Bagi sebagian orang, TIK mungkin dianggap hanya urusan komputer, internet, dan mengetik. Tapi bagi kami para guru TIK, mata pelajaran ini adalah alat pemberdayaan siswa. Melalui TIK, siswa belajar mencari informasi yang benar, mengolah data, berpikir kritis, berkolaborasi, dan menjadi warga digital yang bertanggung jawab.
Di era revolusi industri 4.0 dan society 5.0, literasi digital adalah kunci. TIK bukan lagi keterampilan tambahan, tapi menjadi kompetensi dasar.
Menghapus TIK dari kurikulum seperti mencabut akar dari pohon yang sedang tumbuh. Kami tahu risikonya, dan karena itu kami melawan. Dengan elegan. Dengan santun. Dengan semangat guru.
Satu Dekade Berlalu: Refleksi dan Harapan
Hari ini, sepuluh tahun kemudian, foto itu menjadi pengingat bahwa perjuangan tidak pernah sia-sia. Banyak perubahan terjadi. TIK kembali mendapat tempat, meski dalam berbagai nama dan bentuk: Informatika, Literasi Digital, dan lainnya. Tapi kami tetap waspada.
Kami tetap memegang teguh semboyan itu:Â "SAVE TIK HARGA MATI."
Karena kami tahu, teknologi berkembang cepat. Tapi tanpa guru yang mendampingi, teknologi bisa salah arah. Guru TIK bukan hanya pengajar alat, tapi pendidik etika dan penggerak kecakapan digital.
Perjuangan ini belum selesai. Generasi muda butuh didampingi, bukan ditinggalkan dalam dunia maya yang liar. Sekolah butuh penguatan kurikulum TIK yang jelas, bermakna, dan relevan.
Dan kita, para guru TIK, harus tetap solid. Tetap belajar. Tetap bersuara.
Akhir Kata
Kepada para sahabat seperjuangan, yang dulu bersama berdiri di bawah terik matahari dengan spanduk di tangan, izinkan saya sampaikan: Terima kasih. Kalian luar biasa. Perjuangan ini akhirnya membuahkan hasil dengan lahirnya mata pelajaran Informatika.