Telah ribuan pagi  dan penghujung senja kita lewati bersama-sama. Kita juga telah melewati jutaan rindu di bawah langit hingga terbentang samudera. Tak kuhitung lagi bait-bait doa dari harap yang terpanjat pada Tuhan. Lalu kenapa kau ragu? bukankah aku berjanji membawa cinta ini menjadi ikatan? Tak usalah kau menaruh sesal karena waktu yang berlalu.
Malam ini, rembulan begitu sempurna. Â Angin tersipu membawa rindu pulang pada tuannya. Kita, duduk di tempat biasa kita bercanda, memadu kasih. Kau bergenggaman tangan sembari melihat laut yang memantulkan sinar rembulan. Â Namun malam ini raut wajahmu tak sebinar harapanku sebelum bertemu dengamu.
 "kamu kenapa. adakah sesuatu yang kau pikirkan?" tanyaku
"tidak"
"Lalu apa maksud diam yang kau tunjukan malam ini?"
"Keresahan ku sama bang, sudah terlalu lama hubungan ini berjalan. Sudah terlalu banyak tanya yang dialamatkan padaku. dan, aku kehabisan jawaban untuk membalas satu persatu pertanyaan tersebut. Tidakah kau tau betapa tersiksana aku?"Â
" Aku tau tentang batin itu, tetapi bukankah sudah kujelaskan padamu jawaban dari keresahan mu? aku butuh waktu. Bukan tentang komitmen ku untuk menikahimu. tidak bukan tentang itu. Aku butuh waktu mengumpulkan pundi-pundi rupiah.
"Iya aku tau keseriusanmu bang. Betapa melaratnya dirimu. Tapi apakah kau tidak mau mempertimbangkan tawaranku? pakailah dulu biaya dari keluargaku. Kita akan menggantinya kelak secara pelan-pelan.Â
"Apa? ini tentang harga diri pria. Tidak. Jawabanku sama. Tidak akan kuterima.
Aku begitu geram. Tetapi, sudah memang sepatasanya pertanyaan itu keluar dari mulut manisnya. Harapanya untuk segera di persunting pujaan hati adalah impian semua wanita. Menjadi bidadari sehari. Ia begitu mendambakan pernikahan sederhana. Sangat sederhana. Tak mau melakukan penjamuan di hotel-hotel besar, tak ada pesta atau makana prasamanan dengan buget yang besar pula. Sepertinya ia kasihan padaku yang melarat.