Bertanyalah aku pada diri sendiri, saat berjuta prasangka muncul di kepala, dan segenap sorak sorai rasa, saat orang-orang menguliti dengan pisau-pisau tumpul seraya tertawa, lalu aku ikut larut dalam meriahnya pesta, yang tiada henti, terus dihadirkan dalam ragam tema. Merasa berada dalam barisan kebenaran yang menemukan para pendosa.
Bertanyalah aku pada diri sendiri, yang seakan terasa terus lapar dan dahaga, berburu berita dalam hutan media, dan merasa kecewa jika lauk tersaji hanya hal biasa: kegiatan seremoni peresmian, umbar wacana dalam seminar, atau hanya kabar seni-budaya. Mana gelegar skandalnya? Sosial, politik, ekonomi, budaya, tanpa skandal , tak hapus lapar dan dahaga.
Bertanyalah aku pada diri sendiri, yang telah lupa dengan cara bertanya, lupa pijakan bermula dan titik penghentian arah tertuju. Sehingga jalan pikir terkungkung dalam lingkaran-lingkaran berbagai arus kepentingan dari kekuatan “entah” yang merasuk dan terasa menjadi bagian bahkan terekrut sebagai agen.
Duhai, diriku, betapa memang patut dikasihani. Tanpa pijak, tanpa arah, dalam kepala penuh prasangka, maka senjata yang berbicara, yang dikokang sendiri, tak kan mampu menciptakan sejarah bermakna, kecuali tentang seseorang yang tak sengaja membunuh dirinya sendiri !
Yogyakarta, 18 januari 2015