Mohon tunggu...
Olive Bendon
Olive Bendon Mohon Tunggu... Administrasi - Travel Blogger

Travel blogger yang senang menceritakan perjalanannya (dan kawan berjalannya) yang berkaitan dengan sejarah, gastronomi, medical tourism, kesehatan mental lewat tulisan. Memiliki hobi fotografi, menonton teater, dan membaca buku. Ikuti juga jejaknya di OBENDON.COM

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Ubaidilah Muchtar, Multatuli Abad 21 dari Ciseel

24 Januari 2016   01:50 Diperbarui: 25 Januari 2016   06:09 295
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pagi sekali. Di luar rumah masih sepi. Saya bergegas beranjak dari tidur dan pergi ke masjid untuk shalat subuh bersama teman-teman. Usai shalat, kami lanjut jogging dan yoga di pinggir kali Cipari bersama mas Sigit Susanto. Setelah berolah raga, saya pulang mandi, berganti pakaian dan bersiap-siap. Hari ini, kami akan menyusuri jejak Multatuli. Sebelum berangkat, tak lupa saya sarapan seadanya agar tidak mabuk; nasi putih dan garam serta teh pahit. Saya pamit pada Ibu, dan bergabung dengan teman-teman di Taman Baca Multatuli. - [Catatan Nurdiyanta, 15 tahun, Kelas IX SMPN Satap 3 Sobang]

Catatan di atas disadur dari Rumah Multatuli: Kumpulan Catatan 2011Menyusuri Jejak Multatuli, sebuah buku berisi kumpulan catatan perjalanan anak-anak Taman Baca Multatuli (TBM), Ciseel serta peserta tamu yang mengikuti kegiatan Sastra Multatuli 2011 di Ciseel (13 - 15 Mei 2011) lalu.

[caption caption="Ubaidilah Muchtar, Multatuli Abad 21 dari Ciseel (dok. Ubaidilah Muchtar)"][/caption]

Ciseel adalah sebuah kampung di Desa Sobang, Kecamatan Sobang, Kabupaten Lebak, Banten. Kalau dengan sengaja membuka peta untuk mencari tahu letaknya, nama kampung itu tak akan terlihat karena namanya tak tercantum di sana. Lalu, apa hubungannya Ciseel dengan nama besar Multatuli?

Multatuli adalah nama pena Eduard Douwes Dekker, seorang  pegawai pemerintah Belanda yang pada 21 Januari 1856 menjejak di Rangkas sebagai Asisten Residen Lebak. Pada 1860, dia menggemparkan dunia saat meluncurnya Max Havelaar ke hadapan publik. Novel yang lahir dari kekecewaan dan perlakuan yang diterimanya dari pemerintah Hindia Belanda karena melaporkan kinerja kepala daerah yang berlaku sewenang-wenang kepada rakyat. Douwes  Dekker meninggal pada 19 Februari 1887.

1 Februari 2009, seorang anak muda yang sebelumnya pengajar di SD Al-Azhar Syifa Budi Cibubur, menerima panggilan untuk mengabdikan diri sebagai pengajar di Kabupaten Lebak. Dirinya ditempatkan di SMPN Satu Atap 3 Sobang. Waktu itu, listrik belum menjamah tempatnya mengajar, ia baru berkedip-kedip 3 (tiga) tahun kemudian pada 23 Agustus 2012. Untuk menggapai Ciseel, dirinya mengendarai motor dari Depok. Dari jalan yang mulus, beraspal dan sobek di sana sini sampai ke jalan kampung yang hanya dilapisi pecahan batu gunung, melewati ceruk lembah yang terkadang berkubang dengan lumpur. Namun, keadaan tak bisa memaksanya undur. Keluarga adalah penyemangat, anak-anak Ciseel butuh dirinya.

Satu pagi, di bulan keenam tugasnya, dirinya bangun tak berdaya. Setengah badan dari pangkal paha hingga ujung kaki LUMPUH. Berkali dicobanya bangun, berulang kali dirinya jatuh. Untuk ke kamar mandi, dia harus dipapah orang lain. Saat itu, dirinya masih menumpang tinggal di sekolah. Dia dibawa keluar kampung, dibopong dengan badan dibebat kain ke badan pak Dadang, rekannya mengajar dan diantarkan pulang dengan dibonceng motor ke rumah keluarganya di Depok.

[caption caption="Anak-anak dari Ciseel sedang membaca di Taman Baca Multatuli (dok. Ubaidilah Muchtar)"]

[/caption]

Apa yang terjadi dengan pengajar muda ini? Usut punya usut, rupanya pola makannya salah. Selama 6 (enam) bulan di  sana, setiap hari dirinya mengkonsumsi daun singkong, ikan asin dan kawan-kawannya membuat kadar asam urat dalam darahnya tinggi. KAPOK? Tidak, anak muda ini tak kenal menyerah. Setelah berobat dan beristirahat selama seminggu di Depok, dia kembali ke Ciseel.

3 (tiga) bulan berikutnya, tepatnya 10 November 2009, dia mendirikan sebuah taman baca yang diberi nama Taman Baca Baralea (baralea artinya bersama). Nama ini hanya bertahan 2 (dua) minggu, lalu berganti menjadi Taman Baca Multatuli (TBM) yang digunakan sampai hari ini. Kenapa Multatuli? Sebagai pengingat untuk mewarisi semangat dan jiwa sosial serta kepedulian Multatuli pada kehidupan rakyat kecil khususnya masyarakat Lebak. Karenanya, di TBM ada ragam kegiatan yang diselenggarakan untuk membangkitkan minat baca anak-anak seperti Reading Group Max Havelaar, Reading Group Saija dalam bahasa Sunda, belajar bahasa Inggris, dua minggu sekali ada pemutaran film Max Havelaar, menulis buku harian, dan puncaknya adalah Ciseel Day: kegiatan tahunan memperingati hari lahir Multatuli.

Saya menikmati bacaan berbau sastra seperti Max Havelaar meski sebagian besar teman memandang saya aneh jika sudah terlihat asik dengan buku sejenis itu yang dianggap terlalu serius. Bagaimana dengan anak 10 (sepuluh) tahun? Iseng, saya bertanya padanya, apakah Max Havelaar tidak terlalu berat untuk anak usia SD dan SMP?

Tidak berat sebab dibaca secara pelan-pelan. Dijelaskan kata demi kata, kalimat demi kalimat. Kalau perlu diperagakan, diperagakan. Kalau perlu visualisasi, divisualisasikan. Maka di sana ada caping, alu, lesung, ikat kepala, kayu manis, yang juga ada di dalam novel Max Havelaar. Jadi pertemuan 1-1,5 jam hanya menyelesaikan pembacaan 3-4 halaman. Berat, jika membacanya ingin selesai semalam dan di dalam kamar. Ini membaca pelan-pelan. Tamat pertama 11 (sebelas) bulan. Tamat kedua 2,5 (dua setengah) tahun. Sampai sekarang sudah pertemuan ke-158 sejak 23 Maret 2010.

[caption caption="Reading Max Havelaar kadang dilakukan di luar ruang sembari bertamasya agar anak-anak tak bosan (dok. Ubaidilah Muchtar)"]

[/caption]

Dia anak muda yang tidak kenal lelah. Yang memiliki motivasi tinggi, yang tak pernah kenal kata menyerah, yang tak dikalahkan oleh keadaan, yang tetap mengayun langkah ke depan untuk anak-anak penerus jejak masa. Satu setengah abad berlalu; semangat Multatuli tak pernah mati. Ia hidup di dalam jiwa anak-anak kampung Ciseel yang bersetia membaca Max Havelaar di bawah bimbingan Ubaidilah Muchtar yang akrab disapa anak-anak didiknya, Pak Guru Ubai. Saya lebih senang menyapa anak muda yang lahir di Pamanukan 36 tahun lalu ini dengan panggilan, Kang Ubai. Dia yang tak pernah lelah menumbuhkan dan membangun semangat literasi di dalam jiwa anak-anak Ciseel. Meski jauh dari jangkauan modernitas dan tak banyak dikenal publik, tapi anak-anak di kampung tersembunyi itu sangat akrab dengan literasi dunia. Pada 2014, Kang Ubai menerima anugerah Nugra Jasadarma Pustaloka dari Perpustakaan Nasional sebagai apresiasi atas kontribusinya mengembangkan perpustakaan dan minat baca di daerah.

Ketika saya bertanya tentang mimpi yang ingin diraih bersama anak-anak Ciseel, mimpinya sangat sederhana. Dia hanya ingin lebih banyak anak Ciseel yang melanjutkan pendidikan ke jenjang SMA. Dia pun masih ingin mewujudkan cita-cita pertamanya saat menjejak di Ciseel, membuat koperasi untuk warga. Sedang untuk Multatuli, dirinya berharap semua anak usia sekolah di Lebak membaca Max Havelaar. Menjadi bacaan wajib anak SMP dan SMA di Lebak. Dari Lebak menyebarkan virus Multatuli hingga se-Banten bahkan se-Indonesia, membaca Max Havelaar.

Usai kegiatan Sastra Multatuli, keseharian Ciseel kembali berjalan seperti biasa demikian pula kegiatan di TBM. Yang berbeda adalah, kesan, kenangan dan kebersamaan yang tertinggal dalam hati anak-anak Ciseel yang menjadi penyemangat mereka mengisi hari menyambut esok. Dalam catatannya Nurdiyanta menuliskan rasa kangen yang merambat di hati.

[caption caption="Mereka Akrab dengan Max Havelaar (dok. Ubaidilah Muchtar)"]

[/caption]

Hari mulai gelap, ternyata perjalanan menuju Cikadu sudah lewat maghrib. Kami sempat berjalan bersama pak Erlang dan bu Ade sampai Cilulumpang. Mereka naik motor. Kami berbarengen dengan teman-teman tapi pak Ubai dengan kawan-kawannya  masih di belakang. Setelah beberapa menit, kami sampai di Ciseel. Di sana sudah ramai orang berkumpul ingin menonton film Max Havelaar.

Aku pulang ke rumah untuk mandi sebelum kembali ke lapangan untuk menyaksikan acara. Sampai di rumah aku menangis. Ibu dan kakak perempuan aku heran kenapa aku menangis. Aku tidak malu mengakui bahwa aku kangen dengan kawan-kawan pak Ubai yang baru saja pulang.  Aku ingin mengirim surat untuk mereka, untuk mbak Endah dan mbak Esther.

Matahari semakin meninggi. Saya menutup buku Rumah Multatuli yang dikirimkan oleh Kang Ubai pertengahan 2012 sekembali saya menyusuri jejak Multatuli ke Rangkas pada awal tahun yang sama. Teringat sebuah janji, sebuah harap yang selalu berkobar di dalam hati; satu hari nanti langkah ini akan menggapai Ciseel untuk bersua, berbincang, belajar menulis dan bermain bersama anak-anak Multatuli.  Janji yang menuntut untuk diwujudkan, segera, saleum [oli3ve].

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun