Mohon tunggu...
Olivia Armasi
Olivia Armasi Mohon Tunggu... Mengurus Rumah Tangga -

Peduli politik itu peduli terhadap sesama..... Nulis itu sulit, merangkai kata itu susah.... Mantan pelajar yang sedang belajar membaca, belajar komentar & belajar menulis..

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Evaluasi Tindakan & Strategi KPK dalam Pemberantasan Korupsi

3 Januari 2016   01:37 Diperbarui: 3 Januari 2016   08:34 2362
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, KPK diberi amanat melakukan pemberantasan korupsi secara profesional, intensif, dan berkesinambungan. KPK merupakan lembaga negara yang bersifat independen, yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bebas dari kekuasaan manapun.

KPK dibentuk bukan untuk mengambil alih tugas pemberantasan korupsi dari lembaga-lembaga yang ada sebelumnya. Penjelasan undang-undang menyebutkan peran KPK sebagai trigger mechanism, yang berarti mendorong atau sebagai stimulus agar upaya pemberantasan korupsi oleh lembaga-lembaga yang telah ada sebelumnya menjadi lebih efektif dan efisien. (sekilas KPK)

Sejak lahirnya KPK, pencapaian KPK hingga tahun ini perlu diapresiasi, berangsur-angsur indek persepsi korupsi (IPK) yang dirilis Transparancy Internasional dari tahun ke tahun mengalami peningkatan. Akan tetapi melihat besarnya dukungan serta harapan publik terhadap KPK disisi lain peningkatan hasil yang dicapai serasa lambat, maka langkah dan strategi KPK perlu dievaluasi.

Belum adanya peningkatan yang luar biasa, IPK yang dirilis Transparancy Internasional sebelum KPK dan setelah lahirnya KPK menunjukkan bahwa keberadaan KPK dengan kewenangan luar biasanya belum melaksanakan tugasnya secara maksimal.

Menjadi pertanyaan besar. Dengan langkah, metode yang biasa-biasa saja seperti strategi yang dilakukan KPK sebelum-sebelumnya, pencapaian Indonesia menjadi negara bebas korupsi butuh berapa ratus tahun? Jangan-jangan bisa lebih lama dari Penjajahan Belanda.

Di dalam Undang-undang KPK, wewenang dan tugas KPK seperti yang ditulis di website KPK :

  • Koordinasi dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi (TPK).

Jika melihat realita selama ini maka tugas ini belum dijalankan dengan baik. Tidak seharusnya muncul kasus cicak buaya jilid 1 jilid 2. Nampak adanya persaingan yang tidak sehat antar lembaga penegak hukum akibat lemahnya koordinasi.

Infrastruktur dan SDM KPK sangat terbatas, tidak adanya perwakilan KPK hingga ke daerah disisi lain infrastruktur dan SDM Kepolisian dan Kejaksaan lebih siap hingga tingkat Kabupaten. Koordinasi antar lembaga dalam semangat memberantas korupsi mutlak harus ditingkatkan. Seharusnya diperjelas batasan, pembagian, pelimpahan kasus-kasus TPK. Dari ribuan kasus yang berasal dari laporan masyarakat maupun kasus-kasus yang di temukan langsung oleh KPK tidak akan pernah mungkin diselesaikan semuanya sendiri. Dari sekian kasus, baru beberapa yang bisa diselesaikan oleh KPK. (disini)

Perlu dan pentingnya koordinasi antar lembaga, bukan semata-mata seremonial penandatanganan MOU yang diliput media akan tetapi koordinasi yang sebenar-benarnya, sinergi dan saling mengisi antar lembaga penegak hukum.

  • Supervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan pemberantasan TPK.

Kisah Cicak & buaya, yang terjadi justru saling menjatuhkan. Bagaimana mungkin KPK bisa melaksanakan tugas supervisinya? Seandainya tidak ada ego sektoral, tidak merasa paling berwenang dan pembagian kasus yang lebih jelas maka tugas KPK sebagai supervisor dapat dilaksanakan dengan efektif dan semestinya.

Supervisi KPK terhadap Kepolisian, Kejaksaan, Kehakiman sangat penting untuk mengembalikan kepercayaan publik terhadap lembaga-lembaga penegak hukum yang permanen. Semestinya KPK bisa aktif memantau, supervisi kasus-kasus yang ditangani Kepolisian/Kejaksaan. Seperti kasus Tindak Pidana Korupsi di Dirjen Bea Cukai yang muncul ke publik setelah Jenderal Sutarman dilantik menjadi Kapolri. Beberapa saat heboh menghiasi media bahkan diliput secara khusus di ILC. Kasus TPK Bea Cukai sengaja dipublikasikan setelah pelantikan. Seolah-olah Polisi telah berubah serius menangani Tindak Pidana Korupsi. Karena tugas supervisi KPK tidak berjalan semestinya maka kasus-kasus semacam itu berlalu begitu saja, menguap, sirna tidak ada kejelasan.

Pasca kasus di vonis incracht dan terdakwa menjadi narapidana yang ingin dicapai adalah efek jera. Disini, KPK juga perlu melakukan supervisi terhadap Kementrian Hukum dan HAM khususnya Lembaga Pemasyarakatan khusus Tipikor seperti di Suka Miskin Bandung, Kedung Pane Semarang, dll. Hal ini untuk mencegah terjadinya tahanan TPK bisa bebas kemana-mana, mendapatkan fasilitas super mewah, bebas menggunakan gadget. (Gayus Tambunan, Artalyta Suryani, dll). Dihukum kok serasa berlibur dan tidur di hotel.

  • Melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap TPK

Lagi-lagi terkait poin 1 dan 2, saking banyaknya kasus yang harus ditangani, harusnya untuk penindakan yang dilakukan KPK dibatasi hanya menangani kasus-kasus besar seperti Century, Petral, SKK Migas, BLBI.

Sejak dilakukan pembenahan sistim pengadaan melalui e-procurement oleh LKPP, Tindak Pidana Korupsi di sektor pengadaan barang/jasa pemerintah sangat jauh berkurang. Walaupun masih ada potensi kongkalikong dan KKN akan tetapi dengan adanya sistim pengadaan secara elektronik dapat diminimalisir. Apabila ada kasus-kasus TPK yang berhubungan dengan pengadaan barang/jasa sebaiknya di limpahkan ke Kepolisian / Kejaksaan. Seperti kasus pengadaan yang menjadikan RJ-Lino tersangka, Ratu Atut, Adiknya Ratu Atut, dll.

Kasus-kasus tangkap tangan yang berhasil dibongkar KPK menggunakan fasilitas penyadapan, jika bukan kategori kasus kakap semestinya juga dilimpahkan ke kepolisian atau kejaksaan. Misal seperti kasus OC Kaligis.

Idealnya bukan banyaknya kasus yang ditangani untuk menunjukkan prestasi kinerja KPK akan tetapi kualitas dan efek dari kasus tersebut. Sedikit kasus yang ditangani tidak apa-apa akan tetapi signifikan baik dari besaran nilai kerugian negara maupun kasus yang melibatkan pejabat tinggi negara di level nasional.

Anggaran KPK tahun 2015 sebesar Rp. 800 milyar. Selama tahun 2015 prestasi KPK berhasil menyelamatkan keuangan negara sebesar 198 milyar. Dari anggaran Rp. 800 milyar, 60% nya digunakan untuk untuk pos anggaran pencegahan. anggaran itu diperuntukkan berbagai kegiatan pencegahan. Kampanye roadshow di daerah, kampanye menggunakan media daring lewat website KPK, serta berbagai kampanye di jalan seperti spanduk, banner, baliho, modul serta sejumlah kendaraan. (sumber).

Jika melihat pos anggaran pencegahan yang begitu besar hampir 500 milyar untuk tahun 2015, padahal kita merasakan korupsi di Indonesia belum mengalami perubahan yang berarti, artinya selama ini tindakan pencegahan TPK yang dilakukan KPK belum efektif dan hasilnya jauh dari harapan. Perlu evaluasi, perbaikan tindakan, metode, cara dan strateginya.

Pencegahan itu mestinya dianalogikan seperti kita memelihara anjing galak untuk menjaga rumah. Jika yang dilakukan KPK dalam hal pencegahan hanya berkisar pada kegiatan kampanye, road show maka bisa disimpulkan, KPK seperti marketing yang sedang sosialisasi memasarkan barang. Bagaimana bisa efektif mengurangi tindak pidana korupsi jika yang dilakukan sekedar menghimbau.

Belajar dari penyelenggaraan pengadaan e-procurement LKPP yang berhasil meminimalisir terjadinya praktik kongkalikong dan KKN antara penyedia barang/jasa dengan pengguna anggaran maka sebaiknya hal tersebut di aplikasikan dan dikembangkan pada fokus program pencegahan KPK.

  • Melakukan monitor terhadap penyelenggaraan pemerintahan negara

Salah satu komponen survey Indek Persepsi Korupsi adalah persepsi publik terhadap penyelenggaraan Pemerintahan khususnya birokrasi perizinan. Monitoring/pengawasan penyelenggaraan Pemerintahan negara menjadi hal mestinya dilakukan secara maksimal. Kewenangan ekstra KPK yaitu penyadapan bisa dilakukan untuk monitoring perilaku birokrasi dari pusat sampai daerah untuk mecegah terjadinya pungli perizinan mulai dari izin prinsip, Izin Lokasi, HO, IMB, izin pertambangan, dll.

APBD Provinsi dan APBD Kabupaten Kota, 20-30% digunakan untuk belanja langsung dan 70-80% digunakan untuk belanja pegawai serta belanja rutin. Belanja langsung dilaksanakan menggunakan e-procurement, artinya KPK tidak perlu fokus di pos anggaran tersebut. Yang paling rentan terjadi TPK adalah pada pos belanja rutin diluar belanja gaji pegawai. Belanja barang-barang consumable seperti kertas, tinta, snack untuk rapat, perjalanan dinas, dll. Sepertinya terlalu kecil akan tetapi apabila diakumulasi belanja rutin dari semua lembaga, kementrian, SKPD yang ada diseluruh Indonesia maka akan sangat besar. Bisa mencapai berpuluh-puluh trilyun rupiah.

Untuk pencegahan penyalahgunaan belanja rutin, KPK perlu belajar dari Pemprov DKI yang melakukan e-budgeting, ketentuan transaksi non tunai, belanja menggunakan e-katalog. Dengan teknologi, maka potensi penyimpangan anggaran yang dilakukan kongkalikong antara eksekutif & legislatif lebih mudah terpantau.

Untuk tugas dan wewenang monitoring penyelenggaraan Pemerintahan, KPK perlu membuat/merancang sistim atau mendorong Pemerintah membangun sistim berbasis teknologi informasi yang seragam seluruh pengelolaan keuangan dari Pemerintah Pusat hingga daerah.

Meningkatnya Anggaran Pembangunan Infrastruktur & Dana Desa berakibat Potensi Tindak Pidana Korupsi semakin meningkat

Tantangan kedepan potensi TPK lebih beragam. Fokus pemerintah membangun infrastruktur, digelontorkannya anggaran Dana Desa masing-masing mendapatkan 1 milyar lebih tiap-tiap desa, Dana swakelola yang dikelola sekolah-sekolah. Otomatis menimbulkan potensi tindak pidana korupsi yang semakin meningkat.

Sudah saatnya masing-masing lembaga penegak hukum bersinergi bukan saling merasa paling berwenang, tidak saling berlomba-lomba tampil di media karena berhasil melakukan penindakan. Penindakan korupsi bukan untuk mencari kredit poin prestasi serta promosi jabatan akan tetapi sebagai aparat hukum memang seharusnya mempunyai semangat dan kewajiban membangun negara melalui pemberantasan korupsi.

Melihat figur-figur komisioner yang baru seharusnya ada secercah harapan. Pengalaman Agus Raharjo mengelola LKPP bisa di aplikasikan pada tugas Pencegahan. Pengalaman Saut Situmorang di bidang intelejen bisa diaplikasikan untuk kegiatan monitoring perilaku birokrat selaku penyelenggara negara. Latar belakang Basaria Panjaitan memaksimalkan koordinasi antar lembaga terutama kepolisian. Alexander Marwata monitoring penyelenggaraan/pengelolaan keuangan pemerintah.

Belajarlah dari Singapura, Denmark dan negara-negara dengan tingkat korupsi yang sangat kecil. Bagaimana mereka bisa meminimalisir Tindak Pidana Korupsi di negaranya. Apakah pencapaian negara bersih dari korupsi itu dilakukan dengan cara aksi cowboy (penindakan) atau pencegahan dengan membangun sistim yang baik seperti anjing galak penjaga rumah.

 

sumber gambar : okezone.com

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun