Beberapa hari yang lalu, saya menemukan sebuah video menarik yang diunggah oleh laman AJ+ (AJPlus) yang memperlihatkan gerakan aktivis yang memanfaatkan sisa lauk katering di acara pernikahan untuk dibagikan ke orang yang tidak mampu.
Di video itu juga dibeberkan satu fakta, bahwa ternyata Indonesia adalah Negara terbesar kedua di dunia yang kerap menyiakan makanan setelah negara Saudi Arabia. Intinya, ada banyak sekali makanan yang terbuang secara percuma di negeri ini.
Video yang saya bagikan ke laman akun facebook saya itu banyak dibanjiri komentar (lengkapnya, silakan klik di sini). Ada banyak tanggapan yang masuk. Sebagian besar mengeluhkan tabiat orang Indonesia yang seringkali gragasan dalam mengambil makanan terutama yang gratis.
Pernah menginap di hotel dan melihat orang yang ambil banyak sekali makanan saat sarapan namun kemudian menyisakannya? Atau, sebagaimana yang saya singgung di awal, pasti sering ya lihat orang kalap ambil makanan dengan lauk menumpuk, namun tidak dihabiskan karena alasan yang sangat-tidak-lucu seperti udah kenyang atau makananya tidak enak. Atau, jangan-jangan kamu adalah salah satu orang yang kerap menyisakan makanan?
Jika iya, segera bertobatlah!
Ada banyak sekali orang yang kelaparan di luar sana selagi kamu menyisakan makanan-makanan itu. Jangan terlalu menurutkan hawa nafsu. Ambilah makanan sesuai takaran tubuh. Jikapun merasa kurang, saya rasa silakan saja antre lagi untuk menambah. Tidak usah malu. Itu lebih baik ketimbang kalian menyisakan makanan yang ada.
Stiker makanan di Mumbai
Ada sekitar 120 ton makanan yang dikonsumsi masyarakat di India setiap harinya. Sayangnya, ada sekitar 16 ton makanan yang kemudian tidak dikonsumsi oleh mereka padahal di sisi lain, taraf hidup masyarakat di India begitu timpang. Yang kaya, biasanya kaya banget. Yang miskin, miskin banget.

Nah, miris dengan banyaknya makanan yang terbuang ternyata menginspirasi para Dabbawala (para pekerja yang bertugas mendistribusikan rantang makanan) untuk memisahkan rantang-rantang mana yang masih menyisakan banyak makanan. Caranya dengan memberikan stiker khusus di rantang tersebut. Selengkapnya lihat video di bawah ini ya.
Alhamdulillah, makanan yang ada di rantang tersebut dapat dimanfaatkan oleh para homeless yang memang banyak tersebar di jalanan-jalanan India. Konsepnya kurang lebih sama dengan yang dilakukan oleh para aktivis pengumpul makanan sisa katering yang ada di Jakarta. Hebat!
Meminimalisasi sisa makanan dengan cara ngidang
Fresh from the oven. Pengalaman yang akan saya ceritakan ini baru saja berlangsung beberapa jam lalu, ketika saya menghadiri resepsi pernikahan salah satu kerabat di kawasan 13 Ulu Palembang.
Pernikahan tersebut diselenggarakan di rumah, bukan di gedung pernikahan. Namun, yang unik adalah, tuan rumah masih menggunakan cara ngidang dalam menyiapkan makanan untuk tamu. Dulu, cara ini umum digunakan oleh masyarakat Palembang. Namun, sudah lama sekali saya tidak merasakan kondangan seperti ini. Seingat saya, terakhir saya merasakan kondangan dan makannya dengan cara ngidang ini saat SD, sekian tahun lalu.

Maksimal ada 8 orang dalam satu grup. Ini ditandai dengan jumlah piring dan air mineral yang memang "dijatahi" demikian. Pun jumlah potongan ayam, telur dan pentul (perkedel ayam) yang juga dijatahi sesuai orang yang ada.

Memang ada kelebihan dan kekurangan dari cara makan seperti ini. Kelebihannya, acara makan terasa lebih guyub. Mau tidak mau, akan saling sapa dengan kawan makan di grup yang sama. Cara makan ini juga terasa lebih "beradab" ketimbang cara makan di hotel berbintang yang kadang tidak disediakan kursi sehingga makan dilakukan dengan cara berdiri.
Dan, seperti yang saya singgung sebelumnya, cara makan seperti ini lumayan sukses untuk meminimalisasi sisa-sisa makanan, soalnya orang tidak akan mengambil nasi dan lauk secara gragasan. Orang bisa makan dengan perlahan dan jika dirasa masih lapar, bisa nambah nasi dan lauk yang tersedia.

Kekurangannya, cara ini memang dinilai kurang praktis dan jelas lebih repot karena panitia/tuan rumah, harus terus me-reload hidangan begitu grup-grup sebelumnya selesai makan. Butuh lebih banyak piring yang digunakan untuk mewadahi lauk. Nah, biasanya cara makan seperti ini, tukang cuci piring sudah stand by, jadi begitu selesai, piring langsung dicuci dan dikeringkan untuk digunakan tamu yang lain.
Jika sebagai tamu, sih, saya lebih senang makan dengan cara seperti ini. Namun, jika di posisi tuan rumah, jujur saja, kurang praktis apalagi jika tamu yang diundang ribuan.
Saat membagikan pengalaman kondangan melalui tayangan IG Stories, saya mendapatkan banyak respon yang mayoritas mengapresiasi cara penyajiaan makanan seperti itu. Beberapa diantaranya bahkan menginformasikan bahwa di daerah mereka, ada cara makan yang kurang lebih sama namun istilahnya berbeda.
Dan, rata-rata, ingin merasakan kondangan dan disajikan makan dengan cara seperti itu. Nah, gimana, apakah kamu juga penasaran pingin makan dengan cara ngidang ala Palembang ini?

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI