Mohon tunggu...
Harun Anwar
Harun Anwar Mohon Tunggu... Desainer - Menulis sampai selesai

Lelaki sederhana yang masih ingin tetap tampan sampai seribu tahun lagi

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Memaknai Ulang Tahun

8 Januari 2021   04:47 Diperbarui: 8 Januari 2021   05:16 207
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tidak pada biasanya memang saya memotong rambut sampai sebegini pendek. Terhitung baru dua kali seumur hidup: pertama saat masih tinggal di asrama, keduanya hari ini. Kata si tukang cukur ini rambut model satu senti. Entah senti apa yang ia maksudkan, saya tak bertanya. Jika dipahami sebagai satuan ukuran maka tentu potongan rambut ini bukanlah satu sentimeter, tapi kurang dari itu. Atau mungkin dalam dunia cukur rambut ada hitungannya sendiri. Tapi sebagai orang yang lahir di tengah keluarga tukang jahit pakaian saya memahami satu sentimeter sebagaimana mestinya yakni akumulasi dari sepuluh milimeter.
           
Rambut yang dipotong sampai sependek ini sebenarnya hanya bentuk kaul atau nazar beberapa waktu lalu jika saya sampai usia ini. Bukan untuk bergaya atau apalah itu.
       
Sejujurnya saya tak pernah berpikir akan sampai di umur sekarang ini. Saya boleh saja membicarakan cita-cita dan impian masa depan tapi tak sekali pun saya benar-benar meyakini umur bisa terus terjaga. Apalagi sampai di usia ini, usia di mana tak sedikit orang sudah naik menikah dan bahkan peroleh anak.
         
Kematian akan datang. Tak seorang bisa mengelak, sebab tadir sendiri tak pernah bercanda. Saya meyakini sepenuhnya hal itu. Bila datang malaikat maut saya tak mungkin menyuruhnya untuk berlalu dan datang di lain waktu saja. Ia hanya melakukan tugasnya, sebagaimana juga saya yang melakukan tugas sebagai manusia yang bila berakhir masa tugas itu maka saya harus dipulangkan. Mau tidak mau, siap tak siap, lajang atau sudah beristri, masih terkait utang atau tidak, bila tiba saatnya tak ada tawar menawar.
       
Saban malam menjelang tidur, jika datang pikiran mengenai kematian, saya selalu membalas pikiran-pikiran itu dengan memikirkan hal-hal dunia yang lain. Tentang pekerjaan apa yang tak sempat saya selesaikan, urusan apa yang belum kelar, amanah dari orang yang belum ditunaikan, ada berutang apa dan pada siapa saja sepanjang hari itu atau hari yang lain. Jika memang kematian datang dalam waktu dekat saya selalu berharap bisa menyelesaikan semua urusan-urusan itu dulu.
           
Alhamdulillah, umur sampai di angka 24 tahun. Tak ada perayaan. Hanya syukuran kecil-kecilan seorang diri layaknya tahun-tahun sebelumnya. Lagi pula apa yang harus dirayakan? Toh bukankah ulang tahun adalah tanda semakin dekatnya kematian? Maka patutlah jika rasa syukur itu digaungkan karena umur adalah nikmat, sisanya hanyalah kesempatan untuk mengabdi.
         
Sejatinya usia yang Tuhan kasih hanyalah kesempatan. Sungguh rugi kalau saya tidak menggunakannya dengan baik. Dengan kesempatan umur seorang manusia bisa mengabdi kepada orang tuanya, baik itu masih hidup atau meninggal. Seseorang bisa meningkatkan kualitas ibadah, meraih banyak ilmu, memberi manfaat bagi banyak manusia, memberi abdi bagi negara, dan masih banyak lagi.
         
Di usia yang makin dewasa ini saya terus berusaha memperbaiki diri. Coba melengkapi yang kurang-kurang. Menambal yang berlubang. Sembari belajar dan terus belajar. Barangkali ilmu sedikit-sedikit yang saya peroleh tidak laku untuk dunia luas, tapi setidaknya itu bisa saya jadikan kurikulum tertutup untuk mendidik anak-anak dan istri saya kelak jika Tuhan berkehendak memberi umur panjang dan kesempatan berkeluarga.
       
Di usia ini juga saya menyadari betapa saya adalah orang yang miskin. Saya pertama datang ke dunia tidak bawa harta, tapi Tuhan Yang Maha Kaya memberi limpahan rezeki. Saya datang sebagai seorang yang tak tahu apa-apa, tapi Tuhan Yang Bijaksana memberikan ilmu pengetahuan melalui banyak guru. Tentu kemudian tak ada alasan tepat untuk jadi pongah. Toh terkena silet saja saya pasti terluka.
           
Umur ini bukan bertambah tapi malah berkurang. Karena kematian ada di depan, dan yang ada di belakang adalah umur yang sudah terpakai. Seperti di awal tadi bahwa umur adalah kesempatan. Gunakan sebaik-baiknya. Orang yang terbiasa nonton pertandingan sepak bola pasti paham betapa waktu itu, meski cuma 3 menit, adalah sebaik-baiknya kesempatan.
           
Saya hanya punya sepotong doa kecil di hari ini: Ya Allah, pelihara diriku dalam jalan kebaikan dan terus berada di tengah-tengah cahaya iman. Dan di sisa umur ini, izinkan aku terus mencintai Engkau.
               
           
Ambon, 8 Januari

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun