Mohon tunggu...
Okalani Anindya
Okalani Anindya Mohon Tunggu... Mahasiswa

...

Selanjutnya

Tutup

Politik

Demonstrasi

10 September 2025   14:40 Diperbarui: 10 September 2025   14:37 24
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Demonstrasi 2025: Menyelamatkan Aspirasi dari Bayang-Bayang Kekacauan

 Demonstrasi yang merebak di berbagai daerah pada tahun 2025 adalah potret nyata dari dinamika demokrasi kita yang belum sepenuhnya matang. Ribuan orang turun ke jalan, mulai dari mahasiswa, buruh, hingga kelompok masyarakat sipil, menyuarakan keresahan yang mereka rasakan. Tuntutan yang mereka bawa bukanlah hal sepele: penghapusan tunjangan anggota DPR yang dianggap berlebihan, pengesahan RUU Perampasan Aset yang sudah lama tertunda, hingga perbaikan kebijakan fiskal yang dinilai merugikan rakyat. Semua itu lahir dari ketidakpuasan yang terakumulasi dalam waktu lama, dan akhirnya meledak menjadi gelombang protes. 

Namun, di tengah upaya menyampaikan aspirasi secara damai, muncul peristiwa yang justru mengaburkan makna demonstrasi: penjarahan. Sejumlah rumah pejabat dan fasilitas publik menjadi sasaran. Peristiwa ini merusak wajah gerakan rakyat. Apa yang seharusnya menjadi simbol perlawanan moral berubah menjadi tontonan anarkis yang mudah dipelintir oleh pihak tertentu. Banyak pengamat menduga ada provokasi yang sengaja dimainkan untuk menodai aksi, seakan-akan rakyat hanya bisa marah dengan cara merusak. Jika benar demikian, maka rakyat sekali lagi dirugikan, karena perjuangan mereka kehilangan legitimasi di mata publik. 

Dalam kerangka teori konflik sosial, aksi ini bisa dipahami sebagai hasil ketegangan antara kelompok yang berkuasa dan mereka yang merasa dikesampingkan. Kesenjangan sosial, ketidaksetaraan akses terhadap kesejahteraan, serta lemahnya transparansi membuat masyarakat merasa tidak memiliki pilihan selain turun ke jalan. Namun, teori tentang "agent provocateur" juga memberi penjelasan bahwa gerakan rakyat bisa disusupi dan digiring untuk tampak brutal. Provokasi semacam ini kerap dipakai untuk melemahkan legitimasi protes dan membuka ruang bagi tindakan represif negara. 

Di titik ini, kita tidak bisa hanya berhenti pada menyalahkan massa. Justru saatnya mencari jalan keluar yang lebih manusiawi. Negara harus hadir bukan dengan kekerasan, tetapi dengan mendengar. Aparat keamanan harus tegas membedakan antara pelaku kriminal yang merusak dengan demonstran damai yang menyampaikan pendapat. Investigasi independen sangat penting untuk mengungkap siapa di balik penjarahan, agar publik tidak terus-menerus dibayangi kecurigaan. 

Lebih jauh, tuntutan rakyat harus ditindaklanjuti secara konkret. Mengurangi tunjangan pejabat yang berlebihan, mempercepat pengesahan aturan pemberantasan korupsi, serta memperbaiki kebijakan ekonomi yang memberatkan adalah langkah sederhana namun strategis. Pemerintah tidak boleh hanya meredam protes dengan janji, melainkan menunjukkan keberanian untuk berubah. Selain itu, pendidikan politik masyarakat juga perlu diperkuat. Selama jalur formal tidak dipercaya, jalanan akan selalu menjadi pilihan utama untuk bersuara. Dengan literasi politik yang lebih baik, masyarakat dapat menyalurkan aspirasi melalui kanal yang lebih konstruktif dan tetap efektif. Lembaga keagamaan dan organisasi sipil juga harus mengambil peran untuk menjaga moralitas gerakan, mengingatkan bahwa perjuangan sejati tidak boleh dikotori oleh tindakan destruktif. 

Demonstrasi 2025 pada akhirnya adalah cermin: rakyat sedang berbicara, dan negara diuji apakah mau mendengar. Jika pemerintah mampu membuka dialog yang tulus, menjawab tuntutan dengan kebijakan nyata, serta melindungi hak rakyat untuk bersuara, maka demokrasi kita akan tumbuh lebih dewasa. Tetapi jika aspirasi terus dipinggirkan dan diselimuti oleh stigma kekerasan, maka bukan hanya rakyat yang rugi, melainkan masa depan demokrasi Indonesia itu sendiri.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun