[caption id="attachment_205784" align="alignnone" width="576" caption="Anak-anak Mengunjui National Park "][/caption] Berpetualang, berinteraksi dan bertemu langsung dengan satwa liar adalah tujuan orang pergi ke Kenya. Kenya yang terletak di pantai timur Afrika menjadi gerbang utama bagi para pelancong yang ingin menikmati indahnya wisata alam di benua Afrika. Perjalanan ke Kenya adalah perjalanan kali pertama saya ke benua Afrika. Hati ini begitu gembira ketika pesawat Kenya Airways KQ0887 dari Bangkok mendarat mulus di bandar udara Internasional Jomo Kenyatta, Nairobi tepat jam lima pagi waktu setempat. Akhirnya perjalanan panjang selama kurang lebih 20 jam dari Korea ke Kenya transit di Thailand berakhir sudah. Bandar udara belum begitu ramai ketika itu, yang tampak hanya beberapa pesawat yang terparkir di hangar. Suasana khas Afrika sudah dapat saya rasakan ketika saya masuk ke ruang kedatangan. Hampir semua lambang hewan terpampang di iklan maupun aksesoris yang menghiasi ruangan tersebut. Bahkan, logo kamar kecil juga mengunakan simbol hewan khas Afrika. Tujuan perjalanan kali ini adalah mengikuti the 14th Nairobi International Education Fair. Saya mewakili, SolBridge International School of Business, Universitas Woosong, Korea Selatan, tempat di mana saya bekerja saat ini. Ada sekitar 20 orang dari tujuh universitas beserta wakil departemen pendidikan di seluruh Korea di rombongan kami. Kebanyakan ini adalah perjalanan mereka kali pertama ke Afrika. Sebelum berangkat saya sudah melakukan penelitian kecil tentang Kenya melalui situs pariwisata mereka www.magicalkenya.com khususnya mengenai visa, akomodasi, dan tempat yang harus dikunjungi. Tidak sulit untuk mendapatkan visa ke Kenya. Ada dua cara yang dapat dilakukan; pergi ke kedutaan besar Kenya, melengkapi berkas serta membayar USD 50 atau membayar visa on arrival sebesar USD 50. Perlu waktu 1 hari untuk mengurus visa. Saya memilih pilihan ke dua. Di loket imigrasi, petugas bertanya kepada saya akan maksud dan tujuan pergi ke Kenya. Sambil menyerahkan paspor dan uang USD 100 saya menjelaskan alasan saya pergi ke Kenya. Di sebelah saya beberapa orang warga negara China mengantri dengan tertib. Mereka adalah para insinyur atau ahli bangunan yang saat ini sedang membangun proyek jalan tol di Kenya. "Kamu sekarang sudah menjadi teman saya, boleh membelikan kopi untuk saya?" kata petugas. USD 10 tidak cukup jadi boleh saya memberi kembalian US 30, katanya. Saya berpura-pura tidak mengerti maksud dia tetapi saya menunjukkan uang USD 50 di depan dia untuk memberikan kepada saya. Akhirnya urusan imigrasi selesai. Sesudah itu saya menukar uang di tempat penukaran uang yang ada di bandar udara. Mata uang yang mereka gunakan adalah Kenyan Shilling (KES). 1 USD berkisar 80 Shilling. Dalam perjalanan dari bandar udara ke hotel, pemandu wisata kami menjelaskan beberapa hal penting yang perlu kami perhatikan selama tinggal di Nairobi, ibu kota Kenya. Nairobi adalah gerbang utama untuk masuk ke wilayah Afrika Timur. Nairobi juga menjadi satu kota tersibuk di Afrika. Banyak pendatang dari negara-negara Afrika lain seperti Uganda, Etopia, Rwanda, dan Tanzania di kota ini. Faktor keamanan adalah faktor yang paling penting yang harus kami perhatikan. Jambo, kata seorang petugas hotel menyambut kami dan rombongan sesampainya di hotel. Orang ini tingginya lebih dua meter dan dia tersenyum dengan ramah sekali. Di dalam perjalanan saya membaca sebuah artikel bisnis bahwa senyum adalah modal besar untuk melakukan bisnis khususnya pariwisata di negara berpenduduk kurang lebih 5 juta ini. Kami tinggal di hotel Sarova Panafric, sebuah hotel bintang 4 yang lokasinya dekat dengan pusat kota dan dimiliki oleh orang asli Kenya. Hotel ini mempunyai banyak jaringan di Kenya. Pemeriksaan masuk ke hotel begitu ketat. Sepertinya ini lebih ketat dari pada pemeriksaan ketika saya tinggal di hotel berbintang 5 di Jakarta. Tidak hanya barang bawaan yang diperiksa tetapi juga ada pemeriksaan badan. Luar biasa, inilah Afrika. Sesudah beristirahat selama dua jam, kami pergi mengunjungi dua tempat. Tempat pertama adalah The Sheldrick Elephant Orphanage. Sebuah konservasi Gajah yang dimiliki oleh keluarga Daphne Sheldrick. Beliau adalah salah seorang pejuang dalam pemburuan liar gading Gajah di Taman Nasional Tsavo pada tahun 1970. Saat ini semua Gajah yang tidak punya induk semang dibawa ke tempat ini untuk diberikan pelatihan sebelum dilepaskan ke habitatnya. Di tempat ini selain wisatawan saya juga menjumpai banyak anak sekolah dari Afrika yang belajar mengenai sejarah Gajah. Selanjutnya, kami pergi ke Giraffe Center di Langata di dekat Taman Nasional Nairobi. Tempat ini menjadi tempat pengembangbiakan Jerapah sekaligus menjadi pusat pendidikan konservasi Jerapah di Kenya. Para pengunjung dapat memberi makanan kepada Jerapah. Pengalaman ini merupakan pengalaman yang menarik di mana Jerapah dengan lidah panjangnya mengambil makanan dari pengunjung. [caption id="attachment_205722" align="aligncenter" width="516" caption="Jerapah di Nairobi National Park"]

Pada malam harinya, saya mencoba menelusuri suasana malam di kota Nairobi. Jalanan begitu padat dan warung makan dengan sajian khas menu Afrika seperti ayam goreng, ayam bakar, dan BBQ ala Afrika dengan nasi Ugali ada di sepanjang jalan kota. Namun demikian kebanyakan toko sudah tutup. Prof. George salah satu rekan saya yang bekerja di salah satu universitas di Kenya mengatakan bahwa Nairobi kota yang hidup selama 24 jam. Walaupun toko-toko di sini tutup jam 5 atau jam 6, café-café dengan live musik akan buka sampai tengah malam. Saya melihat denyut kehidupan kota yang dinamis di sini. “Kebanyakan penduduk suka pergi ke luar rumah sesudah bekerja. Namun demikian sangat disayangkan bahwa banyak masyarakat yang tidak menyimpan uang,” kata Prof. George. Mereka menghabiskan uang untuk membeli barang mewah seperti mobil dan juga minuman. Tidaklah heran jika kemacetan selalu terjadi di kota Nairobi.
Hari berikutnya saya menghabiskan waktu untuk mengunjungi beberapa universitas di sini. University of Nairobi, Kenyatta University, (dua universitas negeri terbesar di Kenya) dan Stathmore University dan United States International University (dua universitas swasta terbesar di Kenya). Pemeriksaan di universitas-universitas ini juga sangat ketat. Kami harus menulis dengan siapa kami harus bertemu dan memberikan tanda tangan. Hal yang menarik juga adalah kami tidak boleh diijinkan untuk mengambil gambar. Kalaupun harus mengambil gambar harus dapat persetujuan dari kepala keamanaan kampus. Luar biasa, keamanan begitu ketatnya di negara ini.
Pendidikan tinggi di Kenya sangat maju dan semua kampus yang saya kunjungi sangatlah bagus. Tidak hanya dari segi fasilitas seperti perpustakaan, kelas, asrama, tetapi juga sistem belajar mengajarnya. Bayangan saya mengenai pendidikan di Afrika berubah total. Jurusan favorit yang ada di universitas-universitas tersebut adalah Bisnis, Hotel dan Pariwisata. Sepertinya mereka tahu bahwa dua sektor tersebut yang saat ini dibutuhkan oleh masyarakat Kenya selain tentunya adalah jurusan pendidikan. Bahasa pengantar adalah bahasa Inggris walaupun bahasa nasional mereka adalah Swahili. Kebanyakan dari mereka dapat berbicara tiga bahasa. Bahasa daerah atau suku mereka, Swahili, dan Inggris. Hal ini tidak lepas dari faktor sejarah dimana Kenya adalah bekas jajahan Inggris.
Yang paling menarik mungkin berkunjung di universitas-universitas ini adalah tempatnya begitu luas dan tenang. Ketika saya berkunjung ke Nairobi Business School dan juga United States International University, saya benar-benar menemukan kedamaian. Kedua kampus ini berada di luar kota Nairobi. Nampak burung-burung dan juga suara-suara binatang lain di sekeliling saya. Model kelasnya juga terbuka sehingga saya dapat merasakan segarnya udara yang masuk ke kelas. Hal ini mungkin yang tidak saya rasakan dikebanyakan sekolah atau universitas di Indonesia khususnya di kota-kota besar saat ini. Fasilitas-fasilitas seperti tempat olahraga seperti lapangan sepak bola maupun asrama bagi mahasiswa sepertinya bukan menjadi prioritas bagi kebanyakan sekolah atau universitas di Indonesia.
[caption id="attachment_205726" align="aligncenter" width="384" caption="Suku Masai di Kenya"]

Pada akhir minggu saya mendapatkan kesempatan untuk berkunjung ke pasar tradisional Masai. Masai adalah salah satu suku terbesar di Afrika. Di pasar ini pengunjung bisa mendapatkan suvenir khas Afrika seperti ukiran kayu, batu permata, manik-manik, batik, dan juga kerajian lain dengan harga yang relatif murah. Pasar ini hanya buka setiap hari Sabtu dari jam 10 pagi dan tutup jam 6 sore. Kami naik taksi pergi ke sana. Taksi adalah salah satu akomodasi yang paling aman di Kenya walaupun harganya tidak murah. Kita harus pintar-pintar menawar dan tahu ke mana kita akan pergi. Kami memutuskan untuk tidak mengunakan pemandu ketika pergi ke pasar ini.
Lokasi pasar Masai tepat di tengah kota. Sesudah keluar dari taksi, beberapa orang langsung menghampiri kami dan menawarkan untuk mengantarkan kami ke pasar. Walaupun kami sudah mengatakan tidak, kami tidak bisa menolak. Mereka sedikit memaksa. Di pasar ini, saya harus terpisah dari rombongan. Saya merasa takut dan lelah dengan sikap mereka. Mereka bukannya membantu tetapi memaksa untuk membeli dagangan beberapa penjual. Baru kali ini saya tidak dapat menikmati berbelanja di pasar tradisional. Rombongan kami juga mengalami hal yang sama. Bahkan beberapa dari kami harus membayar lebih untuk barang yang mereka beli di pasar ini. Teman-teman dari Kenya memohon maaf atas hal ini dan meminta kami untuk lebih berhati-hati lagi jika pergi ke tempat umum seperti ini.
Malam harinya Prof. George mengajak saya dan beberapa teman untuk mencoba makanan khas Afrika di restauran Ronalo Ugali, salah satu restauran yang sangat terkenal di Nairobi. Beliau merekomendasikan kami untuk makan khas Afrika, ayam bakar dan nasi Ugali. Restauran berkapasitas 200 orang ini begitu ramai, tidak hanya karena pengunjungnya tetapi adanya live musik dan juga beberapa layar monitor TV yang menayangkan perlombaan atletik. Saya baru teringat bahwa banyak juara olimpiade khususnya atletik yang berasal dari negeri ini. Prof. George menjelaskan bahwa selain sepakbola, olahraga atletik sangat populer di Kenya. Selain makan, teman saya mencoba minum bir khas Kenya “Tusker”. Selain bir, Kenya sendiri sangat terkenal dengan kopi dan tehnya. Kopi Kenya menjadi minuman yang setiap hari kami minum khususnya sore hari. Sedangkan Teh Kenya yang dicampur dengan susu selalu kami minum setiap pagi. Seorang penjual kopi yang saya temui mengatakan bahwa dia juga punya menu kopi Sumatera jika saya sudah rindu dengan Indonesia.
Di Kenya banyak sekali tempat untuk melakukan safari. Tempat yang paling terkenal tentunya adalah Masai Safari. Letaknya sedikit jauh dari Nairobi. Sekitar 6 jam perjalanan darat. Biasanya para wisatawan menghabiskan waktu sekitar 3-4 hari untuk berkunjung ke Taman National ini karena sangat luas dan juga banyaknya kegiatan di sana. Kami sendiri memilih untuk berkunjung ke Taman Nasional Nairobi yang lokasinya paling dekat dengan kota Nairobi.
[caption id="attachment_205787" align="alignnone" width="576" caption="Turis Menikwati Wisata Safari dari atas Van"]

Tepat jam 7 pagi kami harus sudah siap untuk melakukan perjalanan ini. Cuaca sangat panas sekitar 30 derajat. Pemandu kami mengatakan bawa pagi hari sebelum jam 12 adalah waktu yang paling baik untuk melakukan perjalanan karena setelah siang hari banyak hewan yang mencari tempat berteduh dan sedikit sulit untuk bertemu dengan mereka. Perjalanan sekitar 30 menit dari pusat kota begitu cepat. Di dalam satu mobil ada 5 penumpang. Mobil berkapasitas 7 orang ini punya bak terbuka. Joseph supir yang juga pemandu kami menjelaskan bahwa kap mobil akan di buka sesudah kami sampai di sana. Untuk masuk ke taman nasional ini untuk turis asing adalah sekitar USD 65. Hewan yang kami jumpai pertama adalah Jerapah. Banyak sekali Jerapah yang sedang asyik makan tumbuh-tumbuhan.
Sebelum berangkat pegawai hotel berharap kami dapat berjumpa dengan the Big Five, gajah, badak, lembu, singa, dan macan. Kami menemukan singa dan macan di sana. Hanya keduanya sedang tidur. Jadi kami lanjutkan untuk mencari binatang lain. Sejauh mata memandang hanya padang rumput yang luas yang saya lihat. Di kejauhan di luar Taman Nasional nampak bangunan-bangunan tinggi. Joseph mengatakan bahwa banyak apartemen atau rumah baru di dekat taman ini. Hewan selanjutnya yang kami temui adalah Gazelle, semacam kijang Afrika. Mereka nampak bergerombol dan asyik merumput. Nampak juga ratusan Zebra yang melintas di depan saya. Warna tubuh Zebra yang begitu khas bercampur dengan warna rumput dan birunya langit membuat pemandangan menjadi indah. Dalam perjalanan pulang nampak dua petugas lengkap dengan senapan mengamati mobil kami. Mereka adalah para petugas yang menjaga taman tersebut dari pemburu-pemburu liar. Waktu empat jam taman nasional ini berlalu dengan cepat.
Hari terakhir di Nairobi kami habiskan pergi ke pasar kerajinan tradisional Kenya. Berbekal pengalaman kami di pasar Masai kami sangat berhati-hati sekarang. Namun demikian di pasar ini sangat berbeda dengan di Masai. Para pedagang menawarkan dagangannya dengan sopan dan juga tidak agresif. Hampir semua kerajinan ada di sini. Namun demikian yang paling menarik bagi kami adalah lukisan-lukisan khas Afrika. Pergi ke pasar ini seperti pergi ke pasar Sukowati di Bali. Sesudah berkunjung ke pasar, kami mengunjungi Bomas of Kenya, seperti desa wisata yang khusus dibuat untuk melestarikan kebudayaan lebih dari 42 etnis suku di Kenya. Di sini kami menikmati tarian-tarian adat dari berbagai macam suku di Kenya.
Malam harinya kami berangkat ke bandar udara dan selanjutnya meneruskan perjalanan kami ke Korea. Suasana bandara begitu berbeda dengan ketika kami datang. Bandar udara begitu ramai dengan orang asing. Saya merasakan bahwa saya berada di Eropa saat ini, karena banyaknya orang kulit putih yang saya temui. The Magical Kenya ternyata benar-benar menarik banyak orang untuk berkunjung.
Artikel ini terbit di harian Seputar Indonesia 31 Maret 2012
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI