dreamer!!! a traveler who loves coffee, rain, books, literature, art and writing... :))

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Pilihan

18 Juni 2011   03:30 Diperbarui: 26 Juni 2015   04:24 70
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Beberapa memilih menjadi bijak dan memaklumi, beberapa memilih bereaksi keras dan segelintir di antaranya memilih bertahan dengan pilihan hati yang sulit.


Tempias sinar lampu sorot dari keempat sisi ruangan itu tepat mengenai wajahnya yang masih tampak tenang. Tidak terlihat kekhawatiran akan caci-maki yang mungkin saja ditumpahkan pada dirinya. Sepertinya ia memilih untuk tidak peduli pada setiap kemungkinan buruk yang bisa saja terjadi. Atau mungkin juga ia sudah siap menerima, menebalkan telinga serta memagari hatinya dengan tembok kokoh yang tidak mampu ditembus.

"Kau lihat, sepertinya ia memang sudah tak punya hati." Selintingan miring seperti itu bisa disamakan dengan sebilah pisau kecil tajam. Pengkhianat memang pantas diperlakukan seperti itu, kata mereka. Caci maki, sumpah serapah dan semua yang buruk.

"Mungkin. Tapi terserah kau saja. Dan entahlah, aku tidak bisa membencinya barang sedikit pun." Hening. Bagiku, ini bukan pengakuan pertama yang pernah kubuat. Berkali-kali hingga aku sendiri cukup lelah untuk meyakinkan diri bahwa―dengan tetap begini―aku berada dalam sebuah permasalahan yang pelik di mata mereka.

"Maksudmu? Kau tetap memberi dukungan padanya? Begitu?" Aku diam. Ini adalah satu-satunya solusi terbaik yang kumiliki. Aku benci berdebat dan sebisa mungkin aku akan menghindari hal itu.

"Kau gila!"

Dua kata itu rasanya sudah cukup membangkitkan sedikit emosi yang dengan sangat hati-hati berusaha kujaga. Aku menarik nafas, mencoba meredam letupan-letupan kecil di hati. "Maksudmu?" tanyaku berusaha untuk tetap terlihat tenang.

"Diammu itu berarti 'iya' dan itu artinya kau bahkan sama saja dengan dia," cibirnya disertai sebuah pandangan yang seolah berkata 'menjijikkan'.

"Terserah, kalau kau memang beranggapan seperti itu. Lagipula ini tidak ada sangkut pautnya dengan tempat di mana ia berada sekarang." Maksudku, tempat di mana dia berada kini tidak akan mempengaruhi pilihan awalku. Hal ini mungkin sedikit meragukan di mata mereka. Ah, tentu saja. Itu karena mereka tidak atau belum pernah merasakan hal yang sama. Bisa jadi, semua akan berbeda jika saja mereka mau sedikit memahami apa yang terjadi.

"Aku tidak mengerti. Seharusnya kau memilih salah satu, bukan dua-duanya."

Aku tersenyum dan mengalihkan padanganku pada objek pembicaraan kami. Ia masih sama tenangnya seperti tadi. "Ini hanya masalah pilihan, bukan? Jika kau memilih menganggapnya seperti itu―pengkhianat yang tidak punya hati―itu hakmu. Aku hargai itu. Tapi aku juga berhak menentukan pilihanku. Dan aku memilih keduanya."
Jember, 13 Juni 2011

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun