Mohon tunggu...
Yusuf A
Yusuf A Mohon Tunggu... -

Tinggi 167 cm berat 50 kg

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Historisitas (Kesejarahan) Belawa

16 Juli 2015   05:13 Diperbarui: 16 Juli 2015   05:13 158
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Mempelajari beberapa tulisan maupun naskah sejarah lisan orang Bugis Belawa bertujuab untuk mendapatkan pemahaman mengenai dinamika masyarakat dalam rentetan sejarah dan bentuk kekuasaan serta ideologi dibangun dalam masyarakat tersebut (Rudiansyah, 2011). Sebagaimana umumnya, bentuk-bentuknya terwujud dalam petuah-petuah, mitos maupun kronik raja yang menceritakan langsung dan diterjemahkan sebagai bangunan pranata politik dan kekuasaan dalam masyarakat di masa lalu. 

Sekitar pertengahan tahun 2011 jauh sebelum tulisan ini dibuat, kebiasaan saya mejelajahi internet mencari bahan bacaan dan berburu informasi pada peramban yang kemudian menggiring pada sebuah blog yang bercerita tentang sejarah Belawa - http://andioddang.blogspot.com/ sampai tulisan ini saya buat, blog tersebut masih dapat di akses -. Tulisan dalam blog terbagi beberapa bagian ulasan mengenai sejarah Belawa yang menceritakan peralihan kekuasaan setiap periode Arung di Belawa dan kaitannya dengan kerajaan-kerajaan besar di jazirah Sulawesi. Metode dalam penulisannya merupakan studi literatur dari beberapa lontara yang di telah ditransliterasi dengan baik. Menurut saya hal itu sudah cukup untuk di jadikan bahan rujukan tentang Belawa, mengingat betapa sukarnya dan memang sangat kurang dokumen-dokumen atau lontara tentang Belawa. Informasi awal yang saya dapatkan, beberapa orang di Belawa memang menyimpan lontara, yang menjadi kesulitan adalah meminjam lontara tersebut, belum lagi yang mengakunya tidak memiliki lontara. Kondisi yang memaksa saya untuk memaknai betapa keramatnya lontara tersebut bagi beberapa kalangan orang Bugis.

Hal tersebut menjadi kendala besar dalam memahami sejarah Belawa secara mendalam dan luas hingga seluruh lapisan amsyarakat. Dalam banyak pengisahan sampai penulisan dalam lontara yang dikoleksi, bahkan sejarah Belawa kurang menggambarkan kondisi sosial masyarakat Belawa secara umum, dalam artian kekuatan kelompok diluar lapisan arung tidak memiliki ruang representasi yang memadai. 

Muatan tulisan sejarah tentang Belawa lebih banyak ditekankan pada pencatatan peristiwa, terutama dalam lingkaran para Arung (penguasa) yang menggambarkan tindakan-tindakan, perintah-perintah, aturan-aturan, silsilah garis keturunan dan adat-istiadat atau hukum. Jika tidak salah saya dalam mengamati sejarah Belawa, nuansanya lebih banyak memuat peristiwa konflik dan perang, kisah saling menguasai antara arung yang satu dengan arung yang lainnya. Indikasi awal bagi saya untuk memahami historisitas orang Bugis di Belawa justru menjadi representasi milik para arung, memainkan peran dalam narasi budaya dalam satu permainan dinamika.

Kecenderungan begitu melekatnya sebuah lontara maupun cerita sejarah lisan dengan anakarung dapat terlihat dari sumber pertama sebuah naskah lontara. Dari kebanyakan naskah lontara yang saya temukan hanya merupakan salinan dari lontara dari koleksi salah satu keluarga anakkarung. Kesan berbeda juga saya alami pada saat melakukan wawancara, ketika mewancarai  anakarung maka penegasan dalam ceritanya begitu lugas dan meyakinkan – sekali-kali malah bertambah semangat, santun dan penuturan yang halus -. Dibandingkan informan yang bukan anakkarung terkadang tersirat keraguan dalam gesturnya saat wawancara, tidak jarang ingin merujuk ke orang lain dengan menunjukkan sikap yang lebih patut yang biasa disebut orang Bugis dengan asitinajang (kepatutan). Naskah lontara dan pengetahuan sejarah lisan yang begitu didominasi oleh kelompok anakkarung sudah cukup menjelaskan pendapat Pelras (2006) tentang kemampuan kelompok elit orang Bugis dalam mempertahankan kelasnya melalui penguasaan aksara dan pengetahuan Bugis. Suatu yang saya maknai dan mengungkapkan kemampuan orang Belawa melalui tradisi lisan maupun aksara yang diwariskan secara turun-temurun setali dengan pelapisan sosial tradisional sehingga dapat terjaga selama bertahun-tahun.

Beberapa sejarah lisan orang Belawa yang masih cukup diingat dikalangan orang Belawa saat ini adalah tentang asal muasal penghuni pertama Belawa, La Monri; kekuatan Islam pada masa Syek Tosagena; dan kisah kepahlawanan dan keberanian Warani Pitue. Namun pada kesempatan ini, saya hanya menggunakan kisah La Monri sebagai bahan interpretasi tradisi sejarah lisan orang Belawa, dengan mempertimbangkan secara kesuluruhan cerita tersebut memiliki plot lengkap dari alur awal hingga akhir. Berikut ini adalah kisah La Monri yang setelah meninggal di beri gelar anumerta “Arung Belawa MammulangngE Petta MatinroE ri Gucinna”. (untuk cerita selengkapnya lihat di http://andioddang.blogspot.com/

Jika kisah sejarah Belawa dikondisikan dan dimaknai sebagai legenda, maka sejarah itu merupakan salah satu bentuk dari folklor (Danandjaja, 2002). Seperti halnya dengan mite, legenda adalah cerita prosa rakyat yang dianggap oleh empunya cerita sebagai suatu kejadian yang sungguh-sungguh pernah terjadi. Dalam kisah Belawa bersifat sekuler (keduniawian), terjadi pada masa yang belum begitu lampau, dan bertempat di dunia seperti yang kita kenal sekarang. Bisa saja dalam analisis ini, menempatkan sejarah Belawa dalam perpektif folklor, mengingat legenda seringkali dipandang sebagai ‘sejarah’ kolektif (folk history), walaupun ‘sejarah’ itu karena tidak tertulis pada masanya telah mengalami distorsi, seringkali dapat jauh berbeda dengan kisah aslinya. Oleh karenanya, Danandjaja menyarankan menggunakan folk history atau legenda sebagai bahan untuk menyusun kronologi sejarah dengan memisahkan unsur folklor-nya. 

Legenda Belawa bisa digolongkan sebagai ‘legenda setempat’ sebagai cerita yang berhubungan dengan suatu tempat, nama tempat dan bentuk topografi, yakni permukaan suatu daerah seperti Belawa yang berpadu antara danau dan dataran yang tinggi dibagiannya yang lain sebagai lahan permukiman, pertanian dan perladangan. Plot utama adalah cerita sebuah pohon yang memiliki keunikan di sebuah hutan yang dinamai pohon belawa dan akhirnya menjadi nama sebuah tempat. Menurut Axel Olrik (1909), struktur atau susunan cerita prosa rakyat terikat oleh hukum yang sama, yang olehnya disebut Hukum-hukum Epos (Epic Laws), hukum-hukum epos ini merupakan suatu superorganik, yaitu sesuatu yang selalu berada diatas cerita-cerita rakyat, yang selalu mengendalikan para juru ceritanya (folk narrators), sehingga mereka hanya dapat mematuhi “hukum-hukum” itu secara membuta. Hukum-hukum ini tidap dapat dikendalikan manusia. Sebagai akibat adanya “hukum-hukum” itu, maka struktur cerita rakyat tertentu menjadi identik.

 

Hukum pembukaan dan penutup (the laws of opening and closing): Cerita rakyat tidak akan dimulai dengan suatu aksi tiba-tiba dan tidak juga berakhir dengan mendadak

Arung (raja) Pertama di Belawa, La Monri berasal dari Bulu Cenrana dan akhirnya berketurunan serta bermukim di Pesisir Utara Danau Tempe

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun