Mohon tunggu...
Okti Nur Risanti
Okti Nur Risanti Mohon Tunggu... Penerjemah - Content writer

Menulis adalah salah satu upaya saya dalam memenuhi misi mandat budaya.

Selanjutnya

Tutup

Foodie Pilihan

Kulineran Solo vs Yogya

10 September 2019   22:28 Diperbarui: 11 September 2019   11:44 209
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Aneka nasi bungkus (Dokpri.)

Beberapa kali makan di Yogya, saya merasa kuliner Solo jauh lebih unggul dari kuliner Yogya, dipandang dari segi harga maupun rasa. Konteks kuliner yang saya maksud di sini adalah jenis kuliner street food, tradisional, dan makanan khas jawa. 

Yang termasuk resto di pusat perbelanjaan, bermerk dagang besar, fast food, franchise, western, maupun resto-resto kelas internasional tidak termasuk dalam pembahasan ini.  

Kenapa membandingkan kuliner Solo dengan Yogya?

Pertama, Solo cukup "dekat" dengan Yogya sehingga pengalaman kulineran saya di Yogya cukup banyak dibanding dengan pengalaman kuliner di kota lain. 

Kemudian, masyarakat Jawa di kedua kota ini punya akar, konteks budaya, dan selera yang tergolong sama, sehingga cukup "adil" untuk dibandingkan. Jeruk dengan jeruk, seperti itulah. 

Kalau dibandingkan dengan Jakarta, Semarang, atau Surabaya, misalnya, sudah tentu Solo memiliki banyak perbedaan dengan kota-kota tersebut, baik dari segi budaya, cita rasa, harga, selera, maupun jenis makanan. Jadi, perbandingan dilakukan karena cenderung ada banyak kesamaan di antara kedua kota ini, dibanding dengan kota atau daerah lainnya.

Nah, kembali ke pernyataan awal saya tadi. Sebagai contoh, jika kita datang ke warung bakmi Jawa di pinggir jalanàn Solo dan  dan sekitarnya, kita bisa makan seporsi bakmi jawa dengan kaldu dan suwiran ayam kampung yang nyamleng dengan harga sekitar 14 -- 17 ribu saja. 

Di Yogya, paling sedikit kita harus mengeluarkan uang 25 ribu rupiah untuk makanan yang sama, tapi dengan rasa dan porsi yang kurang memuaskan. Untuk menikmati bakmi jawa yang enak, kita harus merogoh kocek lebih dalam. 

Itu sudah saya dan suami alami beberapa kali. Lebih tingginya harga makanan di Yogya ini tentu tak lepas dari kondisi Yogya sebagai daerah destinasi wisata dan pendidikan, serta dengan penghasilan rata-rata warganya yang lebih tinggi dibanding Solo.

Demikian juga kasusnya dengan mie ayam dan bakso. Ada banyak warung mie ayam dan bakso (baik versi Wonogiri atau Chinese) di Solo yang enak, bahkan yang letaknya di warung kaki lima sekali pun. 

Rata-rata satu orang di Solo bisa menyebutkan 5 sampai 10 tempat untuk makan mie ayam atau bakso yang enak dengan harga lumayan murah untuk dipromosikan. Sementara di Yogya, rasanya agak sulit untuk melakukan hal yang sama.

Nah, terkhusus untuk Chinese food, Solo memang jelas lebih unggul dari Yogya. Saya kurang tahu sebabnya, tapi mungkin terkait dengan sejarah, komunitas, dan jumlah pedagang makanan Chinese di Solo yang sangat berbeda dari Yogya. 

Ada lebih banyak komunitas Tionghoa di Solo dibanding di Yogya, yang sedikit banyak pasti berpengaruh dalam pengembangan resto dan makanan Chinese yang ada.

Sementara, untuk mie ayam dan bakso lokal sendiri, Solo punya keunggulan terkait dengan kedekatan wilayahnya dengan Wonogiri, yang notabene memang jadi daerah penghasil pedagang mie ayam dan bakso di seluruh Indonesia. 

Alhasil, ada banyak sekali warung bakso dan mie ayam murah meriah dan harga merakyat a la wonogiri di Solo.

Sekarang, soal jenis makanan tradisional yang dimiliki. Yogya umumnya terkenal dengan gudeg, bakpia, bakmi jawa dari Gunung Kidul, tiwul. Apa lagi? Mungkin ada lainnya yang belum saya sebutkan, tapi saya tidak banyak tahu. 

Sementara, Solo punya gudeg (yang berbeda dari gudeg Yogya), nasi liwet, selat solo, sate kere, timlo solo, pecel ndeso (pecel dengan nasi merah dan sambal wijen), cabuk rambak, bakmi thoprak, tahu kupat, sosis solo, bakmi acar, mie kopyok, sate buntel, mentho, dan soto kwali. Asing dengan nama-nama itu? Sekali waktu jika memiliki kesempatan untuk berkunjung ke Solo, cobalah makanan-makanan tersebut. 

Yogya memang lebih unggul untuk urusan destinasi wisata, tapi untuk urusan wisata kuliner, kota Solo rasanya lebih punya banyak keseruan untuk dicicipi.

Banyaknya jenis makanan tradisional yang dimiliki Solo mungkin disebabkan karena sejarah perdagangan yang maju di kota Solo sejak dulu, di mana budaya membeli makan dari para pedagang luar mempengaruhi budaya jajan warga Solo. Selain itu, konon kedekatan Kraton Solo dengan Belanda juga berpengaruh dalam terciptanya beragam jenis makanan perpaduan barat dan Jawa. Awalnya, makanan perpaduan ini dikembangkan dari dalam dapur kraton, tetapi lama kelamaan, resep dari dalam dapur kraton itu sampai juga ke tengah masyarakat, dan kemudian dikembangkan sesuai dengan lidah dan selera warga. Selat dan sosis solo adalah contoh dari perpaduan selera barat dan Jawa ini. Sementara, kraton Yogya yang tidak memiliki kedekatan dengan Belanda, pada akhirnya menjadi lebih firm dengan selera tradisional yang terlihat dari jenis makanan khas yang dimilikinya.


Tahu istilah keplek ilat? Itu adalah istilah khas untuk orang Solo yang terkenal suka jajan. Dan memang, sampai sekarang budaya keplek ilat atau gemar jajan ini sangat terasa di kota Solo. 

Hampir setiap orang di Solo suka jajan dan membeli makan di luar, baik secara perorangan maupun bersama keluarga. Kita tidak akan asing menemui fenomena ini setiap hari di Solo, mulai dari pagi hingga dini hari. 

Orang Solo juga terkenal suka menjamu tamu dengan jajan di luar atau membeli makanan dari luar. Itu sebabnya mengapa ada lebih banyak warung dan kedai makan yang bertebaran di Solo, yang bisa kita lihat di sepanjang jalan dan wilayah.

Berbeda dari Solo, masyarakat Yogya justru lebih suka mengembangkan budaya makan di rumah. Kecuali para perantau yang berkuliah di Yogya, orang Yogya rata-rata tidak suka jajan dan membeli makan di luar. 

Bahkan, ketika ada sanak saudara dan kerabat yang datang, mereka lebih suka dan bangga bila menghidangkan hasil masakan dari dapur sendiri kepada tamu. 

Dari segi ekonomi, tentu saja budaya masyarakat Yogya jauh lebih ekonomis dibanding masyarakat Solo, karena memasak makanan sendiri tentu jauh lebih hemat dibanding kebiasaan jajan di luar.

Lain halnya jika kita berbicara tentang makanan fusion atau western. Yogya mungkin lebih unggul dari Solo, dengan banyaknya wisman, ekspat, dan mahasiswa perantau yang ada di sana. Juga warmindo. 

Rasanya, saya masih jarang melihat warmindo di Solo, bahkan di seputaran kampus. Sementara di Yogya, dengan predikat sebagai kota pelajar dengan banyak kampus dan sekolah, warmindo ini jadi bertebaran di mana-mana. 

Buat anak-anak kuliahan dan pelajar, warmindo ini tentu jadi salah satu pilihan yang mereka sukai dan sesuai dengan selera, baik perut maupun kantong.

Namun, selain perbedaan-perbedaan itu, tentu ada juga persamaan antara Yogya dan Solo yang sulit diperbandingkan, yaitu untuk topik warung hik dan teh. 

Baik di Solo maupun di Yogya, hik masih menjadi pilihan yang laris manis untuk didatangi. 

Selain murah meriah dan ada di mana-mana, tidak ada yang bisa mengalahkan nikmatnya jagongan di hik sembari menikmati wedangan dengan ditemani aneka nasi bungkus dan gorengan. Ketika tanggal tua datang, hik sudah tentu jadi tempat terbaik untuk didatangi.

Lalu, soal teh. Teh di Yogya dan Solo, meski berbeda racikan dan merk, tapi teh yang diminum di kedua kota ini sama-sama enak. Berbeda dengan daerah lainnya yang kurang kental dengan budaya minum tehnya, teh di Yogya dan Solo berciri Nasgitel. 

Panas, legi, kentel, plus sepet. Jika kita terbiasa minum teh di Solo atau Yogya, maka ketika mencoba minum teh di tempat lain, rasanya akan jadi beda sekali. Tidak enak, hambar, tidak berasa teh. 

Apalagi, orang Solo atau Yogya rata-rata suka membuat teh tubruk dengan formula tertentu, bukan dengan teh celup apalagi berupa teh bening. Di mana pun kita menikmati wedang teh di Solo atau Yogya, tehnya sudah pasti tidak mengecewakan.

Gimana, jadi penasaran untuk jajan ke Yogya dan Solo dan membandingkan kulinernya? Kalau ya, saran saya jangan asal percaya dengan review situs atau media sosial. 

Bertanya langsung ke orang Yogya dan Solo seringnya membawa hasil yang lebih memuaskan. Informasi yang dimiliki orang lokal biasanya justru menambah wawasan kita untuk hal-hal lain yang tak tertulis di review, plus relatif lebih valid.  

Salam!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Foodie Selengkapnya
Lihat Foodie Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun