Mohon tunggu...
Olive Bendon
Olive Bendon Mohon Tunggu... Administrasi - Travel Blogger

Travel blogger yang senang menceritakan perjalanannya (dan kawan berjalannya) yang berkaitan dengan sejarah, gastronomi, medical tourism, kesehatan mental lewat tulisan. Memiliki hobi fotografi, menonton teater, dan membaca buku. Ikuti juga jejaknya di OBENDON.COM

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Tanda Waktu Berhenti di Museum di Tengah Kebun

18 September 2013   16:37 Diperbarui: 24 Juni 2015   07:43 229
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Selintas tak ada hal spesial yang menonjol saat melewati pagar rumah di Jl Kemang Timur No 66 ini. Layaknya rumah-rumah besar di kawasan Kemang, gerbang kayu yang menjadi pintu kedua menuju rumah utama tertutup rapat. Seorang pria berpakaian putih hitam melongokkan kepala lewat celah kecil di tengah gerbang,”Sudah punya janji? Tunggu sebentar ya mbak.” Klik. Pintu ditutup kembali dan kami dibiarkan berdiri di halaman luar yang disesaki berduabelas orang.

Kami memang datang 15 menit lebih awal dari waktu yang disepakati dengan pengelola musium untuk berkunjung. Ternyata di tempat ini aturan dan waktu sangat dijunjung tinggi. Jika tamu berkunjung lebih cepat dari waktu yang telah ditentukan, silakan menunggu hingga waktunya gerbang dibukakan. Namun bila sang tamu datang lewat semenit saja dari kesepakatan, mohon maaf bila anda diminta kembali mengatur janji di kunjungan berikutnya. Perfecto!

[caption id="attachment_289244" align="aligncenter" width="486" caption="Penanda Museum di Tengah Kebun yang tersembunyi di balik pagar (dok. koleksi pribadi)"][/caption] Sambil menunggu kami tak melewatkan waktu dengan berfoto-foto di depan tulisan Museum di Tengah Kebun. Sebuah penanda yang tak lazim karena tulisannya menempel di dinding pagar tembok samping bukannya dipasang di plang yang menghadap ke jalan raya. Harap maklum jika anda tak akan melihat  tulisan tersebut dari bibir jalan kecuali melongokkan kepala ke balik pagar.  Unique!

Museum di Tengah Kebun adalah rumah tinggal yang kemudian difungsikan juga sebagai musium oleh sang pemilik yang adalah kolektor barang-barang peninggalan bersejarah. Tak kurang dari 2,000 koleksi barangnya dikumpulkan selama lebih dari 40 tahun dari dalam maupun luar negeri. Ditata dan diberi nama seturut kehendak hati sang pemilik dan diletakkan menyebar di 17 ruangan dalam bangunan seluas 700m2 ini. Dari total luas lahan 4200m2, sisanya digunakan sebagai kebun. Itulah sebabnya kenapa dinamakan Museum di Tengah Kebun karena rumahnya dikelilingi oleh kebun.

[caption id="attachment_289245" align="aligncenter" width="486" caption="Lorong waktu nan hijau menuju musium (dok. koleksi pribadi)"]

1379496678164505553
1379496678164505553
[/caption] Siang itu kami diterima oleh bang Mirza Djalil, keponakan tuan rumah yang diberi tanggung jawab untuk mengelola musium. Demi menjaga isi rumah terutama  koleksi musium tak terkontaminasi debu dan kotoran yang dibawa dari luar; pengunjung wajib melepas alas kaki dan menggantinya dengan sendal yang telah disiapkan oleh pengelola musium. Alasan lain adalah, di dalam beberapa ruang terhampar karpet antik yang tidak boleh diinjak dengan sembarang alas kaki. Meski bang Mirza mengijinkan tetap mengenakan sandal, saat melintas dan hendak duduk di karpet kami spontan melepas sandal.

Di serambi luar pengunjung disambut beragam arca/patung dan topeng seperti patung upacara Ngaben (=upacara pembakaran jenazah di Bali) dari awal abad 20 yang masih utuh tergantung di pilar. Ada Yoni (=lambang kelamin wanita) yang ditaruh di taman atau duplikat patung Musa karya Michaelangelo dari abad 19 dan sebagainya.

Ruang Loro Blonyo adalah ruangan pertama yang akan kita jumpai ketika pintu rumah dibuka. Di ruangan ini pengunjung harus meninggalkan tas sebelum memulai berkeliling. Memasuki ruang tengah/Buddha Myanmar, pengunjung akan dibuat terkagum-kagum dengan arca Buddha Myanmar dari abad 17 yang duduk di sudut kiri ruangan. Konon sang Buddha telah dimantera oleh pendeta tertinggi buddha. Di sebelahnya ruang Dewi Sri/ruang makan yang tersambung ke dapur dengan beragam koleksi tertata rapi di meja dan lemari. Jangan kaget mendapati ada koleksi tempat minum Napoleon yang berasal dari abad 18 dipajang di tempat ini.

[caption id="attachment_289246" align="aligncenter" width="486" caption="Gagang pintu masuk rumah sekaligus musium (dok. koleksi pribadi)"]

1379496755335974426
1379496755335974426
[/caption] Ruangan berikutnya adalah ruang kerja yang disebut juga ruang Prasejarah, salah satu ruang yang sangat saya suka karena adem dan koleksi bukunya banyak. Masuk ke ruangan ini pengunjung disambut dewi Isis, Napoleon dan Julius Caesar yang berjejer di depan lemari kaca. Ketiga arca marmer tersebut berasal dari abad 19. Ruang kerja ini tersambung ke kamar tidur sang empunya rumah.

Kami pun diberi kesempatan bertatap muka dan mengucapkan salam kepada om Sjahrial Djalil pemilik rumah yang sedang beristirahat di atas ranjang dari abad 18 di ruang Buddha Thailand/kamar tidur pribadinya. Tentu kami tak lupa menghaturkan terima kasih kepada tuan rumah telah memperkenankan berkunjung dan berkeliling ke setiap sudut rumahnya yang memesona. Keluar dari kamar tidur, serambi Wajrapani menyambut di depan pekarangan yang dikomandoi Ganesa yang duduk gagah di tengah pekarangan berumput hijau dan diteduhi pepohonan.

Langkah berlanjut ke ruang Dinasti Tang dengan koleksi yang paling sering ditanyakan pengunjung ketika datang ke musium, cincin pelacur! Alamaaaaaak. Di ruangan ini saya justru penasaran dengan koleksi galian kubur yang antik. Kami lalu diajak menikmati serambi Etnografi I, ruang Imari Jepang yang menjadi kamar tidur bang Mirza, ruang Majapahit, ruang Dinasti Ming/kamar tidur tamu yang katanya gak pernah ditempati. Melewati serambi Etnografi II menuju ruang Kaisar Wilhelm dan terkagum-kagum dengan Cakrasamvara dan istrinya Vajravarahi dari Tibet awal abad 17.

Selama di dalam rumah, pengunjung tidak diperkenankan memotret barang-barang koleksi musium, kecuali di pekarangan depan. Namun kami beruntung karena tak henti-henti diminta berpose oleh bang Mirza di beberapa sudut, di ruang Singa Garuda/kamar mandi pribadi yang guedeeeeeee dan asri serta dilengkapi peralatan mandi peninggalan kaisar Jerman! Lalu di ruang Buddha Myanmar, ruang Prasejarah, ruang Majapahit, di pekarangan Ganesa hingga di luar pagar saat kami menanti jemputan di bibir jalan dokumentasinya lengkap. Satu pengalaman baru jadi model dadakan yang tak menolak untuk dipotret. Sepertinya kami adalah pengunjung idaman musium ini, meski kata bang Mirza; penghuni rumah bilang kami pengunjung paling heboh.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun