Mohon tunggu...
Olivia Herlina Hanggi
Olivia Herlina Hanggi Mohon Tunggu... GURU -

Wanita, Seorang Guru dengan 2 Orang Putra dan 2 Orang Putri.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Budaya Narkolema

7 Desember 2015   14:03 Diperbarui: 7 Desember 2015   14:08 332
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Dalam media cyber, kita kenal dengan adanya blog, website, portal berita dan media sosial. Saat ini media sosial merambah cepat, anak-anak usia sekolah dasar bahkan, sudah mempunyai facebook, twitter, instagram, dan media sosial lainnya yang bahkan kami orang tua tidak mengerti bagaimana cara mengontrol dan masuk lebih dalam ke media sosial yang mereka miliki. Karena ternyata selain ‘password’ dalam media sosial yang mereka miliki banyak ketidakjujuran juga pada ‘profile’ data diri si pemilik (akun palsu). Tanpa bimbingan dan arahan, anak-anak bisa mengakses dimana saja dan kapan saja media sosial yang akun atau kepemilikannya hanya mereka yang tahu. Kita para orangtua apalagi guru tak pernah bisa untuk mengkawal mereka setiap saat. Mungkin hanya bisa menjadi teman atau ‘followers’ yang terjebak pada hal-hal umum di dinding status anak-anak kita.

Dan ketakutan seorang guru yang juga orang tua seperti penulis, terhadap media sosial adalah maraknya video-video streaming dan photo-photo tak layak tampil beredar mengenai seks dan kekerasan berbentuk spam. Setiap hari ada saja satu bahkan lebih, video atau photo-photo berbau porno muncul, sehingga penulis sendiri seakan jengah bercampur jijik apabila muatan itu muncul. Lain lagi halnya kalau yang muncul adalah kekerasan, ada perasaan sedih dan tak tega muncul dalam relung hati. Sedih, melihat dan membayangkan bagaimanakah kalau yang menonton atau melihat adegan tersebut dikonsumsi oleh anak anak, yang tingkat kematangan phisiknya belum berbanding lurus dengan tingkat kematangan mentalnya atau bagaimanakah kalau ternyata anak kita yang mengalami kekerasan baik sebagai pelaku atau sebagai korban. Naudzubillahi min dzalik.

Media sosial ataupun dunia maya dengan segala bentuk spam yang bermuatan pornografi dan kekerasannya adalah sebagai corong pembentukan persepsi negatif yang terbangun dalam diri publik yang sebagian besar adalah anak-anak dan remaja. Anak-anak dan remaja yang selalu mengkonsumsi media cyber ini menganggap bahwa seks dan kekerasan adalah hal yang biasa karena hal yang tabu itu seringkali ditawarkan dalam bentuk iklan video ataupun photo. Apalagi berbagai kemudahan berupa media cyber, bisa diakses melalui tablet atau ponsel yang bisa dibawa-bawa kemana saja. Jemarinya menjadi terampil berselancar di dunia maya tanpa batas, tanpa arahan, tanpa pengawalan. Ancaman dari video dan photo-photo tentang seks dan kekerasan di media sosial yang bisa dipantau melalui ponsel menyebabkan kerusakan mental anak-anak.

Kerusakan akibat pornografi berdampak pada PFC, PFC adalah Pre Frontal Cortex. PFC adalah otak yang terletak dibagian depan dan hanya terdapat pada otak manusia saja. Dia bertugas untuk menentukan benar dan salah, membentuk kepribadian yang melahirkan salah satunya bentuk kesantunan, kejujuran, dan sikap malu. PFC Ini juga mudah sekali mengalami kerusakan. Dan salah satu penyebab kerusakannya adalah pornografi atau yang disebut juga Narkolema, narkotika lewat mata. Pada awalnya akan timbul rasa jijik, apabila setiap hari dalam media sosial disajikan setiap hari sebagai menu rutin maka akan muncul ketagihan untuk mencari porsi yang lebih dari hari sebelumnya.

Keterkaitan penggunaan media sosial sehari-hari dalam ponsel peserta didik kita membuat informasi-informasi vulgar menjadi konsumsi yang mendatangkan perilaku buruk di benak peserta didik kita. Inilah awal rusaknya tatanan kehidupan manusia. Ketika mereka melihat pornografi dan kemudian terangsang maka rentetan peristiwanya yang bisa terjadi adalah, yang penakut akan melakukan onani dan yang paling nekat akan memperkosa. Memperkosa perempuan dewasa tidak mudah, karena itu anak kecil jadi sasaran. Sedang yang punya pacar akan memaksakan kehendak dan bisa ditebak, merebak-luaslah aborsi, prostitusi, penularan penyakit kelamin gonorrhoea, syphilis, HIV-AIDS, terutama di kota-kota besar Indonesia berbarengan dengan tindakan kekerasan. Terkadang sebagai pendidik dan pengajar suka sedih, ketika mengajarkan pendidikan berkarakter dan kemudian anak-anak kita mulai belajar dan berjuang menjaga kehormatannya di usia remaja tapi contoh model pembelajaran hidup negatif malah diperlihatkan para pemimpin negeri ini dengan Pekan Kondom Nasional. Dengan mengirim duta kondom artis erotis yang pakaiannya minim, membangkitkan syahwat generasi muda dan mempromosikannya di hampir semua media. Ini kan jadi lelucon buat pendidikan berkarakter pada anak-anak kita.

Sedikit cerita pengalaman penulis pernah ke warnet untuk mengirim data lewat email. Dan menemukan anak-anak Sekolah Dasar sedang bermain dan berselancar didunia maya, dan asyik memainkan game lewat internet, si anak tersebut mengeluarkan atau porno menandakan kekesalannya memuncak ketika kalah main suatu permainan. Huft merinding. Dari manakah istilah itu dia dapatkan? Terkadang kata-kata yang bersifat mengancam pun keluar dari anak yang fisiknya masih terbungkus dengan seragam putih merah (contohnya gw mutilasi luh, maaf). Penulis juga pernah menjadi teman salah satu peserta didik, yang dalam statusnya menampilkan photo peserta didik sedang membawa samurai panjang. Dilain kasus, menampilkan status porno termasuk seperti menampilkan gambar alat vital laki-laki di statusnya. Di tempat terpisah pernah menampilkan gambar peserta didik sedang melakukan adegan pangku-pangkuan dengan lawan jenis, yang lebih seram (menurut saya) adalah ejekan porno terhadap guru yang dia tidak disukai.

Penulis teringat seorang Syekh Nawawi seorang ulama syiria penulis buku Arbain dan Riyadhush shalihin. Seorang ilmuwan yang cerdas tapi mengalami gagal paham pada penafsiran seputar hal seks. Pada usia 19 tahun, dimana usia tersebut mulai memasuki perguruan tinggi. beliau belajar menghapal kitab At Tanbih (kitab ringkasan masalah fiqh bagi pemula) dalam 4,5 bulan. Dalam dua bulan beliau menghapal, beliau membaca ‘wajib mandi’ itu karena masuknya ‘Hasyafah dalam farj’, beliau memahami kalimat tersebut (‘Hasyafah dalam farj’) dengan arti bunyi perut. Dan walhasil beliau selalu mandi air dingin setiap perutnya berbunyi (Tarikh Al Islam, Adz Dzahabi). Sebenarnya ‘Hasyafah’ itu berarti kelamin laki-laki, sementara Farj artinya kelamin perempuan.

Jadi pokok bahasan yang beliau pelajari itu adalah pembahasan tentang mandi junub setelah hubungan suami isteri. Bandingkan anak dan remaja cerdas saat ini yang punya banyak istilah tentang seputar hubungan seks. Bahkan dengan bahasa isyarat pun mereka paham sekali tentang masalah yang masih tabu untuk diperbincangkan itu. Pada zaman Ulama Nawawi hidup memang belum adanya media sosial apalagi pada masa itu pembicaraan tentang pornografi dan kekerasan mendatangkan aib jadi harus diungkapkan pada waktu dan tempat yang tepat. Sementara pada zaman modern saat ini komunikasi sudah menggunakan berbagai macam media. Tidak salah menggunakan medianya tetapi kalau menyimpang pemakaiannya juga akhirnya akan menjadi mudharat. Jadi secara langsung atau tidak, spam dalam media sosial yang ada mempunyai pengaruh terhadap pembentukan kesantunan, kejujuran dan sikap malu peserta didik baik dalam dunia nyata maupun dunia maya.

Harapan penulis, tulisan ini seperti semut yang membawa air untuk memadamkan api yang menjilat tubuh Nabi Ibrahim. Walau tak memadamkan apinya, tapi mudah-mudahan Allah SWT tahu posisi semut yang membantu perjuangan Nabi Ibrahim. Artinya bahwa usaha penulis ini adalah mudah-mudahan bentuk perlawanan dan kepedulian penulis terhadap pendidikan akhlak generasi muda. Karena tidak akan mungkin mampu melawan derasnya arus pornografi dan kekerasan dalam informasi media sosial, media elektronika, atau media cetak dan lain-lain dibanding usaha kecil seorang penulis. Wallahu a’lam bisshowab.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun