Mohon tunggu...
Herman R. Soetisna
Herman R. Soetisna Mohon Tunggu... -

Pelopor ergonomi industri terapan di Indonesia untuk peningkatan level K3, peningkatan produktivitas, peningkatan kualitas, dan peningkatan "quality of working life" ini -katanya- pernah bersekolah di Teknik Industri ITB, Université des Sciences Humaines de Strasbourg, dan Université Louis Pasteur, Strasbourg-France. Sekarang Om-G [G=Ganteng, hehehe jangan protes ya...], bekerja sebagai dosen di ITB dan Peneliti Senior di Laboratorium Rekayasa Sistem Kerja dan Ergonomi di ITB. Untuk yang ingin mengontak Om-G, silakan kirim e-mail via hermanrs@ti.itb.ac.id Wass, HrswG.

Selanjutnya

Tutup

Money

Membuat Iklim Investasi yang Kondusif untuk Sektor Hulu Migas

16 September 2016   16:59 Diperbarui: 16 September 2016   18:22 684
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Dulu Indoesia pernah menjadi net-exporter BBM, tetapi dengan berjalannya waktu, kita menjadi net-importer karena di satu sisi konsumsi bbm terus meningkat, tetapi di sisi lain liftingBBM nya terus menurun.

Kok ribut amat sih, ‘kan tinggal menurunkan konsumsi BBM dan menaikkan produksinya, beres, ‘kan? Lha ya itu, apa masyarakat mau menurunkan konsumsi BBMnya? Agaknya susah deh... Kalau begitu, kita tingkatkan saja produksi migasnya. Setuju! Dan inilah yang akan menjadi topik perbincangan kita.

Apakah lifting migas ini menurun karena cadangan migas di Indonesia memang sudah menurun? Kalau menurunnya sih pasti, karena sebagai sesuatu yang tidak terbarukan (non renewable), tentunya kalau migasnya diambil, cadangannya pun pasti akan menurun pula. Tetapi besaran “cadangan” tadi ‘kan hanya berdasarkan yang sudah ditemukan, bagaimana kalau ditemukan ladang-ladang migas baru? Nah kalau ditemukan ladang-ladang baru, cadangannya pun bertambah, ‘kan? Juga, untuk cadangan yang sudah ada (dari ladang-ladang migas yang sudah ditemukan), masalahnya adalah bagaimana caranya “mengangkat” cadangan tadi sehingga menjadi migas yang bisa kita pergunakan.

Jadi bila kita sederhanakan, pada dasarnya peningkatan lifting migas bisa dilakukan dengan dua cara:

  1. Meningkatkan kegiatan dan luasan eksplorasi migas untuk memperbesar kemungkinan  ditemukannya sumur-sumur migas baru.
  2. Meningkatkan prosentase migas yang bisa diambil dari sumur-sumur “tua” melalui campurtangan teknologi, misalnya melalui teknologi/pemakaian surfaktan.

Memangnya kenapa, sih, perusahaan-perusahaan hulu migas ‘tidak mau’ memproduksi migas sebanyak-banyaknya? Pada dasarnya mereka ‘kan pasti mau, kalau sudah memiliki sumur migas yang menghasilkan, artinya ya tinggal produksi. Kalau belum ya, harus dicari dulu (ini yang disebut sebagai “kegiatan eksplorasi”). Kalaupun harus melaksanakan kegiatan eksplorasi dulu sebelum berproduksi, kalau menguntungkan mah pasti mereka akan melakukannya, ‘kan? Ya iyalah... Artinya kalau sekarang agak tersendat, pasti “ada apa-apanya”...

Mari kita bedah, yuk... dari butir 1 dulu, baru setelah itu tentang butir 2.

Sesuai dengan prinsip ekonomi, perusahaan tentu menginginkan profit yang sebesar-besarnya, risiko usaha yang sekecil-kecilnya, dan kalau memungkinkan, keuntungan tadi diperoleh dalam tempo yang sesingkat-singkatnya.

Kiranya dapat dipahami bahwa di sektor hulu migas, kegiatan eksplorasi migas ini biayanya amat sangat  mahal sekali (orde-nya bisa ratusan milyar rupiah atau bahkan lebih, padahal migas yang dicari belum tentu ditemukan). Selain itu, waktu antara keluarnya uang (biaya investasi untuk bermacam-macam kegiatan eksplorasi) dan waktu pada saat perusahaan mulai menerima uang (dari hasil penjualan migas yang diproduksi) bisa berjarakbelasan tahun. Nah ‘mabok’nggak tuh, keluar uang ratusan milyar rupiah, padahal baru belasan tahun kemudian kita menerima rupiah pertama kita. Nah selain besaran nominalnya, di sini pun ada masalah yang memperparah keadaan tersebut, yaitu faktor “time value of money” karena nilai uang seribu rupiah pada hari ini tentu berbeda nilainya dengan nilai seribu rupiah pada tahun-tahun yang akan datang).   

Nah, sekarang kita bahas yuk, hal-hal utama yang sering menjadi masalah pada kegiatan industri hulu migas ini:

1. Luas Wilayah Kontrak Kerja Sama (KKS) yang Dibagi Menjadi Kecil-kecil

Sebelum sebuah perusahaan hulu migas melakukan kegiatan eksplorasi, perusahaan harus melalui tender untuk mendapatkan KKS di wilayah yang diminati. Dalam hal ini perusahaan harus menyatakan “janji” (komitmen) mengenai kegiatan yang akan dilakukan (misalnya melakukan kegiatan seismik di wilayah tersebut) dan “signature bonus” yang akan dibayarkan kepada Pemerintah, bila memenangkan tender.  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun