Terpilihnya Ferdinan Marcos Yr sebagai Presiden Filipina, tak lepas dari dua hal mendasar, yaitu KKN dan Kemiskinan Literasi Publik.
Jakarta News | Tahun 1986, dan tahun-tahun sebelumnya, ketika itu saya tugas di Batam, Media Malaysia (RTM dan TV3) dan Singapura (SBC) menjadi konsumsi utama Warga Batam.
Menariknya, jika TVRI masih full "Petunjuk Presiden, Safari Golkar (bertopeng Safari Ramadan), Dunia Dalam Berita, Laporan Sidang Kabinet, dan Karang Taruna, serta sejenisnya; RTM, TV3, SBC sudah "live" tentang banyak hal, termasuk Giat Revolusi yang disebut People Power di Filipina.
Ketika itu, 1965-1986, Â Ferdinand Marcos berkuasa Filipina; periode awalnya, ia lugu dan bagaikan pemenuhan harapan mesianis rakyat Filipina untuk mencapai kemakmuran dan kesejahteraan.
Namun, setelah itu, Marcos mencapai kuasa dan kekuasaan yang nyaris tanpa batas. Filipina, Bangsa-Negara-Rakyat, dalam cengkraman Marcos-Imelda dan kroni-kroninya. Semua jabatan publik, sipil, dan militer harus terkoneksi dengan Marcos-Imelda dan kroni-kroninya.
Ferdinand Marcos memimpin secara diktator dan kerap melakukan tindakan represif terhadap aktivis dan golongan oposisi. Utang Filipina yang mencapai 25.000.000.000 dollar AS pada tahun 1983. Bahkan, Ferdinan Marcos Yr, alias Bongbong sejak usia 23 tahun, sudah diangkat dan terpilih untuk sejumlah jabatan; mulai dari anggota DPR, senator, hingga gubernur.
Tahun 1986, krisis ekonomi dan politik di Filipina menumbuhkan gelombang perlawanan dari masyarakat dan golongan oposisi. Ferdinand Marcos disudutkan oleh krisis ekonomi dan politik dalam negeri meminta pengadaan pemilu presiden secepat mungkin.
Sayangnya, Pemilu 1986, Ferdinand Marcos melakukan intimidasi dan kecurangan terhadap suara masyarakat. Hal tersebut mengakibatkan kemarahan golongan oposisi dan rakyat Filipina.
Kalangan Oposisi dan masyarakat anti Ferdinand Marcos menyatukan kekuatan untuk memenangkan Corazon Aquino dalam Pilpres; karena Ferdinand Marcos telah melakukan penghianatan terhadap demokrasi dan kemanusiaan di Filipina.
Pada 22-25 Februari 1986, masyarakat Filipina berkumpul di Area Terbuka EDSA. Rakyat yang berkumpul di Epifanio de los Santos Avenue (EDSA), pusat politik di Filipina, melakukan aksi damai menolak Pemilu, Pilpres, dan Ferdinan Marcos.