Mohon tunggu...
Kopral Jabrik
Kopral Jabrik Mohon Tunggu... Dosen - diisi apa?

Menjadi wartawan sejak pertengahan dekade 1970an. Mulai dari reporter Harian Kedaulatan Rakyat di Yogyakarta, di bawah bimbingan Hadjid Hamzah (almarhum). Sempat aktif di Gelora Mahasiswa (UGM), menulis di Majalah Q (Bandung), Majalah Psikologi Anda (Jakarta), menjadi wartawan Kompas (tahun 1980an, dibimbing oleh AM Dewabrata), redaktur pelaksana Harian Jayakarta, kepala biro Harian Suara Pembaruan (dekade 1990an), produser pemberitaan di SCTV, dosen jurnalistik dan manajemen di Universitas Sahid, Universitas Pelita Harapan dan Universitas Bhayangkara.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Abang Pendekar itu Pergi

23 September 2015   22:36 Diperbarui: 23 September 2015   22:43 532
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Advokat senior Adnan Bahrum Nasution yang lebih dikenal sebagai Adnan Buyung Nasution, biasa dipanggil Bang Buyung. Ia sangat bangga terhadap sosok ayahnya, R Rachmat Nasution, wartawan yang pernah memimpin Lembaga Kantor Berita Nasional Antara. Bang Buyung pernah bercerita juga bahwa ayahnya juga pejuang kemerdekaan.

Ayah Adnan Buyung pernah juga menjadi pimpinan media berbahasa Inggeris Times of Indonesia. Bang Buyung yang biasa menjalani yoga tersebut, wafat Rabu 23 September 2015 pada usia 81 tahun. Pada tahun 1965, Buyung sudah Sarjana Hukum dan ia aktif dalam KASI (Kesatuan Aksi Sarjana Indonesia), sementara tokoh-tokoh lain seperti masih berstatus mahasiswa dan aktif dalam kegiatan KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia).

Pendekar Gagah

Saya masih ingat betapa Bang Buyung gagah sekali membela para mahasiswa pelaku Peristiwa Malari (15 Januari 1974) yang dianggap makar dan merongrong kewibawaan pemerintah. Saya kenal Bng Buyung sejak awal tahun 1982, sewaktu dibimbing oleh AM Dewabrata, redaktur bidang hukum di Harian Kompas. Ketika itu LBH baru menerbitkan laporan hukum tentang Kemiskinan Struktural.

Saya dulu sering hadir dalam sidang-sidang pengadilan sewaktu Bang Buyung tampil. Saya ingat sewaktu ia membela H.R. Dharsono, yang dituduh menghina kepala negara dan merongrong kewibawaan pemerintah. Buyung (ketika itu berusia sektiar 52 tahun) dalam pembelaannya menilai pemerintah mematangkan situasi sehingga peristiwa berdarah Tanjungpriok (12 September 1984) terjadi. Pada saat Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat membacakan vonis Dharsono (8 Januari tahun 1987), Buyung merasa tersinggung karena hakim menyebutnya tidak etis. Ia menyambar pengeras suara dan berteriak: “Saya protes kata-kata Majelis itu — siapa yang tidak etis?”

Protes itu membuat Ketua Majelis Hakim Soedijono (yang juga Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat) berhenti membacakan vonis. Suasana persidangan makin digaduhi oleh teriakan massa. Buyung juga membentak dan mengusir polisi yang berdatangan ke ruang sidang: “Ruangan ini wewenang hakim, bukan polisi. Polisi keluar!”

Dharsono yang biasa dipanggil Mas Ton hari itu divonis 10 tahun penjara. Tapi ulah Buyung dinilai sebagai contempt of court (penghinaan terhadap pengadilan) dan pengacara kawakan yang pernah menjadi jaksa dan politisi itu diskors tidak boleh bersidang setahun. Buyung menutup kantornya, lalu ia menempuh studi pascasarjana di Belanda. Saya pernah menyempatkan diri menjenguknya di rumah kontrakannya di Belanda.

Tidak suka

Dekade 1990-an, saya bertugas sebagai Kepala Biro Harian Suara Pembaruan di Amerika Serikat. Saya menemui Buyung yang berkunjung ke Washington DC pertengahan dekade 1990-an. Buyung mengecam tindakan salah seorang aktifis Indonesia yang menjelek-jelekkan negara Indonesia di Amerika. “Bert, Abang selalu kritis terhadap pemerintah. Tapi Abang tidak suka melihat anak muda yang ngejelekin Indonesia supaya dapat beasiswa,” ujar Buyung kesal.

Saya hadir ketika Buyung berbicara di depan para mahasiswa Indonesia yang ada di Boston (Massachussetts). Seperti biasa, Buyung sangat kritis terhadap pemerintah. Salah seorang mahasiswa asal Indonesia yang hadir, kebetulan cucu pimpinan negara yang jarang mengikuti perkembangan pemberitaan di Indonesia. Saya dengar mahasiswi itu bertanya kepada temannya: “Orang yang bicara ini siapa sih? Kok ngomongnya kayak gitu?”

Pesan singkat

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun