Mohon tunggu...
Fauji Yamin
Fauji Yamin Mohon Tunggu... Foto/Videografer - Tak Hobi Nulis Berat-Berat

Institut Tinta Manuru (faujiyamin16@gmail.com)

Selanjutnya

Tutup

Love Pilihan

Ketika Kau Ingin Menikah

26 Agustus 2021   22:25 Diperbarui: 27 Agustus 2021   13:31 224
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi menikah (sumber; Merdeka.com)

Telah ribuan pagi  dan penghujung senja kita lewati bersama-sama. Kita juga telah melewati jutaan rindu di bawah langit hingga terbentang samudera. Tak kuhitung lagi bait-bait doa dari harap yang terpanjat pada Tuhan. Lalu kenapa kau ragu? bukankah aku berjanji membawa cinta ini menjadi ikatan? Tak usalah kau menaruh sesal karena waktu yang berlalu.

Malam ini, rembulan begitu sempurna.  Angin tersipu membawa rindu pulang pada tuannya. Kita, duduk di tempat biasa kita bercanda, memadu kasih. Kau bergenggaman tangan sembari melihat laut yang memantulkan sinar rembulan.  Namun malam ini raut wajahmu tak sebinar harapanku sebelum bertemu dengamu.

 "kamu kenapa. adakah sesuatu yang kau pikirkan?" tanyaku

"tidak"

"Lalu apa maksud diam yang kau tunjukan malam ini?"

"Keresahan ku sama bang, sudah terlalu lama hubungan ini berjalan. Sudah terlalu banyak tanya yang dialamatkan padaku. dan, aku kehabisan jawaban untuk membalas satu persatu pertanyaan tersebut. Tidakah kau tau betapa tersiksana aku?" 

" Aku tau tentang batin itu, tetapi bukankah sudah kujelaskan padamu jawaban dari keresahan mu? aku butuh waktu. Bukan tentang komitmen ku untuk menikahimu. tidak bukan tentang itu. Aku butuh waktu mengumpulkan pundi-pundi rupiah.

"Iya aku tau keseriusanmu bang. Betapa melaratnya dirimu. Tapi apakah kau tidak mau mempertimbangkan tawaranku? pakailah dulu biaya dari keluargaku. Kita akan menggantinya kelak secara pelan-pelan. 

"Apa? ini tentang harga diri pria. Tidak. Jawabanku sama. Tidak akan kuterima.

Aku begitu geram. Tetapi, sudah memang sepatasanya pertanyaan itu keluar dari mulut manisnya. Harapanya untuk segera di persunting pujaan hati adalah impian semua wanita. Menjadi bidadari sehari. Ia begitu mendambakan pernikahan sederhana. Sangat sederhana. Tak mau melakukan penjamuan di hotel-hotel besar, tak ada pesta atau makana prasamanan dengan buget yang besar pula. Sepertinya ia kasihan padaku yang melarat.

Pun dengan aku, yang begitu mengiyakan konsep pernihakannya. Tenda yang sederhana, interior yang biasa-biasa saja. Dalam bayang-bayang, kami berdua akan duduk di singgasana layaknya  raja dan putri, sembari menyalami satu persatu tamu undangan yang datang. Menjamu mereka dengan makanan sederhana.  

Namun sesederhana apapun konsepnya, kemelaratanku seakan berteriak sekencang-kencangnya. Tak ada aliran dana yang masuk dengan sempurna, ditambah kebutuhan akan keborosanku begitu menguras rekening. Nilai guna uang yang begitu tinggi menambah deretan kepusingan yang berkecamuk. Sementara aku terus meyakinkan, ia terus membrondongku dengan pertanyaan-pertanyaan untuk segera meminangnya terus melekat ke telingaku tanpa memandang ruang dan waktu.

Ingin saja aku menyeretnya pada sebuah kondisi ketidakromantisan pernikan. Jalur gratis.  Tak jarang kampanye nikah massal menjadi candaanku padanya, walau ia mengiyakan candaanku tetapi aku tau, dalam lubuk hatinya yang paling dalam ia menolaknya dengan keras.

Namun, apakah ia lupa, ada dua klan yang harus di satukan dan membawa serta budaya masing-masing?. Budaya pernikahan yang mengusung ego sebagai garis terdepan. Bahwa pernikahan itu harus mewah tak sesederhana. Bahwa pernikahan adalah perkara sekali seumur hidup yang perlu dirayakan atau dibuat sebesar-besarnya; mahar yang tinggi, baju pengantin yang manis, makanan berkelas, gedung yang mewah dan di tutup dengan sajian pesta pora.

Apalah daya tuntutan budaya itu dengan kondisi keuanganku yang menjerit-jerit. belum lagi pola pernikahan yang sangat aneh di kota ini. seakan mengikuti pergerakan mata uang, fashion, dan trend hingga tercipta  kelas-kelas tertentu. 

Ketika sebuah perkawinan menjadi viral dengan mahar terbesar sekota, seketika itu terbentuk sebuah harga yang menjadi keharusan bagi pasangan lain. Ketika gaun-gaun pengantin nampak baru, seketika tak ada pasangan yang mau sama. Ketika para artis diundang menjadi penghibur, seketika prevelensi artis menjadi kewajiban. Semacam ada standar baku yang harus diupayakan untuk diikuti. Sebab acara pernikahan yang payah sekan-akan menjadi tabuh.

Aku bisa saja menerima tawaran tentang biaya dari keluarganya. Dan mengikuti standar dari kebudayaan dan trend terkini. Tapi tidak aku terima. Bagaimana mungkin seorang lelaki  memerdekakan cinta dengan begitu hinanya. bagaimana perjuangan itu dihargai. Padahal hingga jenjang pernikahan, usaha adalah seni yang memuaskan. Ketika seseorang mampu memperjuangkan cinta dengan usaha dan keringatnya sendiri. Menjadi lelaki yang berharga diri.

Ingin sekali kuajarkan tentang usaha dan sabar. Laiknya para nelayan yang dengan sabar mengejar gerombolan ikan di laut lepas. Bertarung dengan ombak, menyiapkan kail, hingga mendulang tangkapan.  Atau seorang petani yang dengan sabar menunggu kangkung-kangkungnya tumbuh, hidup dan berkembang. 

Ingin sekali semua itu kujelaskan secara detail sembari menatap matana yang penuh harap. Bahwa pernikahan adalah urusan besar yang harus disiapkan matang-matang. Bukan pernikahan layaknya permainan di masa kanak-kanal. Rumah dari kardus, piring dari plastik, masakan dari dedaunan yang dipetik dari rumpur sekitar lalu melahapnya dengan gestur polos. Tidak seperti itu.

Pernikahan adalah jenjang dari kehidupan yang besar. Menghabiskan hidup bersama, membina keluarga, menyatukan dua klan besar hingga ajal menjemput. Pernikahan bukan hasrat yang menggebu-gebu diawal lalu redup diakhir. Tidak seperti itu wanita cantikku.

bang kenapa benggong? kapan kau menikahi ku? aku sudah ingin menimang anak.

Aih sudahlah..... Mari kita pulang sayang. Esok adalah perjuangan.................

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Love Selengkapnya
Lihat Love Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun