Mohon tunggu...
SANTOSO Mahargono
SANTOSO Mahargono Mohon Tunggu... Pustakawan - Penggemar Puisi, Cerpen, Pentigraf, Jalan sehat, Lari-lari dan Gowes

Pada mulanya cinta adalah puisi. Baitnya dipetik dari hati yang berbunga

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Bunga Tabur

26 Agustus 2020   22:32 Diperbarui: 27 Agustus 2020   07:12 175
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Setiap tanggal 10 Suro (penanggalan Jawa) orang tuaku mengadakan ritual selamatan untuk arwah leluhur. Kami biasa menyebutnya kirim do'a untuk arwah leluhur. Suatu tradisi yang mengakar dan turun temurun. Sejak kecil sampai remaja ini sepertinya tak pernah sekalipun orang tuaku absen mengadakan ritual ini. 

Supaya terbiasa, maka orang tuaku pun menjelaskan dan selalu meminta kepadaku untuk membantu ritual tersebut. Setidaknya orang tuaku berharap agar ritual ini menjadi tradisi yang tidak dilupakan saat dewasa kelak, saat aku berkeluarga dan menurunkannya kepada anakku. Demikian pesan orang tua yang selalu didengungkan kepada kami sebagai anak-anaknya.

Menurut silsilah keluarga, aku adalah keturunan ketujuh dari Kakek Singosasmito. Beliau seorang Adipati di sebuah kota di pulau Jawa. Silsilah yang bercabang-cabang itu tertulis rapi dalam sebuah buku lawas yang konon ditulis oleh leluhurku. Mereka juga turun temurun menjaga. Sebuah catatan penting yang sudah terpikirkan pada masa itu.

Tapi, demikianlah kehidupan. Selalu berjalan dan selalu berubah. Demikian pula tentang arti keturunan seorang bangsawan yang kini tak perlu lagi dibanggakan. Semua cukup kembali pada diri masing-masing dalam menjalani kehidupan di masanya. Tak ada gelar bangsawan di depan atau belakang namaku. Sebab kami memang bukan keluarga kerajaan. Bapakku bukan pula raja. Jadi di dalam akte maupun ijazah namaku cukup tertulis Yuwono Sasmito anak dari Surono Sasmito.   

Aku juga tak paham apakah masih perlu berbangga dengan keturunan bangsawan itu? aku tak lebih sebagai seorang remaja yang biasa-biasa saja. Tak ada yang istimewa pada diriku selain pandai mengerjakan soal matematika. Kehidupan normal layaknya remaja pada umumnya. Artinya aku juga berjerawat, suka kisah horor, suka menyanggah dan mulai coba-coba ingin merasakan jatuh cinta pada lawan jenis.

Satu hal lagi, mungkin sering dialami oleh remaja lainnya, aku sangat malas jika disuruh-suruh. "Aduh malas banget pokoknya!". Apalagi dalam ritual ini. Kukira acara seperti selamatan ini cukup dikerjakan oleh ibu-ibu tetangga saja. Sedangkan aku sebisanya saja, misal menyapu, mengeluarkan kursi dan meja tamu di teras. Lalu, menggelar karpet dan balik ke kamar lagi.

Sebenarnya aku masuk ke kamar bukan untuk tidur, tapi hanya menghindari keriuhan saja. Di ruang tengah dan dapur suara ibu-ibu tetangga yang membantu saling sahut disertasi candaan. Entah apa yang mereka bahas, berisik saja. 

Selain itu, ada suara penggorengan yang silih berganti. "Sreeeennnggg....." terciumlah aroma bawang merah goreng yang gurih. Disusul dengan bau-bau masakan lainnya yang hilir mudik di hidungku.

Kunyalakan laptop. Sambil berbaring diatas kasur, kuhabiskan sore itu di dalam kamar. Seakan tak peduli acara kirim do'a yang akan digelar nanti malam. Memutar musik dan berselancar internet menjadi hiburan. Layar laptop yang syahdu menarik perlahan kesadaranku. Aku tertidur di tengah-tengah keluarga yang sibuk menyiapkan sebuah hajat kirim do'a. Ya, aku tertidur, tengkurap.

Bukan mereka tak peduli aku, ibuku sibuk di dapur. Bapakku masih kerja, katanya menjelang maghrib sudah pulang. Kedua kakakku membantu melipat kardus nasi kotak dan mengemas jajanan. Hanya aku yang menyirami mimpi menjadi bermekaran seperti bunga di taman.

Mimpi itu membawaku pada perjumpaan dengan seorang kakek yang membawa tongkat. Aku tak mengenalnya. Aku juga tak bisa menahan langkah kakiku. Berjalan saja apa adanya. Aku mendekat dan sepertinya Kakek itu sedang mengamatiku, mungkin matanya sudah kabur melihat kedatanganku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun