Inilah salah satu pertimbangan logis Pertamina menahan harga BBM. Tujuannya, agar harga BBM itu tidak begitu fluktuatif yang berdampak pada perekonomian makro.
Kedua, perlu diketahui bahwa harga minyak yang jatuh saat ini adalah minyak dunia. Bukan minyak dalam negeri atau domestik. Artinya, jika kita ingin mendapatkannya secara murah, maka konsekuensinya Pertamina harus impor.
Masalahnya begini, total minyak mentah (crude) yang diolah Pertamina itu komposisinya sekitar 68%-nya merupakan serapan dari crude domestik, sedangkan 32% sisanya berasal dari impor.
Jika begitu, maka penurunan harga minyak dunia sebenarnya tidak serta-merta secara instan berpengaruh terhadap harga BBM dari Pertamina. Karena pada dasarnya, Pertamina mengimpor crude lebih sedikit dibanding serapan dalam negeri.
Di sisi lain, biaya rata-rata produksi crude domestik di Indonesia berada di angka USD 19.71 per barel. Harga ini sebenarnya sudah cukup kompetitif dibandingkan negara lainnya. Namun, biaya produksi minyak di sebagian wilayah kerja migas Indonesia masih berkisar USD 30-42 per barel.
Harus diakui, harga inimemang lebih tinggi dibandingkan harga minyak dunia. Tetapi Pertamina harus tetap menyerap hasil produksi domestik tersebut demi menjaga ekosistem migas di sektor hulu.
Oke, katakanlah Pertamina akan beralih ke impor semua, maka kita pun mendapati problem berikutnya, yaitu pelemahan mata uang.
Seperti diketahui, nilai tukar Rupiah saat ini melemah hingga mencapai Rp17.000 per USD. Padahal segala aktivitas impor itu menggunakan mata uang USD.
Artinya, jika kita tetap nekat memaksakan impor semua, maka akan sama saja. Karena jatuhnya pasti harga minyak akan tetap mahal.
Kalau begini, bukankah harga BBM justru tidak akan kompetitif?
Ketiga, Pertamina itu berperan ganda antara sisi komersial, dan sisi penugasan Pemerintah untuk melakukan penyerapan crude domestik dari Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS). Hal ini sesuai instruksi Presiden Jokowi untuk menekan defisit dan mengurangi impor migas Indonesia.