Mohon tunggu...
ahmad taufiq
ahmad taufiq Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Berminat di bidang pendidikan, sejarah, ekonomi politik, sastra dan revolusi. Frustasi jadi mahasiswa. Belajar jadi manusia biasa.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Menggagas Revolusi Pendidikan (Bagian I)

30 April 2014   21:50 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:00 21
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Orang Miskin Harus Berlawan

Mengapa negara tidak bertanggung jawab atas terselenggaranya pendidikan? Katanya alokasi 20 persen dari APBN kita tidak cukup untuk menggratiskan seluruh biaya pendidikan. Sebab APBN kita kecil, tidak sebanding dengan kebutuhan negara. Kalau dipaksakan ya defisit. Dan untuk menutupinya harus hutang. Sementara Indonesia sudah punya banyak hutang. Sehingga pemerintah harus hemat biaya. Termasuk mencabut subsidi untuk rakyat. Biar negara tidak bangkrut dan bubar. Itulah logika yang dipakai saat ini. Orang-orang menyebutnya kapitalisme-neoliberal.

Namun, kalau kita telisik lebih jauh, sesungguhnya kita mampu menggratiskan seluruh biaya pendidikan dan jaminan sosial lainnya. Indonesia adalah negara dengan kekayaan alam melimpah ruah.

Tapi sayangnya kekayaan alam itu kita biarkan untuk dikuasai kapitalis asing. Bahkan perampokan itu kita beri payung hukum. Semisal Undang-Undang Penanaman Modal Asing No.1 Tahun 1967.  Juga seperti UU 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal yang dibuat pada era pemerintahan SBY, yang mana membuat tanah Negara dapat dikuasai 95 tahun oleh modal asing. Melalui Perpres 36 tahun 2010 yang juga dikeluarkan SBY seluruh sektor ekonomi strategis mulai dari pertanian, pangan, energi, minyak dan gas, keuangan, perbankan, hingga ritel dapat dikuasai 95% hingga 99 % oleh modal asing.

Padahal ilustrasi Abraham Samad, bahwa dalam hitungan KPK, potensi pendapatan negara sebesar Rp7.200 triliun hilang setiap tahun karena penyelewengan atas pajak dan royalti yang dibayarkan dari sektor migas dan tambang sebenarnya juga bukan hal yang baru dan seolah sudah menjadi rahasia umum. (Musyafaur Rahman, Peneliti Indonesia Mining dan Energy Studies – dalam http://utama.seruu.com

Artinya, bukan Indonesia tidak mampu, tapi memang pemerintah tidak memihak pada kepentingan rakyat. Regulasi yang digulirkan melegalkan perampokan atas kekayaan alam kita. Dari sini jelas bahwa negara tidak hadir untuk orang miskin, selain malah memberi wadah pada penindasan atasnya. Maka menjadi benar bahwa negara hanya ekspresi politik kelas elit-borjuasi yang melanggengkan kepentingannya.

Lantas, bagaimana menjadikan negara agar berpihak pada orang miskin? Yang diperlukan adalah menasionalisasi aset-aset vital negara. Menjadikan kita berdikari dalam ekonomi (tidak terus-menerus mengandalkan investasi asing atau hutang), berdaulat dalam politik (kebijakannya bukan demi kepentingan kapitalis), dan berkepribadian dalam budaya.

Semua itu akan bisa dilakukan jika orang-orang yang tertindas bersatu untuk melawan sistem yang menindas itu. Ya, orang-orang miskin memang harus bersatu, berorganisasi. Rebut pemerintahan, kembalikan “kehadiran” negara untuk seluruh rakyat Indonesia. Dengan begitu, impian pendidikan gratis untuk seluruh rakyat baru bisa terpenuhi.

Kejahatan terorganisir, hanya bisa dikalahkan dengan kebaikan yang terorganisir. El pueblo unido, jamás será vencido. Hidup rakyat miskin yang berlawan!

Kamar Merah, 22 April 2014

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun