Keuntungan segitu sudah cukup lumayan. Ketimbang berharap dana pengembangan semisal CSAR. Begitu ia menjelaskan.
Berjualan di sini baginya sudah patut disyukuri. Berapapu  hasilnya. Toh itung-itung mengambil untunh dari aktifitas tambang yang katanya punya pendapatan ratusan milyar itu.
Lagi pula apalagi yang harus diusahakan. Â Warga lain membangun kosan atau warung, modalnya begitu besar. Sementara ia, tidka punya modal.Â
Melamar ke perusahaan? Mustahil. Umur menertawakan dan juga ia tak punya kualifikasi untuk bekerja di tambang. Itu khusus anak muda. Masih fres fisiknya.Â
Satu-satunya ialah memanfaatkan peluang dari hasil kebun. Kebun yang tersisa. Â Menjual hasilnya walau seperak dua perak.
Mentari menguasai langit. Teriknya membikin perih. Saat seperti ini, sudah waktunya pulang. Hasil saat ini tidak begitu memuaskan. Biar begitu, masih ada harga atas lelah yang terkantongi.
Dagangan dimasukan kembali ke saloy. Merapikan dan membersihkan sedikit area jualan. Lalu berjalan pulang seperti sedia kala.
Bu Aminah adalah potret warga yang bermukim di area tambang. Mereka penduduk asli. Yang harta dan lahannya sudah terkuasai. Peralihan mata pencaharian banyak dilakukan. Seperti Bu Aminah. (Sukur dofu-dofu)