Mohon tunggu...
Olive Bendon
Olive Bendon Mohon Tunggu... Administrasi - Travel Blogger

Travel blogger yang senang menceritakan perjalanannya (dan kawan berjalannya) yang berkaitan dengan sejarah, gastronomi, medical tourism, kesehatan mental lewat tulisan. Memiliki hobi fotografi, menonton teater, dan membaca buku. Ikuti juga jejaknya di OBENDON.COM

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Ketika Pejalan Kaki Semakin Terpinggirkan

26 Maret 2011   22:48 Diperbarui: 26 Juni 2015   07:24 344
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_98444" align="aligncenter" width="640" caption="Ilustrasi/Admin (KOMPAS.com)"][/caption] Sebagai seorang yang gemar berjalan kaki, saya suka sebel ketika menemui tak ada jalan khusus yang diperuntukkan bagi pejalan kaki. Apalagi jika jalan itu cukup ramai, padat, dan berada di kawasan pemukiman yang mewah pula. Sempat berpikir mungkin saya yang telah salah memilih untuk berjalan kaki di kawasan ini; jangan-jangan developer-nya memang punya konsep membangun kawasan pemukiman khusus untuk pengendara motor. Lalu, saat kaki melangkah memasuki kawasan itu terlihat rumput yang seharusnya hijau di tepi jalan utama di bagian tertentu mengering. Bukankah itu pertanda ada aktifitas yang berulang di bagian tersebut yang meninggalkan bekas sehingga membentuk belahan seperti rambut di kepala berbelah tengah ? Dengan meminta maaf kepada rumput dan bumi, terpaksa ikut menyumbang jejak kaki di atasnya. Mungkin perlu dibuat satu papan khusus berbunyi "Silahkan menginjak rumput", sehingga pejalan kaki tidak ragu untuk melangkah dan harus tega menginjak rumput. [caption id="attachment_98423" align="aligncenter" width="300" caption="rumput ditanam untuk diinjak-injak?"]

13011759941613184891
13011759941613184891
[/caption] Pikiran yang sama muncul ketika hendak naik transjakarta di suatu tempat pemberhentian yang tak jauh dari kawasan pemukiman mewah itu. Untuk mencapai pemberhentian bis transjakarta terdekat, terlebih dahulu mesti naik mikolet dari depan pemukiman tadi. Sungguh terlalu, mungkin karena jalannya tidak terlalu lebar di sini tidak disediakan tempat penyeberangan khusus untuk pejalan kaki. Setelah tengok kanan-kiri melihat dan memperhatikan bagaimana cara calon penumpang lainnya menuju ke tempat pemberhentian bis, akhirnya ikut menyeberang dengan hati-hati di keramaian lalu lintas. Kalau hari biasa mungkin lebih gampang menyebrangnya karena jalanan lebih padat, sehingga bisa berjalan diantara kemacetan. Berbeda di hari libur, pengendara motor membawa kendaraannya lebih kencang. [caption id="attachment_98425" align="aligncenter" width="300" caption="sisi bus untuk pejalan kaki ?"]
13011772601688040495
13011772601688040495
[/caption] Ternyata kalau sudah "merasa aman", menyeberanglah di tengah-tengah keramaian lalu berjalan di samping bis transjakarta yang antri mengangkut penumpang. Namun, harus tetap waspada karena jalannya di tengah lalu lintas yang ramai. Itu baru sebagian contoh kalau pejalan kaki tidak terlalu diperhitungkan di negeri ini. Di beberapa tempat pedestrian diserobot sebagai lahan parkir kendaraan bermotor. Jikalau musim hujan, pejalan kaki dilatih untuk mengeluarkan jurus menghalau semprotan air dari ban yang bersentuhan dengan genangan air kotor di jalan. Masih banyak yang memilih berjalan kaki menuju tempat kerja, sekolah, pemberhentian bis atau sekedar menikmati lingkungan. Oleh karena itu, masih perlu perhatian untuk disediakan sarana penunjangnya juga. Let's go green, mari injak yang hijau! [olive]

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun