Mohon tunggu...
Olive Bendon
Olive Bendon Mohon Tunggu... Administrasi - Travel Blogger

Travel blogger yang senang menceritakan perjalanannya (dan kawan berjalannya) yang berkaitan dengan sejarah, gastronomi, medical tourism, kesehatan mental lewat tulisan. Memiliki hobi fotografi, menonton teater, dan membaca buku. Ikuti juga jejaknya di OBENDON.COM

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Berimaji di Pabrik Opium Salemba

16 Mei 2014   16:56 Diperbarui: 23 Juni 2015   22:28 148
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sabtu (10/05/2014) … mentari pagi mulai menyengat kala kami meninggalkan rumah makan cepat saji yang berpendingin di seberang stasiun Cikini. Hawa dingin berganti udara panas, mengiring langkah menyusuri gang sempit, berjalan di antara lapak pedagang di Pasar Ampium. Konon, asal kata ampium diambil dari kata opium yang dilafalkan oleh lidah penduduk setempat sebagai ampium.

Jalan ini bekas rel kereta yang menuju ke stasiun Salemba, nanti di depan masih tersisa jembatan kereta yang melintas di atas sungai Ciliwung,”tutur Mas Adit sembari menunjukkan posisi bantalan rel yang menggelembung di jalan yang melintas di tengah pasar yang kami lewati. Mas Adit, lengkapnya Aditya Dwi Laksana dari Kereta Anak Bangsa (KAB) yang sangat paham sejarah kereta api; pagi itu menemani kami blusukan di sekitar Cikini – Salemba.

[caption id="attachment_336416" align="aligncenter" width="486" caption="Suasana pagi di Pasar Ampium (dok. koleksi pribadi)"][/caption]

Pasar Ampium pagi itu lumayan ramai, kiri kanan penjual buah, sayuran, ikan, ayam, barang kelontong, tukang pangkas rambut serta anak-anak kecil yang berkeliaran di sekitar halaman rumah orang tuanya yang berhimpit di tengah gang sempit yang ditemui saat keluar dari pasar. Sesekali badan perlu sedikit diserongkan untuk berbagi ruang dengan warga yang sedang berbelanja di salah satu warung atau saat melintas di tengah sekelompok warga yang sedang bercengkerama di depan pintu rumahnya.

Langkah kami mendadak terhenti ketika di tengah-tengah gang ada warga yang sedang menggelar hajatan dan menutup badan jalan yang sudah sempit. Inilah romantisme hidup di dalam gang. Bila ada warga yang menggelar kenduri, para tetangga dan warga yang melintas diharapkan pengertiannya karena kenyamanannya terganggu sesaat. Keluar dari Gang Ampium menuju Jl Kenari, kami mengasoh sejenak di atas jembatan kereta api yang kini difungsikan sebagai jembatan penyeberangan orang (JPO).

[caption id="attachment_336417" align="aligncenter" width="486" caption="Warga melintas di atas jembatan kereta api yang kini beralih menjadi JPO (dok. koleksi pribadi)"]

14002087851937557827
14002087851937557827
[/caption]

Nahhhh, coba perhatikan dinding rumah ini,” lagi-lagi Mas Adit menunjukkan satu kejutan yang memesona mata.
Wooouuwwww …ini … ini…!”kehilangan kata melihat sisa bangunan stasiun Salemba yang kini menjadi dinding rumah petak warga.

Puas clingak-clinguk di depan pintu salah satu rumah warga, kami meneruskan langkah menuju Salemba. Tepat di seberang Museum MH Thamrin, kembali Mas Adit menunjukkan satu bukti peninggalan sejarah kereta api yang masih tertancap di bibir Jl Kenari, tiang pancang perlintasan kereta api. Satu jalur masuk ke gudang buah (kini Museum MH Thamrin) dan satu lagi ke pabrik opium. Ahaaaa … usai Kecanduan di Corong Opium, melongok Pabrik Opium menjadi pelengkap perjalanan menyusuri jejak opium.

[caption id="attachment_336418" align="aligncenter" width="486" caption="Dinding stasiun Salemba yang masih tersisa (dok. koleksi pribadi)"]

14002088301776402122
14002088301776402122
[/caption]

Tanpa mengisap opium imaji mulai berkelana pada catatan James R. Rush yang tertuang dalam Candu Tempo Doeloe, Pemerintah, Pengedar dan Pecandu 1860 – 1910. Potongan-potongan kisahnya serasa bertaburan di udara melayang satu per satu kala kaki melangkah ke pelataran pabrik opium pagi itu.

Jauh sebelum Belanda menjejak di Jawa, opium telah menjadi komoditas penting dalam perdagangan regional. Pada abad ke-19 para saudagar Tionghoa menguasai kantung-kantung opium di pesisir utara Jawa. Pengepak demikian sebutan mereka, mau membayar pajak yang cukup tinggi kepada pemerintah Belanda demi mendapatkan hak istimewa selama jangka waktu tertentu untuk memonopoli usaha dagang opium.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun