Mohon tunggu...
Ony Edyawaty
Ony Edyawaty Mohon Tunggu... Guru - pembaca apa saja

hanya seorang yang telah pergi jauh dari rumah

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Gugat Kesumat

11 April 2021   23:04 Diperbarui: 11 April 2021   23:08 224
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar : republika.com

Biar saja, aku ingin semua orang tahu siapa yang sekarang berkuasa.  Aku ingin mereka merasakan tidak enaknya diriku waktu itu, menerima berbagai sikap perendahan.

Sikapku yang keras akhirnya menciptakan segregasi di kalangan bawahanku.  Beberapa guru berkelompok, menjilat dan mencari muka di hadapanku.  Mereka menimpakan kesalahan-kesalahan dan ketidakbecusan mereka pada orang-orang lain di luar lingkaran.  Aku juga butuh mereka sebagai anjing penjaga yang harus menyalak dan menggonggong untuk menakuti guru lain yang kritis dan mencoba menentangku.

Beberapa kali mereka menghantarkan korban yaitu guru-guru yang ditunjuk kesalahannya dan dikuliti di berbagai Rapat Dinas.  "Bapak Ari dan Ibu Ninuk, sering telat, Pak.  Mereka tidak melengkapi administrasi dan sering pulang kerja sebelum waktunya, "lapor mereka.  Beberapa kejadian sepele misalnya keengganan beberapa guru untuk berkumpul dan mengikuti acara-acara juga mereka kipas-kipaskan.  Aku sungguh sangat menikmati suguhan itu.  Memarahi guru yang kuanggap tidak menyenangkanku, terlalu kritis dan cerewet, sampai yang hanya berdasarkan laporan palsu adalah kesukaanku. 

     Aku pernah memarahi seorang guru di depan forum Rapat Dinas akibat status yang dipostingnya di Facebook.  Dia sebetulnya tidak menyebut nama institusi, namun keterlambatan pembayaran honorarium dan kasus ketidak terbukaan keuangan yang disorotinya, memang ada di sekolah ini.  Aku tidak sedikitpun berbelas kasihan menyaksikan dia menahan tangis dan mencoba mengklarifikasi.  Sebagai seorang intelektual, dia mencoba memaparkan bukti-bukti, namun kujawab dengan memanggil beberapa Kepala Seksi dari dinas pendidikan kabupaten ke kantorku.  Dengan uang sogokan berkedok uang transport, para pejabat ini kupesan supaya melakukan insult dan menyindir sekeras mungkin guru pembangkang ini di depan Rapat Khusus yang kuciptakan.  Usahaku berhasil membuatnya berobat ke psikiater selama satu tahun.

*****

      "Bu Irma, tolong jangan bawa anak ke kantor ya," ujarku sinis.

Kutatap seorang ibu guru yang lusuh dengan pakaian tidak diseterika sambil menggendong anaknya yang berumur dua tahun.  Di tangan kanannya tampak sebuah buku teks dan Lembar Kerja Siswa serta sebatang kapur.  Dia begitu gemetar mendengarkan suaraku sehingga kapur tulisnya terjatuh.  Dua bulir air mata bergulir ke pipinya yang kusam dan berminyak. 

"Ibu tahu, kantor bukan tempat mengasuh anak.  Lagipula Ibu tidak bisa mengajar dengan terus-menerus menitipkan tugas pada anak-anak.  Ibu harus di kelas dan mengajar.  Bukan mengasuh anak.  Bapaknya kemana?  Apa tidak bisa bayar pengasuh?" cecarku dengan nada sesinis mungkin.

Mata Bu Irma berkilat dengan kepedihan dan ketakutan.  Namun dia mengangguk dan berlalu dari hadapanku.  Seperti yang sudah kuduga, mulut perempuan itu mengoceh di belakang dan menjelekkan pimpinannya.

"Pantesan Pak Bahtera tidak punya anak, itu karena karma.  Coba saja lihat bagaimana perlakuannya pada anak-anak.  Dia galak dan benci pada anak kecil," demikian kata-kata yang diucapkan para guru wanita.

     Tahu apa dia soal keadaanku yang sulit punya anak?  Sepuluh tahun usia pernikahanku, aku memang belum dikaruniai seorang anak.  Sebagai seorang anak petani kaya dengan puluhan hektar sawah, tentu saja hal ini segera memicu aneka konflik dalam keluarga besarku.  Aromanya tidak jauh-jauh dari perebutan harta warisan.  Salah seorang keponakanku bahkan sempat berkata terang-terangan, "Jangan punya anak lah, Mang.  Nanti aku nggak kebagian warisan."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun