Mohon tunggu...
Onessimus Febryan Ambun
Onessimus Febryan Ambun Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Program Studi Sarjana Filsafat IFTK Ledalero-Flores

Benedictvs Dominvs Fortis mevs qvi docet manvs meas ad proelivm digitos meos ad bellvm

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Tombo Bundu: Metafor, Tradisi dan Upaya Memahami Realitas dalam Budaya Manggarai

6 Januari 2022   08:10 Diperbarui: 28 April 2022   20:25 1757
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(Sumber Gambar: travel.kompas.com)

“Secara kodrati, setiap manusia mempunyai hasrat untuk mengetahui.”[1] Begitulah yang diungkapkan Aristoteles dalam paragraf pertama bukunya yang diberi judul Metafisika. Aristoteles berpendapat bahwa setiap manusia senantiasa memiliki rasa ingin tahu akan segala sesuatu. Manusia selalu berada dalam keadaan menjadi, ia senantiasa bergerak dalam gerakan potensialitas menuju aktualitas – ia bergerak dari ignorantia menuju pengetahuan. Aristoteles dalam hal ini tepat, ia menggambarkan bagaimana manusia yang mempunyai rasionalitas, berusaha untuk mencari tahu keutuhan realitas yang meliputi dirinya. Manusia berusaha untuk mengerti, berawal dari kekosongan dan keheranan, ia mencari tahu segala hal – ia berusaha memahami.

Upaya memahami segala hal yang ada atau upaya memahami realitas merupakan hal yang telah dilakukan seluruh umat manusia sejak ribuan tahun yang lalu. Selain memahami, manusia juga bertugas untuk menyajikan pemahaman yang ia dapati dari realitas. Ia adalah animal sociale, ia hidup bersama the others. Horizonnya pemikirannya, tidak ia simpan untuk dirinya sendiri melainkan juga untuk sesamanya. Dalam usahanya itu, dibutuhkan suatu metode yang tepat. Umumnya, manusia menggunakan metode ilmiah dalam upaya memahami realitas, tetapi pada zaman dahulu, metode-metode saintifik belum berkembang seperti sekarang. Realitas pada zaman itu dicari dan disajikan dalam bentuk metafor-metafor. Realitas dipahami secara analogis melalui via affirmativa (jalan penegasan).  Setiap atribut-atribut yang ditemui dalam realitas, ditegaskan melalui analogi metaforis. Peradaban-peradaban atau kebudayaan-kebudayaan di masa lalu bahkan hingga sekarang masih menggunakan metode yang sama. Hal ini juga terlihat dalam kehidupan kultural masyarakat Manggarai yang menggunakan bahasa metafora dalam memahami ataupun menyajikan makna realitas.

TOMBO BUNDU: SEBUAH  BAHASA METAFORIS

(Sumber Gambar: anekatempatwisata.com)
(Sumber Gambar: anekatempatwisata.com)
Tombo bundu merupakan salah satu cara memahami dan menyajikan realitas. Dalam kebudayaan Manggarai, tombo bundu memiliki arti dan tempat tersendiri sebagai jalan yang menghantarkan manusia kepada realitas. Tombo bundu berakar dari dua kata bahasa Manggarai, yaitu: tombo dan bundu. Tombo berarti pembicaraan atau percakapan dan bundu berarti teka-teki. Dalam dunia modern dewasa ini, secara umum tombo bundu dimengerti sebagai “teka-teki”. Namun, tombo bundu sebenarnya lebih kompleks. Dalam buku Tradisi Lisan Orang Manggarai, Kanisius Teobaldus Deki mendefinisikan tombo bundu sebagai “Percakapan yang dibuat dalam bentuk perumpamaan dan disajikan melalui bahasa kiasan [bahasa metaforis]”.[2]

Bahasa metaforis merupakan suatu cara memahami dan suatu cara menyajikan makna realitas. Dalam buku Messages, Signs, And Meanings karya Marcel Danesi, metafora didefinisikan secara tradisional sebagai “Penggunaan kata atau frasa yang menunjukkan satu jenis ide menggantikan kata atau frasa lain dengan tujuan untuk menunjukkan kemiripan antara keduanya (misalnya, "Cinta adalah mawar")”.[3] Metafora pada hakikatnya bersifat analogis, ia menggantikan idea yang satu dengan idea yang lain untuk menunjukan kesamaannya. Aristoteles adalah orang yang menciptakan istilah metafora itu sendiri; metafora berasal dari dua padanan kata, yaitu: meta "melampaui" dan pherein "membawa". Filsuf besar Yunani ini melihat kekuatan bahasa metaforis dalam kemampuannya untuk menjelaskan konsep-konsep abstrak.[4] Bagi Aristoteles, “Di tengah-tengah antara hal yang tidak dapat dipahami dan hal yang biasa, metaforalah yang paling banyak menghasilkan pengetahuan.[5]

Sejak zaman kuno, penggunaan metafora telah dilihat terutama sebagai strategi retoris yang digunakan oleh orator dan penulis untuk memperkuat dan memperindah pidato dan komposisi tulisan mereka. Namun, dalam konteks kebudayaan Manggarai, metafora lebih dari sekedar strategi retoris. Metafora yang merupakan basis dari bundu, bermaksud menyingkapkan kenyataan sehari-hari dalam bahasa kiasan yang dirahasiakan untuk mengais makna yang sebenarnya.

TOMBO BUNDU: SEBUAH TRADISI KERAMAT

(Sumber Gambar: radarflores.com)
(Sumber Gambar: radarflores.com)
Dewasa ini, bundu seringkali disajikan dalam berbagai saat-saat senggang atau sebagai bahan obrolan lepas semata. Bundu disajikan begitu saja dalam obrolan sebagaimana teka-teki biasanya. Bundu, bahkan bagi anak-anak masa kini hanya dianggap sebagai permainan saja. Namun sebenarnya sejak dahulu, bundu tidak disajikan demikian. Pada zaman dahulu, dalam tradisi Manggarai, konteks tombo bundu ialah memenuhi acara welang rapu [berjaga menunggui mayat]. Karena sifatnya yang menghibur dan menantang juga menambah wawasan, tombo bundu saat ini kehilangan konteks aslinya. Hal ini berbeda dengan apa yang terjadi di masa lalu. 

Pada pada zaman dahulu, orang Manggarai kerap kali menyajikan bundu-bundu sebelum acara ceha kila [menyembunyikan cincin] yang dibuat para pelayat supaya dapat berjaga hingga pagi.[6] Hal ini dilakukan oleh masyakat Manggarai bukan semata-mata bertujuan untuk menghilangkan rasa bosan dan memenuhi konteks keramat welang rapu, melainkan juga bertujuan untuk mengais makna realitas dan makna terselubung yang melingkupi kehidupan sehari-hari mereka. Meskipun sifat bundu adalah spontan sebagaimana teka-teki biasanya, tetapi bundu tidak boleh dibuat asal-asalan pada sembarang kesempatan. Terdapat nilai sakral dan mistis juga di dalamnya. Menurut beberapa tetua adat Manggarai, ada keyakinan bahwa pada saat tradisi tombo bundu dan ceha kila berlangsung, arwah-arwah orang meninggal ikut bermain dan bahkan menari-nari di luar menyambut kedatangan arwah yang baru meninggal. Itu sebabnya mengapa bundu (plus ceha kila) pada awalnya hanya disajikan hanya pada kesempatan welang rapu.[7]

Perubahan konteks yang terjadi dewasa ini pada tradisi tombo bundu hingga saat ini merebak di seluruh daerah di Manggarai. Tombo bundu hampir tidak lagi disajikan dalam kesempatan-kesempatan welang rapu. Kondisi ini tidak hanya terjadi pada tradisi tombo bundu tetapi juga tradisi ceha kila. Tradisi yang sebenarnya merupakan sebuah tradisi keramat, akhirnya hilang begitu saja.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun