Mohon tunggu...
Okti Nur Risanti
Okti Nur Risanti Mohon Tunggu... Penerjemah - Content writer

Menulis adalah salah satu upaya saya dalam memenuhi misi mandat budaya.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Yang Jadul yang Keren

11 Juni 2019   21:23 Diperbarui: 13 Juni 2019   23:17 1555
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemeran Lupus | Kolase Tribunnews.com

Bener. Itu bukan sekadar jargon asal, komentar miring karena tak suka kekinian, atau sekadar sikap yang anti-mainstream. Buat saya, (beberapa hal yang) jadul itu memang keren.

Bukan karena saya orang jadul loh, yang lahir pada tahun 70-an, termasuk dalam generasi x, dilabel digital immigrant, atau serangkain atribut lainnya yang menyebabkan saya suka pada yang jadul-jadul.

Well, masuk akal juga sih, karena pada dasarnya manusia juga dipengaruhi oleh situasi atau semangat zamannya ketika bertumbuh. Tapi, bukan hanya karena itu saya suka hal yang jadul.

Saya suka beberapa hal jadul karena itu punya nilai-nilai yang tidak dimiliki oleh kekinian. Hal-hal yang lebih bermakna, lebih dalam, lebih berkualitas, punya arti, hangat, meski mungkin lebih sederhana.

Bukan berarti segala sesuatu yang dari zaman now itu lebih buruk dan jelek. Tapi, dalam beberapa hal, hal-hal jadul itu memang lebih unggul dan punya nilai lebih.

Apa sih kerennya jadul?


Banyak. 

Berikut sepuluh hal yang menurut saya keren karena jadul.

Pertama, musik jadul, terutama dari era '80 dan '90-an. Bagi saya yang tumbuh dengan musik era segitu, tidak ada yang bisa mengalahkan musik jadul. Bon Jovi, Whitney Houston, Debbie Gibson, NKOTB, Toto, GNR, Chicago, Bryan Adams, Richard Marx, U2, No Doubt, BSB, Oasis, TLC, Boys II Men, Cranberries, Phil Collins, Sting, Lionel Richie, Def Leppard, Stevie Wonder, Michael Jackson, Janet Jackson, Mariah Carey, dsb, dst.

Masih panjang lagi nama penyanyi atau band yang bisa saya tambahkan di sana, termasuk penyanyi/band Indonesia, seperti Vina Panduwinata, Ruth Sahanaya, Elfa's Singer, Kahitna, S07, Dewa 19, Slank, Chrisye, dll.

Buat saya, musik era '80-'90 an itu asyik, unik, enak, evergreen, dan juara. Sampai sekarang pun saya masih suka mendengarkan lagu-lagu dari era itu.

Tidak seperti musik dan penyanyi era sekarang yang easy come, easy go, musik '80-'90an itu long lasting dan unforgetable.

Kedua, rumah dan bangunan jadul. Buat saya, rumah jadul, apalagi yang bergaya kolonial itu keren abis. Selain terlihat megah, bangunan dan rumah jadul biasanya mengandung materi bangunan yang awet dan berkualitas.

Selain itu, bangunan jadul juga punya gaya yang sangat khas. Pintu klasik, jendela tinggi dan lebar, plafon tinggi, ubin tegel, dan teras besar adalah hal-hal yang sudah jarang dimiliki rumah pada zaman sekarang.

Sayang sekali, jarang ada orang yang mau mempertahankan rumah bergaya jadul, dan lebih suka membongkarnya mengikuti tren bangunan terkini. Padahal, rumah bergaya jadul itu rata-rata unik, kokoh, dan cantik dari segi estetika.

Ketiga, film jadul. Buat saya yang jadi penggemar film drama, komedi, romance, dan cerita klasik, film-film pada era '80-an atau '90-an atau bahkan lebih jadul dari itu jelas lebih memenuhi selera saya dibandingkan film-film sekarang yang lebih mengutamakan kecanggihan teknologi dan aksi seru semata. Jalan cerita yang apik, akting yang natural, kedalaman cerita, dan dialog yang menyentuh adalah sesuatu yang jarang bisa didapati dalam film-film yang sekarang menjadi box office di bioskop.

Keempat, lalu lintas jadul. Jelas lha ya, pada zaman dulu, karena jumlah kendaraan pribadi belum sebanyak sekarang, jalan-jalan pun lebih nyaman untuk dilalui, meski jalan tol belum banyak dibangun di mana-mana. Macet? Belum parah tuh.

Kelima, cara jadul. Hal-hal seperti menyuguhi tamu dengan minuman dari cangkir atau gelas (bukan air minum dalam kemasan), menulis di kertas, makan dengan piring (bukan styrofoam), belanja dengan keranjang, baca buku cetak, mengirim kartu ucapan ulang tahun, Natal, Lebaran, atau perayaan lain, dan berbagai cara jadul lainnya, yang kalau kita cermati sesungguhnya lebih bersifat ramah lingkungan dan ekonomis.

dokpri
dokpri
Keenam, komik, novel, kartun, dan sitkom jadul. Masih ingat dengan cergam Nina, Steven Sterk, Donal Bebek, buku serial Lima Sekawan, Sapta Siaga, Pasukan Mau Tahu, Agatha Christie, Lupus, kartun Mulan, Cinderella, Snow White, Beauty and The Beast, sitkom Family Ties, Growing Pains, Who's The Boss, Friends, dan lain-lain yang dulu pernah kondang pada zamannya? Tidak ada lagi yang semacam itu saat ini.

Ketujuh, perabot jadul. Perabot jadul itu awet dan antik, bikin rumah jadi cantik. Ini tentu masalah selera, tapi kalo dipikir-pikir, seperti halnya bangunan dan rumah jadul, barang jadul memang biasanya ciamik punya, alias awet dan berkualitas.

Buktinya? Lihat saja perabot yang dimiliki kakek nenek kita dulu. Dari keberadaannya yang masih kita simpan saja sudah kelihatan kalo perabot mereka dulu memang punya kualitas dan materi yang lebih baik.

Bandingkan dengan perabot yang kita beli dua sampai lima tahun lalu, yang sudah syukur kalau sampai hari ini masih bisa dipakai dan tidak rusak atau berubah bentuk/rupa.

Delapan, kebiasaan main zaman jadul. Zaman dulu, belum ada gawai atau internet, sehingga sepulang sekolah biasanya anak-anak suka bermain ke rumah teman, tetangga, atau melakukan aktivitas bermain di luar rumah dengan anak-anak lainnya. Main sepeda, karet, congklak, bekel, petak umpet, tak jongkok, monopoli, ular tangga, kelereng, layangan, tak benteng, dsb adalah beberapa permainan yang biasa dilakukan anak-anak zaman jadul.

Tak heran kalau generasi jadul adalah generasi yang lebih terampil bersosialisasi, grapyak (ramah, bahasa Jawa), serta lebih sehat dalam hal fisik dibanding anak-anak sekarang yang pasif dan individual karena lebih suka melihat/bermain gawai.

Sembilan, becak. Waktu becak dihapuskan dari Jakarta, saya sedih. Itu moda transportasi yang mengantar saya pulang dan pergi dari rumah dan sekolah setiap hari.

Ketika tidak bisa lagi naik becak, coto (kehilangan, bahasa Jawa) sekali rasanya. Tidak ada yang bisa mengalahkan perasaan menyenangkan ketika naik becak meski masih banyak alternatif transportasi lain yang bisa digunakan.

Mau naik bajaj, bemo, bus, metromini, mikrolet, motor, KRL, bus tingkat, bahkan taxy online sekali pun, tidak ada yang seasyik kena angin sepoi-sepoi saat naik becak.

Beruntung, sekarang saya tinggal di Solo, sehingga masih bisa naik becak di dalam kota. Tapi, entah sampai kapan moda transportasi ini dapat bertahan melawan arus perubahan zaman.

Terakhir, harga zaman jadul. Waktu SD, uang seratus sampai dua ratus rupiah itu sudah cukup buat saya untuk merasa kenyang selama di sekolah. Dengan duit segitu, saya sudah bisa beli siomay, atau kue cubit, atau nasi goreng, atau bihun goreng, atau pempek, plus minuman.

Bahkan, pada saat kuliah, saya juga masih bisa cukup survive seharian menghadapi berbagai mata kuliah dan praktikum di laboratorium dengan uang 2000 rupiah.

Sekarang, uang segitu mana cukup, bahkan untuk jajan anak yang belum sekolah. Bayangkan jika saat SD dulu saya punya uang 2000 rupiah untuk jajan sehari di sekolah. Bisa untuk traktir jajan teman sekelas tuh. Asyik kan.

Gimana, ada yang berubah pikiran sekarang untuk suka sama yang jadul-jadul?  

Welcome to the club :-)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun