Mohon tunggu...
Fauji Yamin
Fauji Yamin Mohon Tunggu... Foto/Videografer - Tak Hobi Nulis Berat-Berat

Institut Tinta Manuru (faujiyamin16@gmail.com)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Muara Kemerdekaan, Ikhlas

18 Mei 2021   17:45 Diperbarui: 18 Mei 2021   18:06 218
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber: Kaba 12.com

"Lewat mulutmu, bisa saja terucap ikhlas, namun belum tentu dengan hati dan batinmu,"

Suatu malam, sekira sepuluh tahun silam, di sebuah jembatan bersejarah milik Kesultanan Ternate, Dodoku Ali, seseorang teman bertanya pada kami, "apa itu ikhlas, apakah ada ilmu atau sumber primer yang dapat dipelajari,".

Pertanyaannya membuyarkan bangunan diskusi yang alot sejak awal. Ada yang diam namun ada beberapa yang kemudian memberikan jawaban memakai metode ilustrasi laiknya mahasiswa menjelaskan sebuah rancangan penelitian.

"Menurut saya, berat juga bro,  tingkatannya sudah tinggi. Jadi gini bro, iklas adalah sebuah ilmu yang tidak dipelajari dalam sebuah buku atau berapapun buku yang sudah kau baca. Ini tentang kamu atau dirimu. Penjelasannya bisa secara konsep materialisme atau metafisik," jelasnya tempo itu yang masih melekat kuat diingatan.

Kami hanya diam mendengarnya menjelaskan secara seksama. Apalagi ini baru bagi kami kala itu, masih mahasiswa abal-abal yang baru membaca satu dua buku lalu berkoar-koar seakan sudah membaca ribuan buku. Tak ada debat atau adu argumen yang kadang tak masuk akal. Ia pun memberikan ilustrasi.

 " Contohnya, saya mempunyai uang sepuluh ribu. Pada kesempatan yang sama, ada teman dalan kondisi urgens dan membutuhkan uang lima ribu untuk membeli pulsa. Ia hendak menelpon orang tuanya untuk mengirim biaya semester karena masa tenggat waktu tinggal beberapa hari. Lalu, saya memberikanya lima ribu dan dikantong yang saya tersisa lima ribu," Jelasnya dengan sandaran logika.

"Tak lama berselang, anggaplah sejam kemudian ternyata saya harus membeli sesuatu yang harganya sepuluh ribu. Sementara duit saya tersisa lima ribu rupiah. Anggaplah saya memiliki masalah yang sama pentingnya dengan teman tadi. Karena kondisi kekurangan ini saya lantas mengumpat, ah sial coba saja tadi tidak saya berikan ke teman, maka saat ini saya tak kesusahan," jelasnya lagi.

Kami menggeleng kepala, apa yang dikatakannya seketika menusuk diri. Tentu perihal ini sering terjadi pada diri. Ia masih terus menjelaskan "Tentu, tidak hanya persoalan itu, namun semua dimensi kehidupan baik materialsme maupun metafisik kita rasakan dan lakukan. Sadar maupun tak sadar, kita telah mengabaikan sebuah ilmu yang bernama Ikhlas," Sambungnya.

Malam itu kami lewati dengan berbagai tafsiran yang kadang kami pahami dan tidak. Sebelum kami bubar karena hujan mengguyur. Kondisi itu membuat salah satu dari kami mengumpat, ah hujan lagi, hujan lagi," 

"Loh katanya sudah memahami ikhlas, hujan sedikit ngumpat. Bukankah hujan itu rahmat?" timpal salah satu dari kami sembari berlari mencari tempat berteduh.

Di kesempatan lain, di Kota Bogor,saya menyambangi seorang kenalan di rumahnya. Karena berbagai rutinitas membuat kami  jarang bertemu. 

Saat sampai, tanpa tanya Ia langsung menyeduh segelas kopi seakan ia sudah menyadari selera kopi yang sering saya nikmati.

Dua gelas kopi obrolan kami. Banyak hal yang saya utarakan tentang keluhan, keresahan serta ambisi. Melihat mimik wajah saya yang nampak frustasi, ia lantas memberi petuah.

"Kata guru saya, jalanilah kehidupan dengan sabar dan jangan egois. Kadang manusia memiliki obsesi yang begitu tinggi hingga mengabaikan hak orang lain. Baik itu hak benda maupun perasaan. Pun dengan ambisi, yang mendorong seseorang berlaku lebih. Muaranya kita tidak mampu mensyukuri nikmat Allah SWT. Nikmat dari keihlasan," sentilnya

Seketika saya merasa lega. Pesannya memberi solusi atas segala hal yang mengekang diri. Sudah terlampau berhasrat hingga ada bagian kehidupan yang terabaikan atau di rusak. Sesuatu yang memuncak dalam diri terkadang berlwanan dengan konsepsi diri.

Perlawanan diri pada nilai absolut. Manusia kadang merasa tidak cukup dengan apa yang diterimanya, terkoptasi pada dimensi besar sehingga lupa ada ruang-ruang kecil dalam diri yang berdampak besar. Kemerdekaan diri.

Kemerdekaan diri tidak hanya pada konteks kemerdekaan berpikir akan tetapi lebih dari itu. Tindakan dan penerimaan yang iklas dalam diri; ilmu diri bahasaku. Bertindak serta bersikap. Dan iklas menjalani segala-galanya.

Hal-hal sederhana kadangkala menyangkut di hati dan hal sepele justru membawa pada perasaan iri hati. Iklas menjadi catatan penting dalam mengenali diri, menjadi rumus kebahagiaan menjalani kehidupan.

Terkadang, melihat seseorang meraih sukses dapat menjadi gelojak dalam diri, kenapa ia begitu dan saya tidak, kenapa ia banyak duit saya tekor, kenapa begini kenapa begitu. Padahal belum tentu apanya dia beraaal dari hal yang membagahiakan atau pada jalan keihlasan.

Saya jadi mengingat nasihat teman, hidup bergelimang harta adalah aib jika mati dalam keadaan kaya. Sediki atau banyak perlu diimbangi rasa syukur. Dari situlah muara keihlasan.

Kemerdekaan diri adalah keikhlasan. Beribadah dengan ikhlas, makan dengan iklas bahkan tidur dengan ikhlas. Semua konsep kehidupan perlu diimbangi keihlasan agar tak ada dengki atau siasat yang membawa diri lupa segala-galanya. (Sukur dofu-dofu)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun