Mohon tunggu...
OKTAVIA INDRI YANI
OKTAVIA INDRI YANI Mohon Tunggu... Mahasiswa S2 Mercu Buana

Mahasiswa Magister Akuntansi - NIM 55525110006 - Fakultas Ekonomi dan Bisnis - Universitas Mercu Buana - Manajemen Perpajakan - Dosen : Prof. Dr. Apollo, M.Si.Ak

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

CPMK 2 : Diskursus Keadilan Ala Rawls, Berlin, dan Machan (Studi Kasus Janda Anak 3) PPh 21

2 Oktober 2025   02:01 Diperbarui: 2 Oktober 2025   02:01 72
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Jika kita melihat UU HPP melalui lensa ini, maka kebijakan tersebut adalah wujud nyata keadilan Rawlsian. Mengapa?

  • Beban untuk si Kaya: UU HPP (UU No. 7 Tahun 2021) memperkenalkan lapisan tarif pajak baru sebesar 35% bagi mereka yang berpenghasilan di atas Rp5 miliar per tahun. Ini adalah langkah progresif yang jelas, memindahkan beban pajak lebih besar ke pundak kelompok paling mampu.
  • Perlindungan untuk si Miskin: Di sisi lain, kelompok berpenghasilan kecil tetap berada di lapisan tarif terendah, yaitu 5% , dan batas Penghasilan Kena Pajak (PKP) untuk lapisan ini dinaikkan menjadi Rp60 juta.

Dengan kata lain, UU HPP secara sadar "membedakan" perlakuan pajak untuk memastikan kelompok paling lemah tidak dirugikan. Pajak yang lebih tinggi dari orang super kaya inilah yang kemudian digunakan negara untuk mendanai layanan publik yang pada akhirnya paling banyak dinikmati oleh kelompok bawah. Jadi, menurut Rawls, UU HPP adalah langkah yang adil.

2. Versi Isaiah Berlin: Kompromi Antara Dua Jenis Kebebasan

Dalam karyanya yang berjudul (Two Concepts of Liberty),  Isaiah Berlin menawarkan perspektif yang berbeda tentang kebebasan, yang ia bagi menjadi dua:

  • Kebebasan Negatif: Kebebasan dari campur tangan eksternal. Ini adalah hak individu untuk melakukan apa pun yang mereka inginkan tanpa dihalangi oleh orang lain, termasuk negara.
  • Kebebasan Positif: Kebebasan untuk mencapai potensi diri. Ini bukan sekadar bebas dari halangan, tetapi juga memiliki kapasitas dan sumber daya untuk mewujudkan tujuan hidup.

UU HPP, dalam pandangan Berlin, adalah sebuah bentuk kompromi antara dua jenis kebebasan ini.

  • Kebebasan Negatif (dibatasi): Para pengusaha dan individu kaya tetap bebas menjalankan usaha dan mengakumulasi kekayaan. Namun, kebebasan mereka untuk menyimpan seluruh hasil jerih payahnya dibatasi oleh tarif pajak progresif.
  • Kebebasan Positif (dilindungi): Rakyat kecil dilindungi dengan tarif rendah. Dengan beban pajak yang ringan, mereka memiliki lebih banyak sumber daya (kebebasan) untuk memenuhi kebutuhan dan meningkatkan kualitas hidup mereka, yang merupakan prasyarat dari kebebasan positif.

Namun, kompromi ini masih bisa diperdebatkan. Sebagian kalangan, terutama kelas menengah, mungkin merasa tarif progresif ini "menghimpit" dan terlalu membatasi kebebasan negatif mereka (kebebasan untuk menikmati pendapatan mereka).

3. Versi Tibor Machan: Pajak adalah Paksaan (Pandangan Libertarian)

Berbeda 180 derajat dari Rawls dan Berlin, filsuf libertarian seperti Tibor Machan dan Robert Nozick memiliki pandangan yang radikal: pajak adalah paksaan . Bagi kaum libertarian, mengambil properti (uang) seseorang tanpa persetujuan eksplisit, meskipun untuk tujuan mulia, adalah bentuk perampasan yang setara dengan kerja paksa.

Dari kacamata ini, analisis UU HPP menjadi sangat sederhana:

  • UU HPP Tidak Adil: Karena UU ini pada dasarnya memaksa setiap warga negara, baik kaya maupun miskin, untuk menyerahkan sebagian dari penghasilan mereka kepada negara.
  • Progresivitas Tidak Relevan: Debat tentang tarif 35% untuk si kaya atau 5% untuk si miskin tidak penting. Akar masalahnya adalah tindakan pemungutan pajaknya itu sendiri yang dianggap melanggar hak individu atas properti mereka.

Jadi, bagi seorang libertarian sejati, UU HPP sama seperti semua undang-undang pajak lainnya secara inheren tidak adil.

UU HPP Adalah Wujud Keadilan yang Mana?

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun