Saya ingat betul nasihat itu. Waktu itu saya masih duduk di bangku kelas 2 SMP. Suatu hari ada tugas dari guru Bimbingan Penyuluhan (BP) untuk mengisi angket. Salah satu poin yang harus diisi adalah cita-cita kelak setelah dewasa.
Poin-poin pertanyaan sudah saya jawab semua. Tetapi ada satu yang membuat saya bingung. Saya bingung ketika menuliskan cita-cita. Sebagai anak yatim piatu saya tidak tahu apakah setamat SMP bisa meneruskan sekolah atau tidak. Saya juga tidak tahu apakah kakak-kakak saya mau membiayai kelanjutan sekolah sya atau tidak.
Berhubung angket harus segera dikumpulkan, maka kolom cita-cita saya isi dengan kalimat yang umum. Saya isi kolom cita-cita dengan kalimat yang cukup panjang, "Cita-citaku ingin menjadi anak yang berguna bagi nusa, bangsa, dan agama ..."
Selang beberapa hari setelah angket terkumpul, saya dipanggil oleh guru BP ke ruangannya. Saya takut bukan main karena saya merasa tidak berbuat kesalahan. Selama ini yang saya tahu anak yang dipanggil ke ruang BP adalah anak yang bermasalah. Anak yang sering bikin onar di kelas, sering terlambat masuk, sering bolos, atau masalah-masalah lainnya.
Saya merasa tidak ada masalah dengan sekolah. Betul saya tidak pernah menjadi bintang kelas tetapi saya juga tidak termasuk kategori anak yang bodoh di kelas. Ya sedang-sedang saja lah.
Maka, pada jam istirahat saya penuhi panggilan guru BP. Dengan perasaan dag dig dug, saya ketuk pintu ruangan BP. Bu Sulastri, yang mengampu guru BP sudah siap menanti kedatangan saya. Tak lama menunggu saya disuruh duduk, sementara Bu Lastri masih merapikan tumpukan kertas yang ada di meja kerjanya.
Saya menarik napas panjang untuk mengurangi ketegangan. Setelah duduk, Bu Lastri menanyakan beberapa hal dari yang bersifat pribadi hingga kebiasaan belajar di rumah. Pertanyaan intinya Bu Lastri ingin penjalasan tentang cita-cita yang saya tulis dalam angket. Plong lega perasaan saya!
Dalam hal cita-cita sebenarnya saya ingin menjawab yang pasti. Saya ingin menjadi guru. Tepatnya guru berstatus PNS. Tapi saya ragu dan malu. Mendengar jawaban itu, Bu Lastri tersenyum. Saya tidak tahu apa makna di balik senyumannya.
Namun setelah saya jelaskan panjang lebar Bu Lastri bisa memahami. Kemudian memberikan nasihat yang cukup banyak. Namun nasihat yang paling saya ingat, "Kalau Ingin Kaya, Jangan Menjadi PNS!" Apa maksud dari nasihat tersebut?
Ternyata nasihat Bu Lastri waktu itu baru bisa saya pahami setelah cita-cita saya benar-benar tercapai. Kodarullah, saya diangkat PNS tahun 1994. Tepatnya sebagai guru SD di daerah pegunungan Banjarnegara.