Mohon tunggu...
Yoga Pratama Tarigan
Yoga Pratama Tarigan Mohon Tunggu... Full Time Blogger - calon imam diosesan medan

calon sarjana Filsafat, suka berpikir, berimajinasi, dan menulis

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Pengasingan Diri, Sesama, dan Tuhan

1 Maret 2019   01:01 Diperbarui: 15 Maret 2019   23:31 149
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Keberadaan Manusia

Konsep manusia sebagai makhluk sosial bukanlah hal yang asing bagi kita. Bahkan hal ini selalu diulang-ulang dalam ilmu sosial. Tentu saja maksudnya agar setiap individu mampu hidup bersama dengan orang lain, baik itu dalam ranah keluarga, tetangga ataupun orang yang begitu asing sekalipun. Di sisi lain dalam ranah ilmu filsafat, manusia disebut sebagai makhluk eksentris. 

Artinya manusia selalu terarah ke luar dari dirinya atau selalu mengarah kepada orang lain. Orang lain adalah cerminan dari diriku. Melalui perjumpaan dengan sesama kita semakin mengenal siapa diri kita. Maka tidak mengherankan ketika masih kecil kita kerap menghabiskan waktu berjam-jam dengan teman sepermainan kita. 

Tak peduli waktu dan tenaga telah banyak terkuras, yang penting kita bersuka ria dalam permainan itu. Inilah yang disebut masa kanak-kanak. Masa di mana seseorang mulai mempelajari dan mengeksplorasi dunianya. Tempat di mana ia mulai memahami keberadaanya di muka bumi ini.

 Dalam bermain, anak-anak memperoleh pelbagai nilai-nilai kehidupan. Misalanya si anak mulai menyadari bahwa hidup itu penuh dengan aturan (rule). Hal ini sungguh tampak dalam setiap permainan yang ia lakoni. Aturan permainan itu harus ia taati jika ia tidak mau dikeluarkan dari permainan. 

Tidak hanya itu saja, dunia bermain juga ajang bagi si anak untuk mengenal sesamanya terlebih dirinya sendiri. Apakah ia dapat bermain dengan orang lain secara baik dan benar atau sebaliknya hanya mau menangnya sendiri. Ini adalah tahap paling awal bagi si anak untuk dapat hidup dengan orang lain (mampu bersosialisasi). 


Dengan bermain si anak mulai ke luar dari zona nyamannya, keluar dari rumahnya yang nyaman, terlebih keluar dari dirinya dan mulai memasuki dunia sosial; dunia dimana ia mulai menjalin relasi dengan orang lain dan membawanya pada hal-hal baru yang belum ia ketahui sebelumnya.  

Berbicara tentang permainan memang tak pernah ada habis-habisnya, ada kelucuan atau pun kekesalan di dalamnya. Sebuah kelucuan dan kesenangan tersendiri bagi orang yang terus memenangkan permainan dan kekesalan bagi anak yang kerap kelah dalam permainan. Akan tetapi esensi permainan bukanlah terletak pada siapa yang menang dan kalah melainkan menjadi ajang bagi kita untuk mementaskan totalitas diri kita di panggung dunia sosial. 

Tempat di mana kita mau hidup dengan orang lain walaupun banyak perbedaan yang akan kita temukan. Seperti perbedaan cara pandang, gaya hidup, iman dan sebagainya. Di dalam perbedaan itu kita dituntut untuk mampu menjalin benang-benang perdamaian agar mampu hidup dan berdampingan dengan orang lain bahkan orang yang sungguh asing sekalipun. Inilah esensi dasar manusia dalam keberadaanya di dunia. Hal ini sudah mulai tampak dari sejak kita masih kecil dan akan terus berlanjut sampai kita undur diri dari pentas dunia (meninggal).

Media Sosial semakin mendekatkan atau menjauhkan?

            Suatu ketika seorang guru bertanya pada anak didiknya yang masih kecil-kecil bin imut-imut, "Anak-anak ..., hari ini kita akan membahas cita-cita kalian." Budi kamu mau jadi apa ketika telah dewasa nanti?

            "Jadi guru, bu guru!" Jawab Budi dengan penuh semangat

            "Mengapa kamu mau jadi guru, Budi?"

            "Supaya ketika bu guru udah tua, Budilah yang menggantikanya

            "Ohh..., panggilan hidup kamu bagus sekali Budi." Seketika itu juga anak-anak yang lain pada bertepuk tangan.

"Ok, ibu mau bertanya pada Susan, kalo kamu udah besar kamu mau jadi apa Susan?"

"Mau jadi ibu rumah tangga, bu."

"Lho kog, jadi ibu rumah tangga?"

Iya, bu... supaya ada yang mengasuh anak-anak saya yang notabene sebagai penerus generasi bangsa Indonesia

"Kalo kamu mau jadi apa Andre?"

"Mau jadi suami Susan bu guru!"

"Hahhhh.... kenapa mau jadi suami Susan, Andre?

"Karena saya ingin membantu Susan dalam mewujudkan impiannya yakni memberi ia anak dan membiayai anak-anak yang akan menjadi generasi penerus bangsa." Semua anak pada tertawa bahkan ada yang terpingkal-pingkal.

"Oh... gitu toh. Kalo kamu Lisa mau jadi apa?

"Mau jadi Smart Phone, bu guru?

"Apa! Gak ada yang lain!"

"Habisnya bu guru, orang tua saya lebih dekat pada smart phone dari pada saya sendiri." Semua anak terdiam dan ikut bersedih.

Dari cerita anekdot yang cukup menggelitik ini sebenarnya hendak menyindir orang-orang yang kecanduan media sosial. Jika orang dulu ketika bangun pagi hal pertama yang ia lakukan ialah membuka jendela kamar, tetapi generasi sekarang malah membuka smart phone-nya. 

Apakah ada pesan di facebook, twiter, instagram, What's Up dan seterusnya. Saya yakin dan percaya para pembuat media sosial sejatinya ingin membantu kita untuk lebih mengintensifkan hubungan kita dengan orang lain, khususnya bagi orang-orang yang berada jauh dari lingkungan kita. 

Tidak hanya, itu melalui media sosial kita juga dapat menjalin relasi yang baru dengan orang yang sebelumnya tidak kita kenal kini menjadi sahabat kita. Jika dulu ada yang disebut sahabat pena maka masa sekarang ada yang namanya sahabat maya. 

Sahabat di mana kita dapat mencurahkan segala problem yang kita alami meskipun kita belum pernah secara langsung bertatap muka dengannya. Walaupun demikian hal ini merupakan hal yang positif. Ini tidak jauh beda dengan sahabat pena, dimana kita dapat saling berbagi melalui kirim-kiriman surat.

Terlepas dari itu semua, nyatanya cita-cita ataupun visi yang hendak dicapai para pembuat aplikasi-aplikasi media sosial itu tidak kesampaian. Hal ini dikarenakan dalam prakteknya kebanyakan para pengguna media sosial tidak menggunakannya seturut apa yang diharapkan para penggagas. 

Mereka pada umumnya jatuh pada pengasingan sesama bahkan lebih parahnya jatuh pada pengasingan diri. Namanya saja sudah media sosial, maka dari itu si pengguna hendaknya menggunakan media itu untuk bersosialisai dengan seintensif mungking dan semakin menjadi makhluk yang berjiwa sosial bukan sebaliknya yakni, menjadi pribadi asosial.

Gejala lain yang sungguh kentara dan menjadi pembicaraan hangat dalam media sosial ialah yang jauh menjadi semakin dekat dan yang dekat menjadi semakin jauh. Bukankah ini sungguh menjadi sebuah lelucon dalam zaman now ini. Ketika saya masih kecil satu hal yang tak pernah saya lupakan ialah mengendap-endap keluar dari rumah agar dapat bermain petak umpet bersama teman-teman. 

Saya harus meracik segala alasan ataupun pelbagai cara agar dapat keluar dari rumah. Akan tetapi anak-anak zaman sekarang alias kids zaman now malah nyaman dengan dunianya, dunia dimana ia dapat menggenggaam segalanya dalam satu alat yakni, smart phone. Candu yang diberikan smart phone sekaligus fitur-fiturnya sungguh menjadi penyakit laten yang harus kita waspadai. Lalu siapa yang salah apakah media sosialnya atau penggunanya? 

Tentu saja yang menjadi pokok persoalan bukanlah pada media sosial melainkan pada para penggunanya. Media sosial itu dibuat untuk membantu manusia untuk semakin mendekatkan dirinya dengan yang lain. 

Tapi sayang penggunanya malah memakainya tak sesuai dengan semestinya. Media-media sosial yang ada malah menjadi sumber keterasingan antar yang satu dengan yang lain. Bahkan mereka sudah menemukan kenyamanan, keasiakan tersendiri bahkan mampu memenuhi kekosongan hidupnya melalui teknologi-teknologi itu daripada teman mereka sendiri. Istilahnya sekarang ialah selfish.

Berapa banyak waktu yang kita habiskan dalam berinternet-ria dibandingkan dengan orang-orang disekitrar kita? Lebih parahnya lagi, kita malah lebih dekat dengan alat mati itu daripada kepada Si pemberi Kehidupan yakni Yesus Kristus. 

Kehadiran Kristus sungguh tak kita rasakan karena kita telah dibius sedemikiran rupa melalui konten-konten yang ditawarkan kepada kita. Bahkan lebih mirisnya lagi ketika kita dirundung duka atau tenggelam dalam persoalan yang menggalaukan kita malah lebih memilih mencari penghiburan dalam dunia maya daripada membuka diri kepada Sang Pemberi Kehidupan. 

Bukankah ini gejala pengasingan diri? Kita tidak hanya merasa asing pada sesama melainkan pada diri kita sendiri kita. Karena begitu nikmatnya dan asyiknya aplikasi-aplikasi yang ditawarkan teknologi canggih bin ajaib itu membuat manusia zaman now tidak lagi mendalami dan memahami dirinya. Ia tidak lagi masuk ke dalam dirinya (baca: berefleksi). Benar yang dikatakan Sokrates, "Hidup yang tidak direfleksikan adalah hidup yang tak layak untuk dihidupi."

Menjadikan Media Sosial Sebagai Wadah Perekat antar Sesama dan Tuhan

Satu hal yang patut kita refleksikan bersama ialah manusia memiliki sesuatu yang tidak dimiliki oleh makhluk mana pun baik itu hewan, tumbuhan maupun benda-benda mati. Hal itu ialah kehendak bebas. Kehendak yang kita miliki ini membuat kita mampu untuk mengendalikan diri. 

Mampu membuat keputusan dan mampu untuk bersikap. Oleh karena itu sungguh aneh rasanya jika manusia hidup hanya berdasarkan atas dorongan-dorongan nafsu. Jika itu terjadi maka kita tak ada bedanya dengan makhluk-makhluk yang telah disebut di atas.

Dari pernyataan di atas, maka saya ingin mengajak kita semua untuk mampu bersikap dalam mengahadapi tuntutan-tuntutan zaman. Salah satu diantaranya ialah mampu menggunakan media-media komunikasi dengan baik dan benar. 

Kehendak yang kita miliki membuat kita mampu untuk mengontrol diri dalam pemakaian aplikasi-aplikasi online yang ditawarkan. Ingat baik tidaknya media sosial itu tergantung dari pemaikan kita. 

Apakah kita lebih jatuh pada pengasingan sesama dan diri sendiri dengan seharian penuh memakai media-media online itu. Atau sebaliknya menjadikannya sebagai wadah perekat antar sesama antar saya dengan sesama dan antara saya dengan Tuhan.

 Sebenarnya, banyak hal positif yang dapat kita lakukan dalam menggunakan media-media sosial itu. Misalnya, membagaikan refeleksi yang mendalam, gagasan-gagasan atau opini yang membangun dan lebih mulianya lagi mewartakan Injil kepada semua orang. Akan tetapi berapa banyak di antara kita yang mau melakukannya? 

Satu hal yang menjadi ketakutan terbesar saya ialah jangan-jangan manusia telah menemukan tuhanya yakni, smart phone.  Melalui tulisan ini, saya mengajak kita semua untuk merefleksikan kembali hidup harian kita dalam penggunaan internet. Berapa banyak hal positif yang telah kita lakukan dan seberapa banyak hiburan dunia maya yang telah kita konsumsi?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun