Mohon tunggu...
Ony Edyawaty
Ony Edyawaty Mohon Tunggu... Guru - pembaca apa saja

hanya seorang yang telah pergi jauh dari rumah

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Hari Ini dan Matinya "Ajining dhiri saka ing lathi, ajining raga saka busana"

16 Mei 2021   22:55 Diperbarui: 16 Mei 2021   22:58 524
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber gambar : m. tribunnews.com

Sebetulnya sudah cukup dengan hiruk pikuk perbincangan media sosial hari ini. Maksud hati ingin segera menyongsong kedamaian di penghujung hari dengan memberikan hak tubuh untuk beristirahat, namun apa daya. Sebuah tagar yang minta ampun, melintas dengan gambar yang menurut saya agak kurang sesuai.

Tiga orang ibu, dua diantaranya dengan pakaian tertutup dan berkerudung, lengkap dengan beragam editan menjadi meme yang menurut saya malah menyeramkan. 

Setelah melakukan penelusuran, ternyata ketiganya melakukan kejahatan, kalau saya boleh katakan demikian, yang sama yaitu memaki dengan kata kasar.

Pada peristiwa pertama di tempat dan waktu terpisah, seorang ibu separuh baya terlihat meluapkan kekesalannya pada seorang kurir yang mengantarkan barang pesanannya. Rupanya, sang ibu merasa pesanannya tidak sesuai dengan yang diharapkan, sehingga dia meluapkan kemarahannya dengan mengatakan "Goblog" berulang kali.

 Wajahnya dengan mulut membentuk bulatan lebar dan ekspresi galak dengan segera terpampang abadi di jagat maya, lengkap dengan ribuan caci dan maki balik.


Peristiwa kedua adalah seorang ibu muda bersama sang suami tampak meluapkan kemarahannya sesaat setelah mencoba menerobos sebuah portal penyekatan petugas. Dengan galak, dia memaki dan mengucapkan kata "Bacot", lengkap dengan kap mobilnya di bagian depan yang sudah penyok terbentur portal. 

Sebuah ilustrasi sempurna sebagaimana tagline sebuah merek rokok, "Lu yang Salah, Lu yang Galak". Tampaknya seiring dengan masifnya fasilitas gawai berkamera dan mampu merekam video serta media sosial membuat lambat laun budaya salah tapi galak yang selama ini sering kita saksikan mulai terungkap.

Peristiwa ketiga, jujur membuat saya lumayan terguncang. Mohon maaf, jika pada peristiwa pertama, pelaku adalah seorang wanita agak tua yang memang banyak menampilkan kesan rewel dan galak, yang kedua adalah wanita yang memang berpenampilan "lady rocker", maka pada peristiwa ketiga ini jauh berbeda.

Seorang wanita dengan raut muka lembut, berkacamata dan berkerudung rapi, memangku seorang balita, tampak mengacungkan jari telunjuk kiri sambil memaki "Eh, diem lo, Anjing!". 

Untuk beberapa saat, saya menahan nafas. Kaget sekali, bagaimana bisa penampilan selayaknya wanita berkelas, cerdas dengan kendaraan terawat, memangku sang putra yang saya yakin telah dididiknya dengan sangat hati-hati, sampai hati mengeluarkan kata sekasar itu.

Terlepas dari apapun yang sedang terjadi dan seberat apapun keadaannya, maka ketiga peristiwa ini mengingatkan saya pada pendapat seseorang yang entah siapa persisnya saya lupa, tentang perselingkuhan. 

"Anda tidak dapat membenarkan perselingkuhan yang anda lakukan dengan alasan istri/suami anda kurang perhatian, tidak seperti dulu, atau kekurangan ekonomi. Anda sudah mengkhianati kesetiaan, maka anda adalah pihak yang salah, bukan pasangan anda. No playing victim."

Sebagai seorang pengajar di sekolah menengah, kata-kata kasar seperti "Goblog", "Bacot" atau "Anjing" sangat sering terdengar dilontarkan oleh murid-murid saya. 

Tentu saja secara tidak sengaja, bukan kepada saya, gurunya dan sifatnya bukan dalam situasi saat kelas berlangsung. Pada jam-jam pelajaran yang kosong atau istirahat, bertaburanlah kata-kata sakti tersebut sebagai respon interaksi dengan teman-temannya. 

Tentu saja sebagai pendidik, saya selalu merespon dengan menghampiri dan menegurnya, sementara biasanya pelaku akan segera minta maaf dan merasa malu. 

Diiringi suara teman-teman yang mentertawakannya, dia berjanji tidak akan mengulangi lagi. Biasanya belum lima belas menit, muncul lagi pelaku pelontar kata-kata sakti itu. Saya segera merespon dan mengingatkannya, begitu terus sepanjang hari sepanjang semester dan sepanjang tahun pembelajaran.

Makin hari, pelontaran kata-kata makian di kalangan murid-murid saya di sekolah, terasa makin sering. Terkadang saat mengintip bahasa mereka di sosial media, saya hanya bisa mengelus dada. Sudah separah inikah mereka dalam merendahkan diri dengan berkata kasar? Tidak heran Google sempat menyebutkan netizen Indonesia sebagai pelaku interaksi dunia maya yang paling tidak sopan/kasar.

Namun demikian, segila-gilanya kata-kata kasar semacam "Goblog, Bacot, Anjing", di kalangan anak-anak muda terutama di sekolah masih bisa dipahami sebagai sesuatu yang harus terus diproses dalam lingkungan pendidikan. 

Dibenahi, dikoreksi, diingatkan dan terus dikawal dengan pendidikan budi pekerti yang baik. Mendidik di masa muda akan memberikan efek seperti mengukir di atas batu. 

Saya yakin, murid-murid yang kerap berkata kasar dahulu di sekolah dan ditegur gurunya, akan selalu ingat sampai dewasa dan menjadi orang tua.

Bagaimana dengan peristiwa ketiga ibu ini? Suatu hal yang bagi saya sungguh teramat miris. Sudah merupakan suatu perbuatan tidak layak dan pantas untuk dilakukan, ditinjau dari sudut manapun. 

Seorang ibu, sebagai sumber ilmu dan sekolah kepribadian bagi putra-putrinya benar-benar tidak boleh lagi berkata kasar, kecuali dia ingin anak-anaknya melakukan hal yang sama dan terlibat banyak masalah. 

"Mulutmu, harimaumu", demikian pepatah terkenal tentang kejamnya hukuman sosial yang mungkin kita dapatkan saat tidak mampu menjaga tutur kata dan bahasa. 

Bahkan saat memberi kritik, saran atau pandangan berbedapun, bahasa kita harus terjaga dengan baik dan kata-kata yang kita pilih seharusnya bukan dari golongan pemicu kemarahan dan sakit hati.

"Ajining dhiri saka ing lathi," (harga diri seseorang datang dari mulutnya (kata-kata) yang diucapkannya), demikian bunyi sebuah pepatah Jawa yang masih saya pegang teguh sampai kini. 

Bagaimana dengan harga diri para ibu yang sudah melontarkan makian seperti dalam peristiwa-peristiwa itu? Tentu saja sudah jatuh ke tingkat yang paling rendah. Bahkan ajining dhiri saka ing lathi mendahului ajining raga saka busana, artinya, kebaikan ucapan bahkan mendahului kebaikan cara berpakaian. 

Sebaik, serapi dan semahal apapun pakaian yang kita kenakan, akan membuat kita malu dan serasa telanjang mana kala mulut kita malah mengeluarkan kata-kata kasar.

Pakaian rapi dengan kerudung yang dikenakan oleh dua dari tiga ibu tersebut, seketika telah membuat sebagian orang memberikan stigma yang buruk pada Muslimah. 

"Pakaian tidak sesuai dengan akhlaknya, buat apa? Lebih baik tidak berkerudung daripada mulutnya seperti comberan." Meskipun hal ini juga bukan pendapat yang baik, namun peristiwa ini membuat Muslimah harus lebih berhati-hati dan banyak menahan diri. 

Setelah ini, tentu bukan perkara mudah mengembalikan citra Muslimah sebagai perempuan beradab, penyabar, cerdas dan salehah di beberapa kalangan.

Perenungan saya akhirnya bagaikan menemukan sebuah pola gunung es. Setiap hari di sekolah saya menemukan puluhan kasus kata-kata kotor dan makian yang dilontarkan secara verbal maupun non verbal (misalnya coretan di meja atau dinding toilet) oleh murid-murid saya. 

Terbetik tanya dalam sanubari, "Siapakah yang mengajari anak-anak ini memaki? Apakah ibunya?". Namun pikiran buruk dan tuduhan itu saya tepis jauh-jauh selama bertahun-tahun. Tidak mungkin seorang ibu tega mengajarkan kata-kata makian yang kelak akan menjerumuskan anak-anaknya dalam masalah yang besar. 

Namun hari ini, dengan hati yang sangat berat, saya harus mengakui bahwa ternyata sebagian dari para ibu, suka tidak suka, sengaja tidak sengaja, memang menjadi salah satu penyebab mewabahnya budaya caci maki di kalangan anak-anak muda, yaitu anak-anak mereka sendiri. Kita benar-benar sedang mengalami krisis keteladanan pada level terkecil dalam struktur masyarakat, yaitu keluarga. Jika tidak segera dicarikan solusinya, kehancuran negara akan segera terpampang nyata. Negara kita ada secara konstitusi, namun kita sebagai bangsa akan segera lenyap.

Hal yang harus diingat di jaman yang serba terekam, jaman segala hal selalu diskrinsyut adalah, makian kita terhadap seseorang, baik secara fisik atau non fisik, akan abadi dan dapat dilihat berulangkali bahkan saat sudah dihapus. 

Banyak teknologi yang memungkinkan rekaman itu dibuka kapan saja, di mana saja dan oleh siapa saja. Sudah banyak cerita tentang kegagalan seorang anak muda menembus seleksi sebuah pekerjaan bergengsi karena HRD menelusuri time line dan riwayat aksinya di sosial media. Tentu ibu manapun, tidak akan sanggup apabila anak-anaknya mendapatkan kemalangan seperti itu.

Pepatah tua itu kembali terngiang di ruang pemikiran saya. Seindah itulah para orang tua bijak nan sabar memberikan wasiat. Sebuah pelajaran yang berumur puluhan bahkan ratusan tahun, namun nilainya tak akan pernah usang. 

Sebuah mutiara pembelajaran karakter yang seharusnya kita gali dari timbunan lumpur hitam dan berbaunya sampah peradaban modern yang cenderung kapitalistik, materialis dan jauh dari sikap manusia sejati. 

Serba cepat tapi tidak diimbangi kematangan dan tanggung jawab. Kita seharusnya tidak perlu belajar jauh-jauh atau berkiblat kemanapun, karena nilai-nilai pembelajaran yang diabadikan oleh para orang tua kita dahulu, tinggal menunggu waktu saja untuk ditemukan kembali dan berkilau abadi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun