Mohon tunggu...
Rokhayati Siringo
Rokhayati Siringo Mohon Tunggu... -

An ordinary citizen who enjoys writing

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Jejak Melekat dari Tumpahan Minyak Pekat

14 Mei 2018   10:30 Diperbarui: 21 Mei 2018   12:05 596
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
img source: telegraph.co.uk

April 2010 silam, 4 juta barrel minyak  tumpah di teluk Meksiko.  Inilah bencana minyak lepas pantai yang terbesar sepanjang sejarah Amerika. Kematian satwa sangat masive, bukan hanya terjadi pada saat kejadian, tetapi juga tiga sampai empat tahun setelahnya. BP (perusahaan yang bertanggungjawab atas tumpahan minyak) memerlukan waktu sampai empat tahun untuk membersihkan minyak di teluk Meksiko.

Baru enam tahun setelah kejadian, yaitu pada bulan April 2016 pengadilan mengenakan denda dana restorasi sebesar US$ 20,7 miliar kepada BP. Jumlah ini yang terbesar dalam penegakan hukum lingkungan di negara paman Sam itu.  Tetapi dana sebesar apapun tidak dapat menghapus efek bahaya yang ditimbulkan dan memulihkan kondisi ekosistem seperti semula. Tahun 2017, kondisi teluk Meksiko menunjukkan sedikit perbaikan, tetapi untuk pulih total perlu waktu sekurangnya 30 tahun. Setidaknya itulah optimisme para ahli.

Penegakan hukum di Indonesia atas kasus tumpahan minyak sangat jauh berbeda. Ingatkah anda ledakan anjungan minyak Montara yang terjadi di laut Timor pada Agustus 2009. Kejadian itu mencemari Laut Timor dengan minyak dan dispersant, mengakibatkan kerusakan biota laut, kematian ikan, sekaligus mempengaruhi kehidupan masyarakat NTT. Saat ini, setelah sembilan tahun berlalu, masyarakat setempat masih merasakan dampaknya. Dari warga yang banyak menderita penyakit kulit,  budidaya rumput laut yang tidak dapat dilakukan lagi, sampai nelayan yang harus berlayar ke laut Sulawesi untuk mencari ikan.

Ketika tahun 2014,  kementerian lingkungan hidup  mengajukan nilai ganti rugi sebesar Rp247 miliar, banyak pihak menganggap jumlah ini tidak sebanding dengan kerusakan yang terjadi. Masyarakat NTT juga melakukan gugatan class action di Pengadilan Federal Australia. Sampai tahun 2015, kompensasi yang diajukan mencapai AUD$ 600 juta atau sekitar Rp 6 triliun. Ini juga jauh lebih rendah dari perhitungan tim hukum dan akuntan Australia yang mencapai Rp 55 triliun. Perusahaan Australia yang bertanggung jawab atas kasus ini, PTTEP, ingin melupakannya dengan menawarkan dana CSR kepada pemerintah. Penanganan hukum kasus ini masih belum menunjukkan titik terang.

April 2018, Indonesia mengalami bencana yang sama, dan kali ini terkait dengan pipa minyak dari perusahaan pelat merah. Dalam waktu kurang dari sebulan, 40.000 barrel minyak yang menjalar hingga seluas lebih dari 12.000 hektar di teluk Balikpapan  telah selesai dibersihkan. Tetapi kerusakan ekosistem dan kerugian sosial tidak mudah dipulihkan. (Anda tentu sudah melihat puluhan bahkan ratusan foto-foto mengerikan terkait hal ini). Mari kita meniti jejak-jejak  pekat dari bencana teluk Balikpapan terhadap  ekosistem dan kehidupan sosial. 

Teluk Balikpapan  sarat  hutan mangrove dan kawasan terumbu karang. Seluas 34 Ha hutan mangrove serta ribuan bibit bakau terpapar oleh minyak. Jika minyak menempel di batang dan akar mangrove efeknya menahun, sulit sekali dibersihkan, dan akan berpengaruh terhadap keramba  kepiting milik masyarakat.  Empat kawasan terumbu karang, yaitu Pulau Tanjung Batu, Tanjung Jumpai, Balang, dan Janebora juga terdampak tumpahan minyak dan terancam rusak.

Selain tumbuhan, menyaksikan pengaruh tumpahan minyak terhadap satwa juga membuat mata terbelalak. Di pantai Banua Patra seekor pesut ditemukan mati terbakar, dan beberapa lainnya ditemukan mati terdampar di pesisir kawasan Klandasan Ulu. Sekor bekantan juga ditemukan mati di Kelurahan Kariangau. Ikan-ikan, kepiting, plankton, dan biota laut lainnya juga banyak yang mati terkena minyak. Bukan hanya ikan di laut lepas, ribuan kepiting hasil budidaya warga juga mati karena terpapar minyak. Kematian satwa ini mencerminkan betapa parahnya kerusakan ekologi yang terjadi.

Secara ekologis teluk Balikpapan adalah wilayah nursery ground, feeding ground, dan spawning ground dari berbagai spesies ikan dan biota laut. Sisa pencemaran yang masih berbekas membuat mereka meninggalkan wilayah ini. Selain itu, plankton yang sangat kecil dan peka, tidak dapat bertahan di perairan yang masih ada sisa pencemaran. Dalam rantai makanan, plankton adalah makanan bagi ikan-ikan kecil, dan tanpa mereka, tidak ada ikan yang akan memasuki kawasan teluk Balikpapan.

Satwa besar juga meninggalkan teluk Balikpapan. Sebelumnya, padang lamun di dasar teluk adalah medan pakan bagi dugong dan penyu.  Kawasasn ini menjadi tempat berkumpul mereka. Ada juga pesut laut (saat ini berstatus endangered) dan pesut Mahakam (saat ini berstatus criticaly endangered), finless porpoise, belut laut, dan lumba-lumba hidung botol indopasifik. Bagi mereka, menjauhi habitat ini adalah pilihan bertahan hidup.

Dampak ini semakin parah ketika tumpahan minyak dibersihkan dengan menggunakan oil dispersant. Sejatinya dispersant hanya menyembunyikan butiran minyak dari pandangan mata kita, dan tidak benar-benar hilang. Sisa minyak di atas permukaan air laut akan tenggelam karena dispersant, dan mempengaruhi biota air seperti ikan, padang lamun dan terumbu karang. Minyak yang menempel di padang lamun dan terumbu karang lama kelamaan akan mematikan mereka. Itu sebabnya dispersant tidak dianjurkan untuk perairan dangkal dekat pantai. Perlu diingat bahwa dispersant adalah bahan kimia. Penelitian mengungkapkan bahwa minyak yang bercampur dispersant justru jauh lebih berbahaya bagi mahkluk-mahkluk kecil di laut.

Secara ekonomi-sosial, kasus Balikpapan dirasakan langsung dampaknya oleh nelayan dan masyarakat pesisir. Masyarakat sempat merasakan  mual dan pusing karena menghirup uap minyak tersebut. Lima nelayan yang meninggal karena terbakar, membuat keluarga mereka kehilangan sosok pencari nafkah. Sementara nelayan lainnya harus menunggu sekurangnya enam bulan untuk dapat melaut lagi. Mereka akan kehilangan penghasilan antara Rp150.000-200.000 setiap hari. Ini karena sebagian besar mereka hanya memiliki kapal ukuran kecil, yang tidak dapat digunakan untuk mencari ikan ke tempat yang lebih jauh di tengah laut.  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun